Ketika Kakakku Kecelakaan

By | Saturday, February 04, 2012 Leave a Comment
Tahukah kalian berapa banyak orang baik hidup di dunia ini? Terlalu banyak untuk dihitung! -Sherman Alexie

Beberapa tahun lalu di satu siang pada bulan Mei tahun 1998. Tubuh kakakku terpental sejauh lima meter setelah tertabrak sebuah mobil boks, di depan hidung ibuku. Aku baru saja pulang sekolah saat itu dan hendak mengganti seragam merah putihku ketika kemudian terdengar pekik keras Ibu. Aku berlari ke pintu dan mendapati ibuku sedang menangis dalam pelukan seorang perempuan tetangga rumah. Ayah langsung melarikan tubuh kakakku ke Rumah Sakit dengan angkutan umum ditemani dua pria warga desa, sementara Santoso (kami kemudian memanggilnya Pak Santo), laki-laki keturunan Cina berusia 40 tahun pengendara mobil boks tersebut mengikuti dengan mobilnya dari belakang. Beberapa tahun kemudian ayahku kembali menceritakan, sesampainya mereka di Rumah Sakit, kakakku sempat dirawat di ruang UGD beberapa jam, kemudian dibawa ke ruang radiologi untuk difoto rontgen sebelum akhirnya ditempatkan di ruang perawatan biasa.

Berkali-kali Pak Santo meminta maaf atas tragedi tersebut. Sudahlah, sudah takdir, semuanya memang mesti terjadi, kata Ayah menanggapi permintaan maaf laki-laki itu.

”Sebaiknya Bapak cepat-cepat pergi sebelum polisi datang dan menambah ruwet urusan. Pergilah sekarang juga. Kami bisa mengurus semuanya.” Ayah berbicara seraya memandangi tubuh kakakku yang tak berdaya di atas ranjang perawatan. Namun Pak Santo tidak menghiraukan ucapan itu. Ia akan tetap berada di Rumah Sakit sampai keadaan lebih baik dan ia berjanji akan menanggung semua biaya perawatan. Mendengar perkataan itu, ayahku berpura-pura marah padanya dan mengatakan bahwa ia juga mampu untuk membayarnya. Tetapi lagi-lagi pria baik hati tersebut bersikeras dengan pendiriannya.

Sore harinya aku bersama Ibu menyusul ke Rumah Sakit. Kami mendapati Ayah didampingi oleh Pak Santo duduk di samping ranjang tempat kakakku terbaring tak sadarkan diri. Dua warga desa yang tadi ikut menemani ayahku ke Rumah Sakit sudah pulang. Setangah jam yang lalu, kata Ayah. Aku dan Ibu masuk, berdiri di samping ranjang, memandangi tubuh kakakku yang separoh tertutup selimut putih bergaris-garis biru. Di tangannya terpasang selang infus, dari hidung menjulur selang oksigen dan tangan kirinya terbalut kain kasa putih. Di tembok di atas kepalanya sebuah monitor terpasang: memperlihatkan garis-garis warna hijau disertai bunyi monoton. Tut..tut..Sebuah televisi 17 inchi ditaruh di atas meja di samping ranjang.

Menjelang malam kami berempat duduk di teras belakang ruang perawatan. Ayah dan Ibu duduk di dekat pintu agar tubuh kakakku masih bisa diawasi. Dari pembicaraan mereka akhirnya aku bisa mengetahui kalau Pak Santo tinggal di Jakarta dan kebetulan sedang melintas di kota kami ketika akhirnya kemalangan itu terjadi.

Rumah tinggalku berada di pinggir jalan utama yang menghubungkan antara Jakarta dan Yogyakarta. Oleh karena itulah maka jalan raya di depan rumahku tidak pernah sepi dari lalu lintas kendaraan. Raungan truk-truk besar atau bus-bus antar kota selalu mengisi ruang tamu rumah. Ketika musim mudik menjelang lebaran tiba, aku biasa duduk di teras rumah bersama kakak, memandangi jalan raya yang dipadati begitu banyak kendaraan.

Malam itu akhirnya kami menjadikan teras Rumah Sakit tersebut sebagai tempat makan malam, dengan menu yang didapat ibuku dari kantin Rumah Sakit. Berempat kami duduk melingkar di atas lantai beralaskan tikar yang ibu bawa dari rumah tadi sore. Di depan kami masing-masing terdapat kardus putih berisi nasi, ayam goreng serta saus yang dikemas dalam plastik. Seperti yang biasa kami lakukan di rumah sebelum makan, kami memejamkan mata terlebih dahulu untuk berdoa di hati masing-masing. Pada kesempatan kali itu, aku tidak memejamkan mata, aku terpukau oleh cara Pak Santo yang menurutku saat itu aneh dalam melakukan ritual sebelum makan. Ia menggenggam telapak tangan beberapa saat di depan dada setelah itu menyentuhkan jemarinya ke jidat dan menyilangkan ke pundak kanan dan kiri. Dari situ pula aku kemudian memperhatikan warna kulitnya yang begitu putih dan matanya yang hanya seperti garis melintang di balik kaca mata serta rambutnya yang pasti selalu disisir rapi.

Selama beberapa saat tidak ada suara yang keluar dari mulut masing-masing karena disibukkan oleh makanan. Diam-diam aku selalu mencuri kesempatan untuk memandang ke arah Pak Santo, memperhatikan gerak-geriknya dengan seksama seolah sedang melihat jenis manusia aneh. Kadang tanpa disengaja tatapan kami bertemu, dan laki-laki itu akan tersenyum ke arahku hingga aku tertunduk malu.

Ibu hanya menghabiskan separuh makanannya, dan sisanya dilimpahkan kepadaku. Tidak begitu lapar, katanya. Aku menggeleng namun ia tetap membujukku dan menyuapkan makanan itu ke mulutku.

Selesai makan. obrolan pun berlangsung.

“Aku memiliki seorang anak perempuan, baru dua tahun umurnya.” kata Pak Santo sambil mengelap jemarinya dengan tisu setelah ditanya ibuku tentang keluarganya. “Vina namanya.” Ia menghentikan ucapannnya dan menyeruput air mineral dari gelas plastik, lalu bangkit dan berjalan ke tepi lantai teras dan menyiramkan sisa air mineral ke jari-jari bekas makan. Air bergemericik jatuh di atas rerumputan taman. Kemudian ia kembali ke tempat duduk semula dan mengambil dompet di kantong belakang celananya, mengeluarkan selembar foto berwarna yang masih terlihat jernih meskipun ada garis putih melintang di sudutnya karena bekas lipatan. Ia memperlihatkan foto itu kepada Ayah, kemudian Ibu mengulurkan tangan untuk melihatnya.

“Tidak ada suara yang lebih merdu di dunia ini daripada suaranya.” ucapnya dengan tersenyum lebar hingga memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Kuperhatikan foto yang ada ditelapak tangan ibuku, gambar anak kecil berkulit putih bersih, memakai gaun putih dengan bagian bawah yang melebar seperti bunga mawar terbalik. Usianya mungkin 2 atau 3 tahun lebih muda dariku. Di bagian kepalanya diikat semacam kain tipis juga berwarna putih. Hampir tidak bisa dibedakan apakah ia malaikat kecil atau seorang anak manusia. Ia duduk di atas kursi kayu bergaya Jawa klasik. Tersenyum, matanya begitu sipit hingga kelihatan seperti sedang terpejam. Hidungnya mungil, pipinya bulat dan rambutnya hitam lurus diikat dengan pita di atas kedua telinga.

“Cantik sekali, Pak Santo. Anda sungguh diberkati.” puji ibuku.

“Terima kasih. Begitu pula kalian.” ucap Pak Santo sambil mengelus rambutku.

“O ya, maaf belum kenalan. Siapa nama kamu?” tanyanya padaku dengan lembut.

“Wulan.”

“Nama yang cantik sekali, secantik wajahnya. Kelas berapa?”

“Satu.” jawabku sambil mengangkat telunjuk di depan muka.

Kemudian kembali ia menghadap ke Ayah.

“Kalau yang itu, siapa namanya?” tanyanya sambil menunjuk ke arah kakakku.

“Lintang.” jawab Ayah.

”Ia kelas dua SMP sekarang.” sahut Ibu.

Pak Santo mengangguk. ”Seharusnya aku sudah memiliki dua anak,” ucapnya kemudian, “Anak pertamaku laki-laki. Namanya Daniel. Cuma sayang, ia ditakdirkan lain, hanya bertahan hidup selama enam jam selepas dari perut ibunya.”

”Maafkan kami.” kata Ibu.

“Tidak apa-apa.” kata Pak Santo menanggapi ungkapan bela sungkawa ibu.” Kalau masih hidup mungkin seusia anak ini.” Laki-laki itu menghadap ke arahku dan kembali mengelus rambutku.

Obrolan berlanjut ke masalah pekerjaan. Pak Santo bercerita bahwa ia memiliki toko alat-alat elektronik di Jakarta. Tidak besar tetapi lumayan ramai. Sementara itu ia juga menjadi pemasok dari salah satu produk elektronik di beberapa kota di luar Jakarta. Sewaktu kejadian kemarin, ia baru saja mengantarkan barang ke kantor agen di kota kami.

Terdengar pintu depan terbuka dari luar, lalu muncul di baliknya dua orang perawat; laki-laki dan perempuan, keduanya masih muda, memakai seragam putih bersih. Perawat laki-laki mendorong kereta tempat obat-obatan, berjalan di belakang perawat perempuan. Kami serempak bangkit dan masuk. Dua perawat itu berhenti di dekat ranjang yang ditempati kakakku, mempersiapkan suntikan dan membuka tutup botol berisi obat dan menyedot isinya dengan suntikan. Kami diam menyaksikan dua perawat itu bekerja; menyuntikan obat ke dalam selang infus dan mengusapnya dengan kapas yang telah dibasahi cairan alkohol. Kemudian mengulanginya lagi sampai tiga kali. Setelah semuanya selesai, mereka mengucapkan terima kasih dan keluar ruangan. Kami masih terdiam ketika perawat itu pergi. Ayah berjalan ke kamar mandi dan Ibu membetulkan selimut yang menutupi tubuh kakak sementara Pak Santo memandangi layar monitor yang hanya selalu menampilkan garis-garis.

Pukul setengah delapan kami kembali berkumpul di teras, kali ini teras depan ruang perawatan. Di depan kami terdapat taman yang tidak begitu luas dengan lampu berbentuk bulat menerangi tengahnya.

Meskipun disediakan kursi juga meja namun kami tetap memilih duduk di lantai, disamping karena kursi yang tersedia kurang mencukupi juga untuk memudahkan pengawasan terhadap tubuh kakakku. Aku duduk di pangkuan Ibu menghadap ke arah Ayah dan Pak Santo, menikmati elusan jemari Ibu di rambutku dan pelukan lengannya yang melingkar di perutku.

Seorang laki-laki sebaya dengan Pak Santo, yang dari tadi kulihat merenung sendirian di kursi teras ruang perawatan sebelah ruangan kakakku, datang menghampiri dan duduk bersama kami.

“Nampaknya masih sangat muda dia.” kata laki-laki itu sambil menunjuk ke arah kakakku, mencoba meleburkan diri dalam pembicaraan kami.

“Benar, kelas dua SMP.” sahut ibuku.

“Kelas dua SMP.” Laki-laki itu menggumam.”Masih sangat panjang jalan ke depan.”

Kami terdiam sesaat. Begitu juga laki-laki itu.

“Kecelakaan?” tanyanya kembali.

“Ya.” jawab Ayah. Sempat kulirik Pak Santo ketika ayahku menjawab pertanyaan laki-laki itu dan kulihat ada sorot penyesalan yang dalam di matanya.

“Siapa yang sakit, Pak?” tanya Ayah kepada laki-laki itu.

“Bapakku.” jawabnya.”70 tahun lebih usianya.”

“Sudah berapa hari dirawat?” tanya Ibu.

Laki-laki tersebut diam sejenak memikirkan sesuatu, ”Satu minggu.” jawabnya.

“Sakit apa?” kembali ayahku bertanya.

“Menurut dokter ada tumor kecil di dalam sini.” katanya sambil meraba lambungnya sendiri. ”juga ada luka dalam. Dan mungkin juga faktor keletihan setelah bertahun-tahun menjalani hidup.”

Ayah mengangguk pendek.

“Terlalu keras dia bekerja sewaktu mudanya dulu.” lanjut laki-laki itu.”Hingga sekarang tubuhnya ambruk.”

“Semoga lekas diberi kesembuhan, Pak.” ucap ibuku.

“Ya, terima kasih.” kata laki-laki itu. ”Aku pun sangat berharap begitu, diberi kesembuhan dan diberi kesempatan yang lama lagi untuk menjalani hidup. Inilah saat bagiku untuk menghapus dosa-dosaku. Bertahun-tahun aku tidak pernah mempedulikannya. Hidupku saat itu hanya untuk cita-cita diri sendiri. Aku begitu egois. Dan sekarang, aku sangat menyesal.”

“Usia 19 tahun aku pergi dari rumah.” Laki-laki itu mulai bercerita.”Tidak pernah memberi kabar atau menengok atau apapun. Aku benar-benar menghilangkan diri selama 9 tahun. Ketika usiaku mencapai 28, aku pulang. Itu pun hanya sebentar, hanya untuk urusan pernikahan, pernikahan yang hanya bertahan seumur jagung dan tak menghasilkan apa-apa selain kepedihan. Setelah itu kembali menghilang selama bertahun-tahun. Hingga ketika ibuku meninggal pun aku tidak tahu, kemudian adikku yang selama itu mengurusi orang tua, juga meninggal, pun aku tidak mengetahuinya. Baru sekitar satu bulan yang lalu aku tersadar, disadarkan oleh perasaan yang sangat sepi. Benar-benar sepi, baru kali itu aku mengalaminya dalam hidup. Lalu aku memutuskan untuk pulang.” ia menghembuskan nafas sejenak. ”Kudapati rumah sudah begitu usang, dan bapakku kelihatan jauh lebih tua dari yang aku bayangkan. Sejak kepergian adikku, ia hanya ditemani oleh seorang keponakan perempuan. Itu pun tidak setiap waktu, hanya saat-saat tertentu saja. Sejak kedatanganku kembali, semua tugas kuambil alih. Aku merawatnya dengan sepenuh hati. Aku selalu berharap semoga ia diberi umur panjang agar aku bisa mengurusnya lebih lama lagi. Satu bulan setelah aku di rumah, ia jatuh sakit dan mesti dirawat inap.”

Tidak ada kata lagi yang keluar dari mulut kami setelah laki-laki itu berhenti bercerita. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di keremangan sudut-sudut taman dan teras ruang perawatan terlihat orang-orang sedang ngobrol. Di jalan di samping taman tiga perawat sedang mendorong ranjang yang ditempati seorang pasien.

Tiba-tiba terdengar erangan dari dalam ruangan. Kami spontan bangkit dan berjalan ke arah tubuh kakakku. Sementara kami masuk, laki-laki itu hanya berdiri di pintu selama beberapa saat, kemudian pergi. Di atas ranjang kepala kakakku menoleh ke kanan dan ke kiri seperti sedang ada mimpi buruk dalam tidurnya, dari mulutnya terus terdengar desahan. Baru saja Pak Santo hendak berlari keluar untuk memanggil perawat, kakakku kembali terdiam tak sadarkan diri.

Aku duduk bersama ibu di dekat pintu, sementara ayah dan Pak Santo duduk di kursi menyalakan televisi tanpa ada suara.

“Kalian carilah makanan ringan untuk kami,” suruh Ayah kepada Ibu, “juga kopi. Bapak mau kopi atau teh?” tanya ayahku kepada Pak Santo.

“Teh.” jawab laki-laki itu.

Aku berjalan tertatih di samping ibu menuju kantin. Melewati jalanan selebar tiga meter dengan tiang-tiang yang berjajar rapi di tepinya. Melangkah di antara pengunjung, perawat ataupun dokter yang memakai seragam warna putih. Melintas di depan pintu-pintu ruang perawatan dan menyaksikan tubuh-tubuh yang tertutup selimut putih terbaring di atas ranjang, hingga aku merasa begitu banyak orang sakit di dunia ini. Sementara ibuku terus berjalan seolah tidak peduli sama sekali dengan sekitarnya.

Tiba di kantin ibuku langsung menuju ke arah makanan yang berjajar di atas rak.

“Bu, Pak Santo lucu.” kataku.

“Lucu kenapa?” ia menyahut tanpa memalingkan wajahnya.

“Caranya berdoa sebelum makan begini.” Aku memperagakan apa yang kulihat ketika makan malam tadi.

“O.” Barulah saat itu ia berpaling dan tersenyum ke arahku.” Setiap orang bekerja dengan caranya sendiri-sendiri buat mencari uang. Begitu juga dengan berdoa.”

Setelah itu ia kembali tenggelam dalam kesibukannya memilih makanan; dua bungkus kacang goreng, dua bungkus kripik pisang, satu bungkus makanan ringan untukku, teh dan kopi yang masing-masing ditaruh di gelas plastik, lalu menyerahkan semuanya ke kasir kemudian keluar.

Ketika telah kembali di tempat kakakku berada, aku merasakan sesuatu yang ganjil melingkupi ruangan. Kakakku masih terbaring dengan posisi semula. Ayah dan Pak Santo sekarang berada lebih dekat dengan televisi yang volume suaranya telah sedikit diperbesar. Wajah mereka terlihat sangat tegang menatap layar tv yang sedang memperlihatkan gambar orang-orang berlari di tengah keremangan jalanan sambil membawa tongkat. Api berkobar dari ban yang dibakar di tengah jalan raya. Kaca-kaca gedung berantakan dan mobil-mobil telah berubah menjadi barang rongsok.

“Apa yang terjadi?” tanya ibuku yang ikut memperhatikan kejadian yang sedang ditayangkan di televisi.

“Ada kerusuhan di Jakarta.” jawab Ayah tanpa menoleh dari layar tv.

Di tengah-tengah kebisuan itu tiba-tiba kakakku kembali mengerang. Perhatian mereka teralihkan ke tubuh kakak, televisi langsung dimatikan. Kali ini erangannya lebih hebat, kepalanya terus bergerak ke kanan dan ke kiri. Aku tak mampu untuk tetap berada di dalam ruangan. Aku berlari keluar dengan air mata yang tanpa sadar telah menetes di pipi. Terlihat Pak Santo juga berlari keluar ruangan untuk memanggil perawat. Beberapa saat kemudian kembali lagi bersama dua orang perawat di belakangnya.

Aku sudah tidak mempunyai keberanian lagi untuk masuk ruangan. Di teras ruang perawatan aku duduk menggenggam erat lengan kursi, mendengarkan erangan kakakku, mendengarkan isak tangis ibuku, mendengarkan suara sepatu perawat yang mengetuk lantai, mendengarkan denting botol obat. Seorang perawat laki-laki berjalan cepat keluar dari ruangan kakakku, dan berbelok ke sebuah gang. Tidak lama kemudian datang lagi diikuti seorang dokter laki-laki bertubuh agak gemuk.

Terdengar dari luar ruangan suara roda yang bergesekan dengan lantai. Dua orang perawat mendorong ranjang beserta tubuh kakakku ke satu tempat, dibantu oleh Pak Santo dan Ayah. Ibu meraih tanganku dan kami berjalan tertinggal beberapa meter di belakang rombongan. Sampai di ruang ICU, ranjang itu dimasukkan. Hanya ayah yang diperbolehkan menengok. Sementara ibu, Pak Santo dan aku disuruh menunggu di luar. Pak Santo nampaknya masih diliputi kecemasan oleh berita kerusuhan tadi. Ia memberitahukan kebetulan kerusuhan tersebut terjadi di daerah di mana ruko miliknya berada. Ruko tersebut selain untuk berjualan juga sebagai tempat tinggal, dan ia belum mengetahui kabar tentang keadaan istri dan anaknya saat ini. Kemudian ia berpamitan pada ibu untuk mencari telefon umum.

“Ya, cepat carilah kabar keluargamu.” kata Ibu.

Laki-laki keturunan Cina tersebut berjalan cepat meninggalkan kami berdua, menghilang di lorong bangunan. Terlintas bayangan di pikiranku seorang anak balita menangis dalam pelukan ibunya yang sedang dilanda ketakutan di sebuah ruangan dengan kaca-kaca hancur berantakan. Tak lama kemudian ayah muncul dari balik pintu dengan wajah lesu dan langsung ditanyai Ibu,”Bagaimana, Pak?”

Ayah merangkul pundak ibuku dan membimbingnya menuju kursi panjang di depan ruangan ICU.

“Kita tunggu keputusan Dokter.” jawab Ayah sambil menggenggam erat jemari Ibu.

Kami diam membisu beberapa saat hingga kemudian Ayah angkat bicara, ”Kalian pulanglah. Besok masih bisa kemari lagi. Tidak ada tempat istirahat di sini, jangan sampai kalian jatuh sakit.”

Akhirnya aku dan Ibu memutuskan untuk pulang malam itu. Sebelum pulang, ibu membawaku ke ruang perawatan semula untuk mengambil beberapa barang. Sementara ia sedang berada di dalam ruangan kosong tersebut, aku tetap berdiri di luar. Mencoba menghilangkan jenuh, aku berjalan-jalan hingga di depan pintu ruangan sebelahnya. Di situ aku melihat seorang pasien yang terbaring kaku, sementara dua orang perawat sedang mengikatkan kain putih di rahang pasien tersebut menuju atas kepala, setelah itu kedua lengannya dipertemukan di depan dada dan diikat di bagian pergelangan, terakhir kedua kakinya diikat di atas mata kaki. Kain batik warna coklat diselimutkan di sekujur tubuh pasien tersebut. Berdiri di sampingnya seorang laki-laki yang tadi sempat ikut ngobrol bersama Pak Santo dan orang tuaku tadi di teras ruang perawatan kakak.

Tanpa disadari Ibu telah berdiri di sampingku, memandangi ruangan yang sama dengan yang sedang kulihat. Pasien tersebut telah di tutup kain warna hijau setelah itu di dorong keluar, melintas di samping aku dan ibuku. Mengikuti di belakangnya laki-laki tadi dengan mata berair dan wajah lesu, berjalan tanpa menoleh ke arah kami.

“Ada apa dengan orang itu?” tanyaku pada Ibu menunjuk ke pasien yang tertutup kain warna hijau.

Ibuku hanya mengangkat bahu, ”tertidur mungkin.” katanya.

“Kenapa mesti diikat di bagian sini.” kataku sambil meraba rahang, pergelangan dan kaki. ”Kenapa mesti ditutupi kain?”

“Mungkin agak lama ia akan tertidur. Sudahlah, cepat kita pulang sebelum kemalaman.”

Di tengah perjalanan tiba-tiba aku membayangkan kakakku yang mesti diikat di rahang, di pergelangan tangan dan di kakinya kemudian ditutupi kain. Tubuhku gemetaran dan kugenggam erat-erat tangan ibuku. Terlintas kesadaran yang datang entah dari mana, aku bertanya dalam hati, apakah itu yang disebut dengan kematian? Rasa takut mulai menjalariku, bukan oleh kematian itu tetapi karena membayangkan kakakku akan menjadi seperti itu. Dan aku menangis.

Dua bayangan sekaligus datang silih berganti dalam perjalanan pulangku. Bayangan Kakak dan Vina, anak perempuan Pak Santo. Terngiang di telingaku anak perempuan itu terus saja menangis dalam dekapan ibunya, terperangkap di ruangan yang hancur berantakan.

Sampai di rumah, ibu menyalakan televisi dan menyaksikan berita kerusuhan yang semakin mengganas disertai dengan penjarahan toko-toko. Esok harinya ketika aku dan ibuku kembali ke Rumah Sakit, kami mendapati Pak Santo dengan muka pucat dan mata sembab. Sebentar ia duduk di kursi sambil memegangi rambutnya kemudian berdiri dan berjalan mondar mandir setelah itu kembali menempati tempat duduknya semula. Keluarganya tidak ada yang bisa dihubungi, kata Ayah, dan akses menuju Jakarta ditutup untuk sementara sehingga Pak Santo tidak bisa menjenguk keadaan anak istrinya dalam waktu dekat.

Jakarta berada dalam siaga 1. Gedung-gedung pertokoan terbakar, beberapa kendaraan di jalan raya hancur, penjarahan terjadi di mana-mana.

Menjelang siang, Pak Santo sudah tidak bisa lagi bertahan. Ia nekad untuk pulang saat itu juga, dan ayahku tidak mampu menahannya. Sebelum berangkat Pak Santo masih sempat berkata bahwa ia pasti akan menepati janjinya untuk menanggung semua biaya perawatan kakakku. Sudahlah, tidak usah dipikirkan, kami bisa mengurusnya sendiri, kata ayahku menanggapi ucapan Pak Santo.

Siangnya kami makan di depan ruang ICU. Seperti biasa duduk melingkar di atas tikar. Ibu sempat membeli makanan di jalan menuju Rumah Sakit tadi. Ayam goreng kecap, nasi dan jus mangga khusus untukku. Aku duduk merapat di samping Ibu. Mendadak melintas kerinduan pada sosok Pak Santo dan pada wajah anaknya di dalam foto kemarin. Selagi ayah dan ibu memejamkan mata untuk berdoa, aku menggenggam jemari tangan di depan dada beberapa saat kemudian menyentuhkan ke jidat dan menyilangkannya ke bahu kanan dan kiri. Aku berdoa untuk anak dan istri Pak Santo di Jakarta serta untuk keselamatan Pak Santo sendiri. Kemudian aku menutup mata, berdoa untuk kakak, untuk Ayah, Ibu dan Aku.


Tulisan ini bisa juga dibaca di sini 








? Previous Story

Sepak Bola Mesir: Antara Olahraga dan Politik

Older Post Home

0 comments: