Dentuman musik di ruang tamu terdengar begitu dekat di telinga. Suaranya serak dan pecah-pecah seperti drum tempat sampah atau kaleng atau kadang seperti ember yang ditabuh menggunakan kayu. Suara-suara itu masuk ke alam mimpiku beberapa saat sebelum akhirnya aku terbangun. Kulirik jam dinding sudah pukul tujuh lewat sepuluh menit. Memang sudah saatnya bangun. Jam segini adalah waktunya diskotek dangdut dalam rumah dibuka. Duduk sejenak di tepi ranjang, menguap sambil mengucek mata kemudian bergegas keluar kamar, melintasi ruang tamu – tempat dari sumber segala keributan berasal, lewat di depan pintu kamar orang tuaku (terdengar di dalam kamar bapak sedang bernyanyi mengikuti lagu yang ia putar di VCD player) dan tiba di kamar mandi.
Tiba-tiba suara musik itu mati, dan berganti dengan caci maki Bapak.
"Pukimak! Ma, coba tengok meterannya!" teriak Bapak dari dalam kamar.
"Bukan anjlok, Pa. Tapi memang dari PLN-nya!"
"Puki....!"
Begitulah Bapak. Jangan pernah sekali-sekali mengganggu dirinya ketika belahan jiwanya, Haji Rhoma Irama sedang mendendangkan lagu. Berbicara tentang Rhoma Irama, tidak ada satu lagu pun darinya yang tidak bapakku kenal. Semua lagu-lagu dari album pertama hingga terkhir, ia hafal di luar kepala. Bahkan dakwahnya yang biasa diucapkan sebelum lagu dimulai, mampu ditirukannya kata perkata, sampai detail pada tarikan-tarikan nafasnya. Dan bagaimana nada bicara Bapak ketika ngobrol dengan teman-temannya? Bapak tiru 100% gaya bicara si Raja Dangdut itu. Mungkin kurasa dengan sedikit intimidasi, Bapak menyuruh teman-teman kampungnya untuk menambahkan nama Irama sebagai embel-embel di belakang nama aslinya, Sukri. Ya, muka bapak akan merona ketika seorang teman dari kejauahan meneriakinya, "Woi ! Sukri Irama!" Tanpa ragu-ragu (dan lebih terkesan reflek) Bapak akan melambaikan tangan ke arah sumber suara sambil tersenyum bangga. Ia tidak sadar, setelah itu si pemanggil tadi mungkin akan terkekeh di belakang mengejek ketololannya.
Bapak sangat bersyukur karena Tuhan telah menyuburkan dagunya sehingga jenggot dapat tumbuh dengan tanpa susah payah. Dan aku rasa memang Tuhan memiliki selera humor tinggi, rambut bapakku pun diciptakan ikal, sehingga lengkap sudah imitasi gaya Rhoma Irama di tubuhnya. Dan satu lagi, mungkin kalian baru mengenal sosok Ridho Rhoma setelah ia tenar menjadi penyanyi mengikuti jejak bapaknya, tapi bapakku, ia sudah tahu dari dulu, bahkan candanya pada orang-orang, ia ikut saat kenduri pemberian nama dan ikut menjegal tangan anak itu ketika disunat. Itulah mengapa akhirnya aku diberinya nama Ridho. Dan kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana setiap waktu aku harus menanggung malu ketika teman-teman di kampung mengejek aku dan sosok bapakku. Tapi untung saja aku memiliki sedikit selera humor sehingga aku selalu menutupi kekesalanku dengan tawa. Ah, untung! di negeri ini selalu saja ada kata untung di setiap bencana.
Siang itu, seusai pulang sekolah aku melihat Bapak sedang mengikat karung yang dipenuhi dengan benda-benda bulat. Dari aroma yang menguar aku bisa menebak apa isi di dalamnya, mangga, karena musimnya telah tiba dan pohon mangga dibelakang rumah memang sudah sebagian sempurna dalam masa berbuahnya. Hampir tiap siang aku mencurinya, ketika bapak sedang tidak ada di rumah. Mencuri, kenapa? sebentar lagi kalian akan tahu.
“Heh, kamu antar karung ini ke kantor pos. Setelah itu kau boleh petik mangga itu sepuasmu.” ujar Bapak kepadaku.
Kemudian karung yang berisi mangga-mangga harum itu dimasukkan ke dalam kardus dan dilakban rapat. Tertulis di atasnya sebuah nama beserta alamat lengkap, H.Rhoma Irama. Alamat : Jl....
Aku memanggulnya dan segera memanggil tukang ojek untuk mengantar ke kantor pos. Begitulah setiap musim mangga tiba. Aku dilarang bapak memetik mangga di pohon sebelum persembahan pada 'Tuhan'-nya dilakukan. Tuhan yang nama dan alamatnya tertulis di atas kardus itu.
Sesampainya aku di rumah, sebuah lagu yang sudah beribu-ribu kali diputar kembali terdengar. Bapak sedang duduk di depan televisi menikmati konser artis kesayangannya itu. Aku lewat di antaranya, masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang. Sebuah gitar tua warna merah muda tergantung di dinding, kuraih gitar itu dan mencoba mengikuti alunan lagu di luar kamar. Entah mesti bahagia atau sedih kalau harus memikirkan keadaan ini. Dari bapakku lah aku mengenal gitar, dan lagu pertama yang kupelajari darinya adalah lagu berjudul Malam Terakhir, dari Rhoma Irama tentunya. Bapak memejamkan matanya kala itu waktu memberikan contoh bagaimana cara memainkannya. Suara bapak sudah 99% mirip Rhoma. Petikan-petikan melodinya pun mampu bapak mainkan dengan sempurna.
"Bapak suka banget lagu ini?"
Kepalaku ditempeleng setelah pertanyaan itu terlontar dari mulutku.
"Tentu saja !” ucapnya tegas. “Lagu ini menyimpan sebuah kenangan yang sangat indah.” Suara Bapak berubah lembut, matanya menerawang jauh ke masa entah kapan “lagu ini aku dengar ketika putus dengan pacar, seminggu sebelum aku menyatakan cinta pada mamamu.” Tiba-tiba mata Bapak melirik ke berbagai arah seperti tikus yang hendak mencuri makanan. “Tapi jangan bilang-bilang sama mama.”
Aku mencibir. “Playboy juga rupanya bapakku ini.” kataku dalam hati.
“Dan ada lagi sebuah lagu yang sangat sepesial.” Petikan gitar kembali terdengar dan suara bapak yang -jujur saja kuakui- merdu, mulai masuk, menyanyikan sebuah lagu yang sudah sangat akrab di telingaku berjudul Syahdu. Setelah selesai mendendangkannya, ia kembali bercerita. “Lagu ini sepertinya Tuhan menciptakan khusus untukku. Waktu aku menyatakan cinta pada mama kamu, dan mama kamu tersenyum malu, sayup-sayup terdengar lagu ini dari sebuah radio di warung rokok.”
Aku tidak peduli apakah cerita itu hanya karangannya belaka atau memang benar-benar terjadi. Dan setelah itu, aku mulai sering berlatih gitar di kamar. Satu tahun kemudian puluhan lagu Rhoma Irama mampu aku mainkan beserta melodi-melodinya. Saat itu aku baru duduk di bangku kelas 6 SD. Berkat itu pula lah kelas 1 SMP aku mengenal cinta pertama. Seorang gadis bertubuh pendek dan sedikit gemuk serta berkulit sawo matang mendatangiku setelah penampilanku pada acara perpisahan kelas 3. Aku memainkan gitar bersama bandku pada acara tersebut, tentu bukan lagu Rhoma Irama yang kami bawakan, tetapi lagu pop rock remaja kala itu. Gila kali mambawakan lagu Rhoma Irama di depan teman-teman sekolah, kampungan!
Aku mendapatkan ketenaran sebagai gitaris selain aku mendapatkan cinta seorang gadis. Itulah yang kadang kusyukuri dari memiliki seorang bapak yang seperti itu.
Namun kadang muncul pula kekecewaan dalam diri. Mengapa aku mengenal musik pertama kali lewat dangdut, bukan lewat sosok seperti Jimmy Hendrik atau gitaris-gitaris Blues luar negeri lainnya. Dan bapakku selalu bilang, dialah Raja, titisan Dewa! Seraya telunjuknya mengarah pada layar tv yang sedang menampakkan sosok pria berjenggot.
* * *
Aku tidak mengatakan dia sakit, hanya sudah kelewat batas. Memalukan! Beberapa hari yang lalu, Mama bercerita, saat itu di rumah baru saja selesai acara memperingati seratus hari eyang kakung. Setelah acara selesai, Bapak langsung saja memutar lagu Rhoma Irama, sementara para tamu sedang asyik ngobrol. Mama di dapur hanya geleng-geleng kepala, dan perempuan-perempuan lainnya saling bertatap pandang, sambil tersenyum. Kemudian terdengar suara dari kerumunan tamu laki-laki di ruang depan, “Heh ini saya ini, ini saya.” Telunjuk Bapak mengarah ke layar tv dan ke dadanya bergantian. Mata terbuka lebar dan mimik muka serius. Para tamu setengah mati menahan tawa. Ibu-ibu di dapur terbengong-bengong, matanya membulat, sesaat kemudian tawa mereka lepas tak terkendali.
Bahkan menurut cerita orang-orang, sering ketika bapak ditanya di jalan, “Dari mana, Pak?” Bapak suka menjawab asal-asalan, “Habis ngopi di tempat Rhoma.” Setelah itu ia terbahak begitu juga si Penanya.
“Terus terang aku dulu suka bapakmu karena suaranya yang merdu dan pandai bermain gitar.” kata Mama di satu hari. “Tapi kamu jangan bilang-bilang ke dia.” Aku menganggukan kepala.
“Suaranya bagus banget.” lanjutnya. Kemudian matanya mulai menerawang,
”kami biasa bermain gitar di depan rumah, di bawah cahaya purnama...” Setelah itu pikirannya mengembara entah kemana, begitu juga pikiranku.
Aku sudah tidak lagi mendengar kata-katanya. Aku bosan dengan cerita-cerita tentang si Jenggot dan lagu-lagunya itu.
Pada minggu sore yang cerah, aku heran melihat penampilan Bapak yang tidak seperti biasanya. Memakai celana hitam dan kemeja rapi serta rambut yang disisir dan diminyaki hingga mengilat.
"Bapak mau ke Jakarta beberapa hari. Kamu jaga Mama baik-baik." ucapnya.
Setelah itu Bapak memanggil tukang ojek untuk mengantarkannya ke jalan raya dan menunggu bus yang ke arah stasiun kereta. Sementara itu aku tertidur, bermimpi bertemu Van Halen.
Tiga hari kemudian Bapak pulang. Kudapati ia sedang berdiri di ambang pintu. Matahari senja yang berada di belakang kepalanya membuat bayangan panjang tubuhnya. Ia menjatuhkan tas begitu saja di samping kakinya dan berjalan terhuyung menuju kursi seperti hendak semaput. Mama berlari dari dalam kamar, merangkul pundak Bapak dan menyuruhku mengambil air minum. Aku bergegas menuju dapur. Panas, gumam Mama sambil meletakkan punggung telapak tangan di atas jidat Bapak. “Ridho, ambilkan air putih dan taruh di waskom, sekalian dengan handuk putihnya. Cepat sedikit.” teriaknya padaku. Beberapa saat kemudian aku telah berada di ruang tamu, menyaksikan Mama yang sedang membantu Bapak minum kemudian menaruh handuk basah di atas jidat Bapak.
Esok harinya Bapak sudah kembali pulih, tetapi kelihatan begitu loyo seperti orang yang sedang puasa tujuh hari tujuh malam untuk menjemput ajal, tidak banyak bicara dan matanya sayu juga kosong. Berhari-hari keadaannya tidak berubah, seolah sedang berada di ambang keputus asaan. Aku bertanya pada Mama apa yang sedang terjadi pada diri Bapak. Dan Mama bercerita...
“Umaar! Aku sudah ada di Jakarta. Jemput aku di stasiun Senen.”
“Iya, iya. Aku segera kesana.” Umar menutup telefon dan segera melajukan kendaraan roda duanya.
Sukri Irama berkali-kali memandang jam yang melingkar di tangannya. Ia berjalan bolak-balik di antara lalu lalang orang-orang yang ada di stasiun. Malam telah berada di puncak kegelapannya. Jalan raya di dekat stasiun terlihat sepi, jumlah kendaraan yang lewat seperti bisa dihitung dengan jari di tiap menitnya. Di pinggir jalan terlihat deretan mobil taksi warna biru yang menguarkan aroma keletihan.
Sebuah kendaraan bermotor menempatkan diri di tempat parkir. Si pengendara berjalan sedikit tergesa-gesa menuju pintu masuk, menengok ke kanan dan ke kiri sedang matanya menyelidik tiap sudut ruang stasiun. Seorang bertubuh agak gemuk, berjenggot dan berambut ikal berjalan agak cepat ke arahnya sambil menjinjing tas. Di muka pria berjenggot itu terpancar sinar ceria yang terang mengalahkan terang lampu di atap stasiun. Satu meter di depan pengendara sepeda motor tadi, ia menjatuhkan tas dan membuka lebar kedua lengan.
“Apa kabar Umar.” Suaranya berat disertai senyum lebar.
“O, Sukrii..” sambut Umar sambil merentangkan kedua lengan.
“Eit, Sukri Irama. Ingat, Sukri Irama.” Telunjuk Sukri berdiri di depan muka Umar.
Mereka berpelukan dan terbahak, berjalan beriringan menuju tempat parkir sambil bercerita. Telapak tangan Sukri Irama tak henti-hentinya begerak seiring kata yang diucapkannya. Umar tertawa, bicara dan kembali tertawa.
Motor melaju di jalanan ibu kota yang sudah sepi. Sukri Irama menikmati pemandangan seperti yang umum dilakukan oleh orang desa saat pergi ke kota, berdecak kagum tiada henti menyaksikan keajaiban dunia metropolitan. Gedung-gedung megah terlihat samar di balik kabut di kejauhan.
Sesampainya di rumah mereka langsung merebahkan diri di atas kasur. Kurang dari tiga menit hingga kemudian terdengar suara nafas teratur Umar. Sementara Sukri Irama belum juga mampu memejamkan mata. Waktu terasa lambat sekali berputar. Menunggu siang yang hanya tinggal enam jam terasa seperti berhari-hari, sampai akhirnya letih di pikiran menghilangkan kesadarannya.
Sukri Irama tersentak dari mimpinya. Suara bising musik rock terdengar memenuhi seisi ruangan dan masuk di lobang telinganya secara paksa. Hampir saja Sukri melemparkan bantal ke arah speaker kalau saja ia tidak ingat di tempat siapa kini berada. Sukri Irama segera bangkit dan langsung memencet sebuah tombol di speaker aktif milik kawannya itu. Diacak-acaknya setumpukan CD di dalam rak.
“Kau tidak akan menemukan kaset Rhoma Irama disini.” ucap Umar tiba-tiba dari ambang pintu tempat ia duduk mencangkung, merokok dan menikmati segelas kopi.
Sukri Irama bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, membiarkan begitu saja CD-CD itu berantakan di lantai.
Tengah hari mereka sudah berada si suatu tempat, di pinggir jalan seberang sebuah rumah besar yang tertutup pagar tembok tinggi berwarna putih.
“Benarkah itu rumahnya?” Sukri Irama bergumam sambil memperhatikan baik-baik sebuah catatan di kertas. Diperhatikannya pagar rumah itu, dicocokkannya nomor yang tertera di dinding pagar dengan tulisan yang ada di kertas.
"Sudah betul ini rumahnya.” kata Umar dengan sedikit kesal, “aku bertahun-tahun di Jakarta, pasti tahu rumah artis besar sekelas Rhoma Irama itu."
“Iya, iya benar.” Sukri Irama mengangguk.
Mereka duduk beralaskan koran bekas, di seberang jalan lurus menghadap gerbang besi warna hijau. Tiba-tiba dari balik gerbang terdengar pengait yang dibuka. Sukri Irama mencengkram lutut Umar, tubuhnya gemetar dan mukanya merah. "Itu dia, itu dia. Sang Raja itu keluar..Umar..Umar..." Suara Sukri bergetar seperti keluar dari tubuh yang dikocok. Umar hanya mencibirkan mulut menanggapi tingkah temannya itu.
Pintu gerbang pun terbuka, sebuah mobil sedan mulus warna hitam keluar pelan-pelan. Sukri masih belum mampu menguasai kesadarannya, ia tercenung, tak bergerak dengan mata membulat tanpa kedip dan mulut melongo. Setelah mobil sedan tersebut lewat beberapa meter di depan mereka, Sukri Irama secara spontan bangkit, dan berteriak, “Rhoma..!”
Kaca mobil bagian belakang terbuka, seraut wajah datar terlihat, menoleh ke arah Sukri Irama, namun hanya sejenak setelah itu kembali ia menatap lurus ke depan dan kaca mobil pun ditutup pelan-pelan. Mobil melaju meninggalkan Sukri Irama yang berdiri terpaku mengangkat salah satu lengannya.
“Rho..ma” ucapnya lirih. Tubuhnya mendadak menjadi loyo seperti kehilangan berliter-liter darah. Umar terdiam memandang punggung Sukri Irama.
”Ah, tidak baik juga si Rhoma itu. Tidak baik wataknya.” kata Sukri dari belakang pundak Umar ketika motor melaju di atas jalan layang kota Jakarta. “Kurang apa pengorbananku, setiap musim mangga kukirimi ia, kularang anak-anak memetiknya sebelum kupersembahkan padanya. Setiap hari kunyanyikan lagu-lagunya, kuhafal semua syair-syairnya, kuikuti anjuran dakwahnya, tetapi apa...”
Motor terus melaju, meliuk-liuk di antara kemacetan. Angin berhembus menerbangkan kata-kata Sukri.
* * *
Lima hari setelah kepulangannya dari Jakarta, Bapak sudah hampir sepenuhnya pulih. Aku mengatakan hampir karena aku tahu apa yang sedang dirasakannya dan tidak mudah hal itu untuk dilupakan. Membutuhkan waktu yang agak lama sampai semuanya benar-benar hilang. Meskipun ia sudah bisa kembali bekerja, menjalani hari-hari seperti biasa tetapi masih ada yang kurang menurutku, Bapak masih pendiam. Aku tahu ini membawa kedamaian baru di rumah daripada sebelumnya; Bapak tidak pernah bisa bicara dengan suara yang sedikit lirih, kalau disamakan dengan kenop speaker, volume suaranya selalu menunjuk pada jarum jam (minimal) dua belas.
Di rumah tidak terdengar lagi lagu-lagu dari H.Rhoma Irama. Hey, benar, kenapa baru kuingat sekarang. Bapak sudah tidak pernah lagi memutar lagu itu. Aku dapati rak kaset di samping televisi yang biasa digunakan untuk menyimpan CD dan kaset Rhoma Irama telah kosong. Apakah ini pertanda baik bagi kelangsungan hidupku selanjutnya, dengan begitu aku bisa menguasai sepenuhnya kotak elektronik di bawah televisi itu? Aku tidak tahu. Tetapi sejujurnya aku justru merasakan adanya kejanggalan di rumah. Seperti ada sesuatu yang kurang atau hilang, tapi entah apa. Rumahku menjadi senyap. Suara-suara terdengar seperti bisikan. Dalam kelengangan itu kadang aku sendiri yang melampiaskannya pada petikan gitar, menyanyikan lirih lagu Rhoma Irama. Aneh memang.
Hari-hari berlalu dan nampaknya luka di tubuh Bapak telah sembuh. Ia sudah tidak lagi memikirkan kejadian di Jakarta beberapa waktu lalu, dan sepertinya sudah terlepas dari kecanduannya pada lagu-lagu Rhoma Irama, juga ketika salah satu warga memanggil namanya, Sukri Irama, ia pun hanya tersenyum malu seolah baru saja diingatkan pada satu kebodohan di masa lalu tetapi menganggapnya hal biasa dalam hidup dan tidak perlu dirisaukan. Satu hari Ia sedang duduk di teras rumah, menikmati udara sore ketika seorang warga datang menghampirinya. Dengan penuh sopan santun pria tersebut berbicara sejenak dengan Bapak dan menyerahkan kertas putih kemudian pamit. Mama menghampiri Bapak setelah itu dan bertanya tentang apa yang baru saja diserahkan oleh pria warga desa tadi. Bapak menjawabnya pendek,”Hanya undangan, nanti malam ada syukuran pernikahan anaknya Pak Rusdi.”
Pukul setengah delapan Bapak berangkat ke acara syukuran tersebut. Memakai sarung hijau yang sedikit usang tetapi cukup rapi karena Mama rajin menyetrika, memakai baju koko warna putih serta memakai topi hitam. Sebentar saja Bapak sudah menghilang di kegelapan malam. Aku sedang duduk di ruang tamu saat itu, sedang menyaksikan film yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta.
Acara syukurannya memang tidak lama, hanya menghabiskan waktu sekitar setengah jam, tapi obrolan setelahnya itu lah yang bisa sampai larut malam bahkan tidak jarang sampai adzan shubuh terdengar. Pada saat-saat seperti itu tuan rumah akan menyediakan bermacam-macam makanan, sebungkus rokok dan satu atau dua keping kartu remi. Pada malam itu Bapak duduk diantara tiga pemain lainnya, memegang dan berkonsentrasi pada kartu-kartu di tangan. Meskipun Bapak tidak begitu jago bermain kartu tetapi setidaknya ia bisa ikut bermain. Permainan kartu itu bukanlah judi, hanya sekedar main-main biasa dan skor yang didapat akan dicatat kemudian peserta yang mendapatkan skor paling kecil terkena tugas mengocok kartu. Seperti biasa dalam keadaan-keadaan seperti itu, suara-suara tawa terdengar sampai menembus dinding rumah tetangga. Dan yang tak pernah ketinggalan adalah musik yang diputar oleh tuan rumah untuk menemani para tamu itu.
“Sukri Irama.” kata tuan rumah. Bapak menengok dengan sedikit malu, perasaan yang mungkin tidak akan pernah hilang dari dalam diri Bapak ketika nama lengkapnya disebutkan oleh orang lain. ”Ini lagu khusus untukmu.” lanjut tuan rumah sambil mengimingi sebuah CD. Beberapa saat kemudian terdengarlah lagu yang begitu akrab di telinga,
Bila kamu di sisiku hati rasa syahdu
Satu hari tak bertemu hati rasa rindu
‘Ku yakin ini semua perasaan cinta
Tetapi hatiku malu untuk menyatakannya
Bila kamu di sisiku hati rasa syahdu
Satu hari tak bertemu hati rasa rindu
Sukri Irama terdiam di tempat duduk, tatapannya mendadak kosong, kartu-kartu remi di tangan berjatuhan secara perlahan. Para lawan menatapnya heran, menepuk pundak Sukri seperti sedang membangunkannya dari tidur. Ada juga yang melambaikan telapak tangan di depan mata Sukri yang terbuka kosong seperti mata buta.
“Sukri....Sukri..?” kata mereka.
Mendadak ia menghambur keluar rumah, berlari dan berlari. Pria-pria yang ada di dalam rumah berdiri dan mencoba mengejarnya. Sampai di pinggir jalan mereka hanya menatap terkesima tubuh Sukri yang perlahan-lahan menghilang ditelan gelap.
Air mata akhirnya tak tertahan, merembes dari celah di sudut mata Sukri, jatuh dan terbawa angin. Ia terus berlari seperti dikejar setan dan langsung menggedor pintu keras-keras ketika sampai di rumah. Aku dan Mama terbangun serentak dan berlari ke arah pintu. Mama memutar kunci dan saat pintu terbuka Bapak langsung menghambur ke dalam sambil terisak menuju televisi dan menyalakan VCD player. Sementara di luar beberapa warga kampung berdatangan, rupanya gedoran pintu tadi telah menarik perhatian mereka. Bapak tidak menyadari dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar, ia tetap saja seperti orang linglung memalukan, masuk kamar sambil terus terisak dan bergumam, membongkar-bongkar sesuatu di bawah kolong ranjang kemudian keluar sambil membawa sebuah CD menuju ke depan televisi.
Tidak lama kemudian terdengar dari speaker aktif sebuah lagu yang berjuta-juta kali telah diputar di dalam rumah.
Di depan layar televisi yang menampilkan sosok pria berjenggot mengenakan sorban, Bapak berlutut, menangis, mendekap sampul CD, menengadahkan tangan ke atas dan berteriak keras hingga suaranya menembus angkasa pekat dalam hati orang-orang yang menyaksikannya.
Rhomaa...!
Tiba-tiba suara musik itu mati, dan berganti dengan caci maki Bapak.
"Pukimak! Ma, coba tengok meterannya!" teriak Bapak dari dalam kamar.
"Bukan anjlok, Pa. Tapi memang dari PLN-nya!"
"Puki....!"
Begitulah Bapak. Jangan pernah sekali-sekali mengganggu dirinya ketika belahan jiwanya, Haji Rhoma Irama sedang mendendangkan lagu. Berbicara tentang Rhoma Irama, tidak ada satu lagu pun darinya yang tidak bapakku kenal. Semua lagu-lagu dari album pertama hingga terkhir, ia hafal di luar kepala. Bahkan dakwahnya yang biasa diucapkan sebelum lagu dimulai, mampu ditirukannya kata perkata, sampai detail pada tarikan-tarikan nafasnya. Dan bagaimana nada bicara Bapak ketika ngobrol dengan teman-temannya? Bapak tiru 100% gaya bicara si Raja Dangdut itu. Mungkin kurasa dengan sedikit intimidasi, Bapak menyuruh teman-teman kampungnya untuk menambahkan nama Irama sebagai embel-embel di belakang nama aslinya, Sukri. Ya, muka bapak akan merona ketika seorang teman dari kejauahan meneriakinya, "Woi ! Sukri Irama!" Tanpa ragu-ragu (dan lebih terkesan reflek) Bapak akan melambaikan tangan ke arah sumber suara sambil tersenyum bangga. Ia tidak sadar, setelah itu si pemanggil tadi mungkin akan terkekeh di belakang mengejek ketololannya.
Bapak sangat bersyukur karena Tuhan telah menyuburkan dagunya sehingga jenggot dapat tumbuh dengan tanpa susah payah. Dan aku rasa memang Tuhan memiliki selera humor tinggi, rambut bapakku pun diciptakan ikal, sehingga lengkap sudah imitasi gaya Rhoma Irama di tubuhnya. Dan satu lagi, mungkin kalian baru mengenal sosok Ridho Rhoma setelah ia tenar menjadi penyanyi mengikuti jejak bapaknya, tapi bapakku, ia sudah tahu dari dulu, bahkan candanya pada orang-orang, ia ikut saat kenduri pemberian nama dan ikut menjegal tangan anak itu ketika disunat. Itulah mengapa akhirnya aku diberinya nama Ridho. Dan kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana setiap waktu aku harus menanggung malu ketika teman-teman di kampung mengejek aku dan sosok bapakku. Tapi untung saja aku memiliki sedikit selera humor sehingga aku selalu menutupi kekesalanku dengan tawa. Ah, untung! di negeri ini selalu saja ada kata untung di setiap bencana.
Siang itu, seusai pulang sekolah aku melihat Bapak sedang mengikat karung yang dipenuhi dengan benda-benda bulat. Dari aroma yang menguar aku bisa menebak apa isi di dalamnya, mangga, karena musimnya telah tiba dan pohon mangga dibelakang rumah memang sudah sebagian sempurna dalam masa berbuahnya. Hampir tiap siang aku mencurinya, ketika bapak sedang tidak ada di rumah. Mencuri, kenapa? sebentar lagi kalian akan tahu.
“Heh, kamu antar karung ini ke kantor pos. Setelah itu kau boleh petik mangga itu sepuasmu.” ujar Bapak kepadaku.
Kemudian karung yang berisi mangga-mangga harum itu dimasukkan ke dalam kardus dan dilakban rapat. Tertulis di atasnya sebuah nama beserta alamat lengkap, H.Rhoma Irama. Alamat : Jl....
Aku memanggulnya dan segera memanggil tukang ojek untuk mengantar ke kantor pos. Begitulah setiap musim mangga tiba. Aku dilarang bapak memetik mangga di pohon sebelum persembahan pada 'Tuhan'-nya dilakukan. Tuhan yang nama dan alamatnya tertulis di atas kardus itu.
Sesampainya aku di rumah, sebuah lagu yang sudah beribu-ribu kali diputar kembali terdengar. Bapak sedang duduk di depan televisi menikmati konser artis kesayangannya itu. Aku lewat di antaranya, masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang. Sebuah gitar tua warna merah muda tergantung di dinding, kuraih gitar itu dan mencoba mengikuti alunan lagu di luar kamar. Entah mesti bahagia atau sedih kalau harus memikirkan keadaan ini. Dari bapakku lah aku mengenal gitar, dan lagu pertama yang kupelajari darinya adalah lagu berjudul Malam Terakhir, dari Rhoma Irama tentunya. Bapak memejamkan matanya kala itu waktu memberikan contoh bagaimana cara memainkannya. Suara bapak sudah 99% mirip Rhoma. Petikan-petikan melodinya pun mampu bapak mainkan dengan sempurna.
"Bapak suka banget lagu ini?"
Kepalaku ditempeleng setelah pertanyaan itu terlontar dari mulutku.
"Tentu saja !” ucapnya tegas. “Lagu ini menyimpan sebuah kenangan yang sangat indah.” Suara Bapak berubah lembut, matanya menerawang jauh ke masa entah kapan “lagu ini aku dengar ketika putus dengan pacar, seminggu sebelum aku menyatakan cinta pada mamamu.” Tiba-tiba mata Bapak melirik ke berbagai arah seperti tikus yang hendak mencuri makanan. “Tapi jangan bilang-bilang sama mama.”
Aku mencibir. “Playboy juga rupanya bapakku ini.” kataku dalam hati.
“Dan ada lagi sebuah lagu yang sangat sepesial.” Petikan gitar kembali terdengar dan suara bapak yang -jujur saja kuakui- merdu, mulai masuk, menyanyikan sebuah lagu yang sudah sangat akrab di telingaku berjudul Syahdu. Setelah selesai mendendangkannya, ia kembali bercerita. “Lagu ini sepertinya Tuhan menciptakan khusus untukku. Waktu aku menyatakan cinta pada mama kamu, dan mama kamu tersenyum malu, sayup-sayup terdengar lagu ini dari sebuah radio di warung rokok.”
Aku tidak peduli apakah cerita itu hanya karangannya belaka atau memang benar-benar terjadi. Dan setelah itu, aku mulai sering berlatih gitar di kamar. Satu tahun kemudian puluhan lagu Rhoma Irama mampu aku mainkan beserta melodi-melodinya. Saat itu aku baru duduk di bangku kelas 6 SD. Berkat itu pula lah kelas 1 SMP aku mengenal cinta pertama. Seorang gadis bertubuh pendek dan sedikit gemuk serta berkulit sawo matang mendatangiku setelah penampilanku pada acara perpisahan kelas 3. Aku memainkan gitar bersama bandku pada acara tersebut, tentu bukan lagu Rhoma Irama yang kami bawakan, tetapi lagu pop rock remaja kala itu. Gila kali mambawakan lagu Rhoma Irama di depan teman-teman sekolah, kampungan!
Aku mendapatkan ketenaran sebagai gitaris selain aku mendapatkan cinta seorang gadis. Itulah yang kadang kusyukuri dari memiliki seorang bapak yang seperti itu.
Namun kadang muncul pula kekecewaan dalam diri. Mengapa aku mengenal musik pertama kali lewat dangdut, bukan lewat sosok seperti Jimmy Hendrik atau gitaris-gitaris Blues luar negeri lainnya. Dan bapakku selalu bilang, dialah Raja, titisan Dewa! Seraya telunjuknya mengarah pada layar tv yang sedang menampakkan sosok pria berjenggot.
* * *
Aku tidak mengatakan dia sakit, hanya sudah kelewat batas. Memalukan! Beberapa hari yang lalu, Mama bercerita, saat itu di rumah baru saja selesai acara memperingati seratus hari eyang kakung. Setelah acara selesai, Bapak langsung saja memutar lagu Rhoma Irama, sementara para tamu sedang asyik ngobrol. Mama di dapur hanya geleng-geleng kepala, dan perempuan-perempuan lainnya saling bertatap pandang, sambil tersenyum. Kemudian terdengar suara dari kerumunan tamu laki-laki di ruang depan, “Heh ini saya ini, ini saya.” Telunjuk Bapak mengarah ke layar tv dan ke dadanya bergantian. Mata terbuka lebar dan mimik muka serius. Para tamu setengah mati menahan tawa. Ibu-ibu di dapur terbengong-bengong, matanya membulat, sesaat kemudian tawa mereka lepas tak terkendali.
Bahkan menurut cerita orang-orang, sering ketika bapak ditanya di jalan, “Dari mana, Pak?” Bapak suka menjawab asal-asalan, “Habis ngopi di tempat Rhoma.” Setelah itu ia terbahak begitu juga si Penanya.
“Terus terang aku dulu suka bapakmu karena suaranya yang merdu dan pandai bermain gitar.” kata Mama di satu hari. “Tapi kamu jangan bilang-bilang ke dia.” Aku menganggukan kepala.
“Suaranya bagus banget.” lanjutnya. Kemudian matanya mulai menerawang,
”kami biasa bermain gitar di depan rumah, di bawah cahaya purnama...” Setelah itu pikirannya mengembara entah kemana, begitu juga pikiranku.
Aku sudah tidak lagi mendengar kata-katanya. Aku bosan dengan cerita-cerita tentang si Jenggot dan lagu-lagunya itu.
Pada minggu sore yang cerah, aku heran melihat penampilan Bapak yang tidak seperti biasanya. Memakai celana hitam dan kemeja rapi serta rambut yang disisir dan diminyaki hingga mengilat.
"Bapak mau ke Jakarta beberapa hari. Kamu jaga Mama baik-baik." ucapnya.
Setelah itu Bapak memanggil tukang ojek untuk mengantarkannya ke jalan raya dan menunggu bus yang ke arah stasiun kereta. Sementara itu aku tertidur, bermimpi bertemu Van Halen.
Tiga hari kemudian Bapak pulang. Kudapati ia sedang berdiri di ambang pintu. Matahari senja yang berada di belakang kepalanya membuat bayangan panjang tubuhnya. Ia menjatuhkan tas begitu saja di samping kakinya dan berjalan terhuyung menuju kursi seperti hendak semaput. Mama berlari dari dalam kamar, merangkul pundak Bapak dan menyuruhku mengambil air minum. Aku bergegas menuju dapur. Panas, gumam Mama sambil meletakkan punggung telapak tangan di atas jidat Bapak. “Ridho, ambilkan air putih dan taruh di waskom, sekalian dengan handuk putihnya. Cepat sedikit.” teriaknya padaku. Beberapa saat kemudian aku telah berada di ruang tamu, menyaksikan Mama yang sedang membantu Bapak minum kemudian menaruh handuk basah di atas jidat Bapak.
Esok harinya Bapak sudah kembali pulih, tetapi kelihatan begitu loyo seperti orang yang sedang puasa tujuh hari tujuh malam untuk menjemput ajal, tidak banyak bicara dan matanya sayu juga kosong. Berhari-hari keadaannya tidak berubah, seolah sedang berada di ambang keputus asaan. Aku bertanya pada Mama apa yang sedang terjadi pada diri Bapak. Dan Mama bercerita...
“Umaar! Aku sudah ada di Jakarta. Jemput aku di stasiun Senen.”
“Iya, iya. Aku segera kesana.” Umar menutup telefon dan segera melajukan kendaraan roda duanya.
Sukri Irama berkali-kali memandang jam yang melingkar di tangannya. Ia berjalan bolak-balik di antara lalu lalang orang-orang yang ada di stasiun. Malam telah berada di puncak kegelapannya. Jalan raya di dekat stasiun terlihat sepi, jumlah kendaraan yang lewat seperti bisa dihitung dengan jari di tiap menitnya. Di pinggir jalan terlihat deretan mobil taksi warna biru yang menguarkan aroma keletihan.
Sebuah kendaraan bermotor menempatkan diri di tempat parkir. Si pengendara berjalan sedikit tergesa-gesa menuju pintu masuk, menengok ke kanan dan ke kiri sedang matanya menyelidik tiap sudut ruang stasiun. Seorang bertubuh agak gemuk, berjenggot dan berambut ikal berjalan agak cepat ke arahnya sambil menjinjing tas. Di muka pria berjenggot itu terpancar sinar ceria yang terang mengalahkan terang lampu di atap stasiun. Satu meter di depan pengendara sepeda motor tadi, ia menjatuhkan tas dan membuka lebar kedua lengan.
“Apa kabar Umar.” Suaranya berat disertai senyum lebar.
“O, Sukrii..” sambut Umar sambil merentangkan kedua lengan.
“Eit, Sukri Irama. Ingat, Sukri Irama.” Telunjuk Sukri berdiri di depan muka Umar.
Mereka berpelukan dan terbahak, berjalan beriringan menuju tempat parkir sambil bercerita. Telapak tangan Sukri Irama tak henti-hentinya begerak seiring kata yang diucapkannya. Umar tertawa, bicara dan kembali tertawa.
Motor melaju di jalanan ibu kota yang sudah sepi. Sukri Irama menikmati pemandangan seperti yang umum dilakukan oleh orang desa saat pergi ke kota, berdecak kagum tiada henti menyaksikan keajaiban dunia metropolitan. Gedung-gedung megah terlihat samar di balik kabut di kejauhan.
Sesampainya di rumah mereka langsung merebahkan diri di atas kasur. Kurang dari tiga menit hingga kemudian terdengar suara nafas teratur Umar. Sementara Sukri Irama belum juga mampu memejamkan mata. Waktu terasa lambat sekali berputar. Menunggu siang yang hanya tinggal enam jam terasa seperti berhari-hari, sampai akhirnya letih di pikiran menghilangkan kesadarannya.
Sukri Irama tersentak dari mimpinya. Suara bising musik rock terdengar memenuhi seisi ruangan dan masuk di lobang telinganya secara paksa. Hampir saja Sukri melemparkan bantal ke arah speaker kalau saja ia tidak ingat di tempat siapa kini berada. Sukri Irama segera bangkit dan langsung memencet sebuah tombol di speaker aktif milik kawannya itu. Diacak-acaknya setumpukan CD di dalam rak.
“Kau tidak akan menemukan kaset Rhoma Irama disini.” ucap Umar tiba-tiba dari ambang pintu tempat ia duduk mencangkung, merokok dan menikmati segelas kopi.
Sukri Irama bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, membiarkan begitu saja CD-CD itu berantakan di lantai.
Tengah hari mereka sudah berada si suatu tempat, di pinggir jalan seberang sebuah rumah besar yang tertutup pagar tembok tinggi berwarna putih.
“Benarkah itu rumahnya?” Sukri Irama bergumam sambil memperhatikan baik-baik sebuah catatan di kertas. Diperhatikannya pagar rumah itu, dicocokkannya nomor yang tertera di dinding pagar dengan tulisan yang ada di kertas.
"Sudah betul ini rumahnya.” kata Umar dengan sedikit kesal, “aku bertahun-tahun di Jakarta, pasti tahu rumah artis besar sekelas Rhoma Irama itu."
“Iya, iya benar.” Sukri Irama mengangguk.
Mereka duduk beralaskan koran bekas, di seberang jalan lurus menghadap gerbang besi warna hijau. Tiba-tiba dari balik gerbang terdengar pengait yang dibuka. Sukri Irama mencengkram lutut Umar, tubuhnya gemetar dan mukanya merah. "Itu dia, itu dia. Sang Raja itu keluar..Umar..Umar..." Suara Sukri bergetar seperti keluar dari tubuh yang dikocok. Umar hanya mencibirkan mulut menanggapi tingkah temannya itu.
Pintu gerbang pun terbuka, sebuah mobil sedan mulus warna hitam keluar pelan-pelan. Sukri masih belum mampu menguasai kesadarannya, ia tercenung, tak bergerak dengan mata membulat tanpa kedip dan mulut melongo. Setelah mobil sedan tersebut lewat beberapa meter di depan mereka, Sukri Irama secara spontan bangkit, dan berteriak, “Rhoma..!”
Kaca mobil bagian belakang terbuka, seraut wajah datar terlihat, menoleh ke arah Sukri Irama, namun hanya sejenak setelah itu kembali ia menatap lurus ke depan dan kaca mobil pun ditutup pelan-pelan. Mobil melaju meninggalkan Sukri Irama yang berdiri terpaku mengangkat salah satu lengannya.
“Rho..ma” ucapnya lirih. Tubuhnya mendadak menjadi loyo seperti kehilangan berliter-liter darah. Umar terdiam memandang punggung Sukri Irama.
”Ah, tidak baik juga si Rhoma itu. Tidak baik wataknya.” kata Sukri dari belakang pundak Umar ketika motor melaju di atas jalan layang kota Jakarta. “Kurang apa pengorbananku, setiap musim mangga kukirimi ia, kularang anak-anak memetiknya sebelum kupersembahkan padanya. Setiap hari kunyanyikan lagu-lagunya, kuhafal semua syair-syairnya, kuikuti anjuran dakwahnya, tetapi apa...”
Motor terus melaju, meliuk-liuk di antara kemacetan. Angin berhembus menerbangkan kata-kata Sukri.
* * *
Lima hari setelah kepulangannya dari Jakarta, Bapak sudah hampir sepenuhnya pulih. Aku mengatakan hampir karena aku tahu apa yang sedang dirasakannya dan tidak mudah hal itu untuk dilupakan. Membutuhkan waktu yang agak lama sampai semuanya benar-benar hilang. Meskipun ia sudah bisa kembali bekerja, menjalani hari-hari seperti biasa tetapi masih ada yang kurang menurutku, Bapak masih pendiam. Aku tahu ini membawa kedamaian baru di rumah daripada sebelumnya; Bapak tidak pernah bisa bicara dengan suara yang sedikit lirih, kalau disamakan dengan kenop speaker, volume suaranya selalu menunjuk pada jarum jam (minimal) dua belas.
Di rumah tidak terdengar lagi lagu-lagu dari H.Rhoma Irama. Hey, benar, kenapa baru kuingat sekarang. Bapak sudah tidak pernah lagi memutar lagu itu. Aku dapati rak kaset di samping televisi yang biasa digunakan untuk menyimpan CD dan kaset Rhoma Irama telah kosong. Apakah ini pertanda baik bagi kelangsungan hidupku selanjutnya, dengan begitu aku bisa menguasai sepenuhnya kotak elektronik di bawah televisi itu? Aku tidak tahu. Tetapi sejujurnya aku justru merasakan adanya kejanggalan di rumah. Seperti ada sesuatu yang kurang atau hilang, tapi entah apa. Rumahku menjadi senyap. Suara-suara terdengar seperti bisikan. Dalam kelengangan itu kadang aku sendiri yang melampiaskannya pada petikan gitar, menyanyikan lirih lagu Rhoma Irama. Aneh memang.
Hari-hari berlalu dan nampaknya luka di tubuh Bapak telah sembuh. Ia sudah tidak lagi memikirkan kejadian di Jakarta beberapa waktu lalu, dan sepertinya sudah terlepas dari kecanduannya pada lagu-lagu Rhoma Irama, juga ketika salah satu warga memanggil namanya, Sukri Irama, ia pun hanya tersenyum malu seolah baru saja diingatkan pada satu kebodohan di masa lalu tetapi menganggapnya hal biasa dalam hidup dan tidak perlu dirisaukan. Satu hari Ia sedang duduk di teras rumah, menikmati udara sore ketika seorang warga datang menghampirinya. Dengan penuh sopan santun pria tersebut berbicara sejenak dengan Bapak dan menyerahkan kertas putih kemudian pamit. Mama menghampiri Bapak setelah itu dan bertanya tentang apa yang baru saja diserahkan oleh pria warga desa tadi. Bapak menjawabnya pendek,”Hanya undangan, nanti malam ada syukuran pernikahan anaknya Pak Rusdi.”
Pukul setengah delapan Bapak berangkat ke acara syukuran tersebut. Memakai sarung hijau yang sedikit usang tetapi cukup rapi karena Mama rajin menyetrika, memakai baju koko warna putih serta memakai topi hitam. Sebentar saja Bapak sudah menghilang di kegelapan malam. Aku sedang duduk di ruang tamu saat itu, sedang menyaksikan film yang diputar di salah satu stasiun televisi swasta.
Acara syukurannya memang tidak lama, hanya menghabiskan waktu sekitar setengah jam, tapi obrolan setelahnya itu lah yang bisa sampai larut malam bahkan tidak jarang sampai adzan shubuh terdengar. Pada saat-saat seperti itu tuan rumah akan menyediakan bermacam-macam makanan, sebungkus rokok dan satu atau dua keping kartu remi. Pada malam itu Bapak duduk diantara tiga pemain lainnya, memegang dan berkonsentrasi pada kartu-kartu di tangan. Meskipun Bapak tidak begitu jago bermain kartu tetapi setidaknya ia bisa ikut bermain. Permainan kartu itu bukanlah judi, hanya sekedar main-main biasa dan skor yang didapat akan dicatat kemudian peserta yang mendapatkan skor paling kecil terkena tugas mengocok kartu. Seperti biasa dalam keadaan-keadaan seperti itu, suara-suara tawa terdengar sampai menembus dinding rumah tetangga. Dan yang tak pernah ketinggalan adalah musik yang diputar oleh tuan rumah untuk menemani para tamu itu.
“Sukri Irama.” kata tuan rumah. Bapak menengok dengan sedikit malu, perasaan yang mungkin tidak akan pernah hilang dari dalam diri Bapak ketika nama lengkapnya disebutkan oleh orang lain. ”Ini lagu khusus untukmu.” lanjut tuan rumah sambil mengimingi sebuah CD. Beberapa saat kemudian terdengarlah lagu yang begitu akrab di telinga,
Bila kamu di sisiku hati rasa syahdu
Satu hari tak bertemu hati rasa rindu
‘Ku yakin ini semua perasaan cinta
Tetapi hatiku malu untuk menyatakannya
Bila kamu di sisiku hati rasa syahdu
Satu hari tak bertemu hati rasa rindu
Sukri Irama terdiam di tempat duduk, tatapannya mendadak kosong, kartu-kartu remi di tangan berjatuhan secara perlahan. Para lawan menatapnya heran, menepuk pundak Sukri seperti sedang membangunkannya dari tidur. Ada juga yang melambaikan telapak tangan di depan mata Sukri yang terbuka kosong seperti mata buta.
“Sukri....Sukri..?” kata mereka.
Mendadak ia menghambur keluar rumah, berlari dan berlari. Pria-pria yang ada di dalam rumah berdiri dan mencoba mengejarnya. Sampai di pinggir jalan mereka hanya menatap terkesima tubuh Sukri yang perlahan-lahan menghilang ditelan gelap.
Air mata akhirnya tak tertahan, merembes dari celah di sudut mata Sukri, jatuh dan terbawa angin. Ia terus berlari seperti dikejar setan dan langsung menggedor pintu keras-keras ketika sampai di rumah. Aku dan Mama terbangun serentak dan berlari ke arah pintu. Mama memutar kunci dan saat pintu terbuka Bapak langsung menghambur ke dalam sambil terisak menuju televisi dan menyalakan VCD player. Sementara di luar beberapa warga kampung berdatangan, rupanya gedoran pintu tadi telah menarik perhatian mereka. Bapak tidak menyadari dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar, ia tetap saja seperti orang linglung memalukan, masuk kamar sambil terus terisak dan bergumam, membongkar-bongkar sesuatu di bawah kolong ranjang kemudian keluar sambil membawa sebuah CD menuju ke depan televisi.
Tidak lama kemudian terdengar dari speaker aktif sebuah lagu yang berjuta-juta kali telah diputar di dalam rumah.
Di depan layar televisi yang menampilkan sosok pria berjenggot mengenakan sorban, Bapak berlutut, menangis, mendekap sampul CD, menengadahkan tangan ke atas dan berteriak keras hingga suaranya menembus angkasa pekat dalam hati orang-orang yang menyaksikannya.
Rhomaa...!
0 comments: