Oleh: Manneke Budiman, Pengajar Fakultas Ilmu Budaya UI
K umcer Rumah Kopi (2011) karya Yusi Avianto Pareanom ini menyodorkan beragam macam tema dan sulit untuk mencari satu keutuhan ataupun kebulatan di dalamnya. Pautan longgar ini tidak hanya tampak di antara cerpen-cerpen yang dikumpulkan menjadi satu di sini, tetapi juga di dalam beberapa cerpen itu sendiri, yang kadang terkesan dibiarkan tak usai. Seolah Yusi percaya bahwa sebuah kisah tak harus punya akhir, seperti halnya peristiwa-peristiwa dalam hidup sehari-hari yang mengalir begitu saja dan kerap tak tuntas, sebelum keburu berganti dengan kejadian lain.
Bicara soal peristiwa hidup, maka menarik pula untuk melihat bagaimana organisasi cerita dalam kumcer ini bekerja. Empat cerita pertama punya warna referensial yang cukup kuat, yang menjejakkan cerita pada acuan kenyataan yang lumayan konkret. Membaca cerita-cerita ini serasa kembali menyimak kisah-kisah Pramoedya Ananta Toer yang dimuat dalam Cerita dari Blora(1952), yang kebanyakan berisi kenangan masa lalu yang melekat dalam memori pengarangnya. Bedanya dengan kisah-kisah dalam Rumah Kopi, cara Pram bercerita kalah lucu, dan juga kurang cuek. Pram terlalu serius, sementara Yusi lebih memilih untuk beringan hati saja dalam “berbual-bual” tentang macam-macam kejadian di kampung halamannya, yang entah betul-betul terjadi atau cuma hasil keisengan imajinasi Yusi saja.
Empat cerita pertama ini (“Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai”, “Dosa Besar No. 14”, “Sebelum Peluncuran”, “Edelweiss Melayat ke Ciputan”) perlu saya sebut sebab saya mau mengontraskan mereka dengan sisa cerita yang lain yang, menurut saya, secara sengaja justru mau menggoyahkan dominasi kenyataan atas fiksi. Persoalan dikotomi fakta dan fiksi ini tentunya bukan barang baru, sebab Ignas Kleden sudah mengupasnya dengan mendalam lebih dari satu dasawarsa yang lalu dalam artikelnya, “Fakta dan Fiksi Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu Sosial” (1998), dan disusul oleh Radhar Panca Dahana, yang menerbitkan bukunya tak lama kemudian, Kebenaran dan Dusta dalam Sastra (2001). Bila Ignas masih mau melihat kompleksitas hubungan antara dua dunia yang saling menafikan ini, Radhar dengan tegas mau mempertahankan pemisahan antara keduanya, serta mengharamkan lintas-batas.
Sesudah empat cerita pertama, Yusi makin gila-gilaan. Ia membuat kisahan yang mencolok betul kefiktifannya, dan kejadian-kejadian dalam kisah-kisah itu pun sepertinya sengaja direka untuk menyampaikan betapa ‘bohong’-nya semua yang diceritakan di dalamnya (“Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari”, “Telur Rebus dan Kulit Kasim”). Cerita berikutnya, “Penyakit-penyakit yang Mengundang Tawa” memang sungguh-sungguh tentang tiga macam penyakit ndeso, seperti cacar air, bisulan dan gondongan. Sasarannya tak pandang bulu, dari orang biasa sampai baginda raja sampai santri. Tiga subcerita ini masing-masing diakhiri begitu saja tanpa kejelasan apa yang terjadi pada ujungnya. Demikian pula cerita selanjutnya, yang judulnya dipakai sebagai judul kumcer. Isinya tentang kejadian dan percakapan di setiap meja di sebuah restoran, yang sama sekali tak saling berkaitan satu sama lain.
“Kabut Permata” dan “Kabut Suami” dua-duanya betulan bercerita tentang kabut, dalam arti kiasan, dan bukan cuma judul-judulan. Dalam cerita pertama seorang suami kehilangan istrinya, yang tiba-tiba minggat begitu saja, sedangkan dalam cerita kedua sang suami yang justru belajar ilmu menghilang agar tak terlacak oleh istrinya. Dua cerita ini pun, seperti cerita-cerita sebelumnya, terkesan dipotong begitu saja pada akhirnya, dan pengarang tampaknya memang tak berniat menyajikan akhir yang final. Yang penting, sejauh ini, kelihatannya adalah kejadian, dan bagaimana kejadian itu dituturkan, bukan bagaimana ia terjadi secara nyatanya. Tujuan pertama jelas lebih ditekankan daripada tujuan kedua, seakan ingin disampaikan bahwa semua kejadian adalah kejadian yang diceritakan, bukan realitas kejadian itu sendiri. Dan, menilik dari cerita-cerita tersebut, suatu kejadian tampaknya juga tak harus punya kerunutan, kohesi, atau bahkan makna bulat.
Jadi, ada semacam pernyataan tentang hubungan antara kenyataan dan fiksi yang hendak dibuat, yakni bahwa keduanya lebih mirip saudara kembar daripada seteru, dan keduanya dapat hadir bersama-sama dalam sebuah kisah tentang sebuah peristiwa nyata tanpa mesti saling menggugurkan. Apa yang menyatukan keduanya, dengan demikian, sehingga sebuah garis tegas pemisah tak perlu ada ataupun dipertahankan, sebagaimana diusulkan Radhar dulu? Menurut Yusi, titik temu antara fakta dan fiksi, tempat keduanya melebur menjadi kembaran, adalah apa yang disebutnya dengan ‘kebetulan’ dalam cerita “Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih” atau ‘kemungkinan” dalam teori Murphy yang dirujuknya pada kisah terakhir, “Hukum Murphy Membelit Orang-orang Karangapi”.
‘Kebetulan’, atau yang kadang dirujuk dengan istilah keren deus ex machina dan berkonotasi rendah sebab dianggap sebagai senjata terakhir seorang pengarang yang kepepet untuk memelintir jalan cerita yang ditulisnya, oleh Yusi justru ditampilkan sebagai jembatan antara realitas dan rekaan.Ia bukan sebuah peranti sastra kelas tiga. Banyak kejadian dalam berbagai cerita dalam kumcer ini yang terbangun di atas serentetan kebetulan, dan ini harus diterima sebagai bagian dari kenyataan hidup yang susah untuk ditolak. Yusi bahkan perlu menyisipkan dalam sebuah cerpennya ulasan tentang teori kebetulan dalam sastra maupun kenyataan: “kebetulan bisa betul-betul terjadi dalam kehidupan nyata” sebagai sanggahan atas kritik yang memperkarakan cerita yang “penuh dengan kebetulan” (lihat cerpen “Ajal Anwar Sadat”). Bahkan para dewa dan tokoh legenda yang sakti-sakti pun tak luput dari jebakan ‘kebetulan’ ini, sebagaimana dapat disaksikan dalam cerita “Durna Sambat” dan “Dua Kisah Pendek tentang Punakawan”.
Yusi sepertinya juga mau menunjukkan bahwa yang namanya ‘kebetulan’ tidak selalu melulu bersifat manasuka dan acak. Dalam “Tiga Maria dan Satu Mariam”, empat orang tak saling kenal di bagian dunia yang berbeda dan dalam ruang waktu berlainan tak hanya dipersatukan oleh kemiripan nama mereka, tetapi juga oleh suatu kehilangan. Masing-masing bergulat menjalani hidup mereka sembari menanggung kehilangan tersebut: Maria di Zurich merindukan figure ibu yang hilang, yang tak dapat dipenuhi oleh sosok ibunya yang nyata. Mariam di Pidie menanti-nanti kepulangan suaminya yang tak menentu rimbanya akibat perang. Maria di Semarang-Jogja kehilangan inosensinya akibat ulah ayah kandungnya semasa ia kecil. Dan Maria di Jakarta-Dresden-Edinburgh kehilangan indera penglihatannya karena cacat lahir.
Peristiwa-peristiwa terjadi begitu saja.Orang lahir, hidup dan mati selancar kita membuka lembar-lembar halaman kumcer, dan seniscaya takdir yang senantiasa menolak diperdebatkan.Itulah kejadian, atau kenyataan.Namun, cerita atau tuturan atas kejadian itu adalah pemegang peran kunci dalam memberi arti pada seorang manusia yang hidup matinya berlalu begitu saja.Maka, kita pun berkesempatan mengenal sosok-sosok orang biasa yang seolah dalam kenyataan tidak cukup penting untuk dikenang: Samantha dalam “Sengatan Gwen”, Bu Sewon dalam “Dari Dapur Bu Sewon”, dan Sentot dalam “Laki-laki di Ujung Jalan”.
Menariknya, dua cerita terakhir seperti menyempurnakan siklus struktur kumcer. Apabila buku ini diawali dengan serangkaian cerita yang terkesan berpijak cukup solid pada kenyataan, pada akhir buku, dua cerpen terakhir, yakni “Laki-laki di Ujung Jalan” dan “Hukum Murphy Membelit Orang-orang Karangapi”, seakan mengembalikan pijakan tersebut, sesudah tubuh tengah kumcer ini diacak-aduk dengan gado-gado antara kejadian remeh-temeh yang lucu-lucu dan aneka mitos, dongeng, serta legenda, yang juga lucu. Ini kian mengukuhkan asumsi bahwa Yusi sungguh mau menghapus garis ketat yang menceraikan fakta dan fiksi, sekaligus menyarankan agar kita menyikapi saja setiap kejadian dalam hidup ini dengan ringan hati dan ketawa-ketiwi, sebab tak ada yang sungguh-sungguh patut diseriusi.
Kembali ke soal ‘kemungkinan’, yang merupakan versi agak serius dari ‘kebetulan’.Jika dalam “Ajal Anwar Sadat” ‘kebetulan—yang sering diasosiasikan dengan fiksi murahan—diperlakukan secara serius sehingga menjadi batu penjuru cerita, maka dalam “Hukum Murphy” teori kemungkinan—yang lebih lekat dengan realitas—malahan disikapi dengan guyon. Jadi, ada dinamika timbal-balik yang menggelitik dalam konfigurasi hubungan fakta dan fiksi yang dibangun oleh kumcer Yusi. Dalam cerpen terakirnya di sini, sang pengarang bahkan menuturkan bahwa ‘kemungkinan’ itu sendiri sebetulnya merupakan suatu keniscayaan. Ia tak dapat ditolak, sebagaimana halnya kejadian dalam hidup terjadi begitu saja. Dan kita, daripada repot-repot melawan, lebih baik menjalaninya saja sambil tertawa, sebab apa yang terkesan tragis dapat menjadi lucu bila saja kita mau memakai imajinasi kreatif kita dalam menafsir kenyataan.
Maka, masih perlukah kohesi? Keutuhan, kebulatan, dan kemaknawian? Rumah Kopi Singa Tertawa tak mengharamkan itu semua sebab, bagaimanapun juga, kita masih bisa menemukan adanya setitik kesatuan dalam cerita-cerita yang berserakan di dalamnya, paling tidak pada struktur alur penempatan tiap-tiap cerpen dalam kaitannya satu dengan yang lain. Sama halnya dengan kita masih bisa menyaksikan bersit-bersit relitas dalam gambar sampul depan yang hendak memfiksikan apa yang nyata lewat topeng-topeng, sembari pada saat bebarengan tak sungguh-sungguh hendak menyembunyikan kenyataan di balik topeng-topeng itu. Nama-nama para pelaku yang terpotret pada sampul depan itu disebutkan secara lengkap dan berurutan pada sampul dalam, dan diulangi lagi dalam ucapan terima kasih di sampul dalam akhir. Tak ada yang hendak disembunyikan sebetulnya.
Malahan, kalau kita mau sedikit bermain-main dengan realitas, seperti dianjurkan kumcer ini, saya bisa saja membaca judul novel Hikayat Abdulah Yusuf Gambiranom yang ditulis tokoh dalam cerpen “Sebelum Peluncuran” sebagai permainan nama Yusi Avianto Pareanom sendiri. Tinggal menggeser-geser sedikit dua inisial pertama pada nama Abdullah Yusuf dan Yusi Avianto (A.Y. menjadi Y.A.) dan menguncinya dengan kemiripan antara Gambiranom (fiksi) dan Pareanom (nyata). Tapi saya tak mau mendorongnya terlalu jauh dengan membaca tokoh Budiman yang doyan numpang makan gratis tanpa tahu malu dalam “Dosa Besar No. 14” sebagai representasi fiktif dari Manneke Budiman. Hehehe…
Bicara soal peristiwa hidup, maka menarik pula untuk melihat bagaimana organisasi cerita dalam kumcer ini bekerja. Empat cerita pertama punya warna referensial yang cukup kuat, yang menjejakkan cerita pada acuan kenyataan yang lumayan konkret. Membaca cerita-cerita ini serasa kembali menyimak kisah-kisah Pramoedya Ananta Toer yang dimuat dalam Cerita dari Blora(1952), yang kebanyakan berisi kenangan masa lalu yang melekat dalam memori pengarangnya. Bedanya dengan kisah-kisah dalam Rumah Kopi, cara Pram bercerita kalah lucu, dan juga kurang cuek. Pram terlalu serius, sementara Yusi lebih memilih untuk beringan hati saja dalam “berbual-bual” tentang macam-macam kejadian di kampung halamannya, yang entah betul-betul terjadi atau cuma hasil keisengan imajinasi Yusi saja.
Empat cerita pertama ini (“Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai”, “Dosa Besar No. 14”, “Sebelum Peluncuran”, “Edelweiss Melayat ke Ciputan”) perlu saya sebut sebab saya mau mengontraskan mereka dengan sisa cerita yang lain yang, menurut saya, secara sengaja justru mau menggoyahkan dominasi kenyataan atas fiksi. Persoalan dikotomi fakta dan fiksi ini tentunya bukan barang baru, sebab Ignas Kleden sudah mengupasnya dengan mendalam lebih dari satu dasawarsa yang lalu dalam artikelnya, “Fakta dan Fiksi Imajinasi dalam Sastra dan Ilmu Sosial” (1998), dan disusul oleh Radhar Panca Dahana, yang menerbitkan bukunya tak lama kemudian, Kebenaran dan Dusta dalam Sastra (2001). Bila Ignas masih mau melihat kompleksitas hubungan antara dua dunia yang saling menafikan ini, Radhar dengan tegas mau mempertahankan pemisahan antara keduanya, serta mengharamkan lintas-batas.
Sesudah empat cerita pertama, Yusi makin gila-gilaan. Ia membuat kisahan yang mencolok betul kefiktifannya, dan kejadian-kejadian dalam kisah-kisah itu pun sepertinya sengaja direka untuk menyampaikan betapa ‘bohong’-nya semua yang diceritakan di dalamnya (“Tiga Lelaki dan Seekor Anjing yang Berlari”, “Telur Rebus dan Kulit Kasim”). Cerita berikutnya, “Penyakit-penyakit yang Mengundang Tawa” memang sungguh-sungguh tentang tiga macam penyakit ndeso, seperti cacar air, bisulan dan gondongan. Sasarannya tak pandang bulu, dari orang biasa sampai baginda raja sampai santri. Tiga subcerita ini masing-masing diakhiri begitu saja tanpa kejelasan apa yang terjadi pada ujungnya. Demikian pula cerita selanjutnya, yang judulnya dipakai sebagai judul kumcer. Isinya tentang kejadian dan percakapan di setiap meja di sebuah restoran, yang sama sekali tak saling berkaitan satu sama lain.
“Kabut Permata” dan “Kabut Suami” dua-duanya betulan bercerita tentang kabut, dalam arti kiasan, dan bukan cuma judul-judulan. Dalam cerita pertama seorang suami kehilangan istrinya, yang tiba-tiba minggat begitu saja, sedangkan dalam cerita kedua sang suami yang justru belajar ilmu menghilang agar tak terlacak oleh istrinya. Dua cerita ini pun, seperti cerita-cerita sebelumnya, terkesan dipotong begitu saja pada akhirnya, dan pengarang tampaknya memang tak berniat menyajikan akhir yang final. Yang penting, sejauh ini, kelihatannya adalah kejadian, dan bagaimana kejadian itu dituturkan, bukan bagaimana ia terjadi secara nyatanya. Tujuan pertama jelas lebih ditekankan daripada tujuan kedua, seakan ingin disampaikan bahwa semua kejadian adalah kejadian yang diceritakan, bukan realitas kejadian itu sendiri. Dan, menilik dari cerita-cerita tersebut, suatu kejadian tampaknya juga tak harus punya kerunutan, kohesi, atau bahkan makna bulat.
Jadi, ada semacam pernyataan tentang hubungan antara kenyataan dan fiksi yang hendak dibuat, yakni bahwa keduanya lebih mirip saudara kembar daripada seteru, dan keduanya dapat hadir bersama-sama dalam sebuah kisah tentang sebuah peristiwa nyata tanpa mesti saling menggugurkan. Apa yang menyatukan keduanya, dengan demikian, sehingga sebuah garis tegas pemisah tak perlu ada ataupun dipertahankan, sebagaimana diusulkan Radhar dulu? Menurut Yusi, titik temu antara fakta dan fiksi, tempat keduanya melebur menjadi kembaran, adalah apa yang disebutnya dengan ‘kebetulan’ dalam cerita “Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih” atau ‘kemungkinan” dalam teori Murphy yang dirujuknya pada kisah terakhir, “Hukum Murphy Membelit Orang-orang Karangapi”.
‘Kebetulan’, atau yang kadang dirujuk dengan istilah keren deus ex machina dan berkonotasi rendah sebab dianggap sebagai senjata terakhir seorang pengarang yang kepepet untuk memelintir jalan cerita yang ditulisnya, oleh Yusi justru ditampilkan sebagai jembatan antara realitas dan rekaan.Ia bukan sebuah peranti sastra kelas tiga. Banyak kejadian dalam berbagai cerita dalam kumcer ini yang terbangun di atas serentetan kebetulan, dan ini harus diterima sebagai bagian dari kenyataan hidup yang susah untuk ditolak. Yusi bahkan perlu menyisipkan dalam sebuah cerpennya ulasan tentang teori kebetulan dalam sastra maupun kenyataan: “kebetulan bisa betul-betul terjadi dalam kehidupan nyata” sebagai sanggahan atas kritik yang memperkarakan cerita yang “penuh dengan kebetulan” (lihat cerpen “Ajal Anwar Sadat”). Bahkan para dewa dan tokoh legenda yang sakti-sakti pun tak luput dari jebakan ‘kebetulan’ ini, sebagaimana dapat disaksikan dalam cerita “Durna Sambat” dan “Dua Kisah Pendek tentang Punakawan”.
Yusi sepertinya juga mau menunjukkan bahwa yang namanya ‘kebetulan’ tidak selalu melulu bersifat manasuka dan acak. Dalam “Tiga Maria dan Satu Mariam”, empat orang tak saling kenal di bagian dunia yang berbeda dan dalam ruang waktu berlainan tak hanya dipersatukan oleh kemiripan nama mereka, tetapi juga oleh suatu kehilangan. Masing-masing bergulat menjalani hidup mereka sembari menanggung kehilangan tersebut: Maria di Zurich merindukan figure ibu yang hilang, yang tak dapat dipenuhi oleh sosok ibunya yang nyata. Mariam di Pidie menanti-nanti kepulangan suaminya yang tak menentu rimbanya akibat perang. Maria di Semarang-Jogja kehilangan inosensinya akibat ulah ayah kandungnya semasa ia kecil. Dan Maria di Jakarta-Dresden-Edinburgh kehilangan indera penglihatannya karena cacat lahir.
Peristiwa-peristiwa terjadi begitu saja.Orang lahir, hidup dan mati selancar kita membuka lembar-lembar halaman kumcer, dan seniscaya takdir yang senantiasa menolak diperdebatkan.Itulah kejadian, atau kenyataan.Namun, cerita atau tuturan atas kejadian itu adalah pemegang peran kunci dalam memberi arti pada seorang manusia yang hidup matinya berlalu begitu saja.Maka, kita pun berkesempatan mengenal sosok-sosok orang biasa yang seolah dalam kenyataan tidak cukup penting untuk dikenang: Samantha dalam “Sengatan Gwen”, Bu Sewon dalam “Dari Dapur Bu Sewon”, dan Sentot dalam “Laki-laki di Ujung Jalan”.
Menariknya, dua cerita terakhir seperti menyempurnakan siklus struktur kumcer. Apabila buku ini diawali dengan serangkaian cerita yang terkesan berpijak cukup solid pada kenyataan, pada akhir buku, dua cerpen terakhir, yakni “Laki-laki di Ujung Jalan” dan “Hukum Murphy Membelit Orang-orang Karangapi”, seakan mengembalikan pijakan tersebut, sesudah tubuh tengah kumcer ini diacak-aduk dengan gado-gado antara kejadian remeh-temeh yang lucu-lucu dan aneka mitos, dongeng, serta legenda, yang juga lucu. Ini kian mengukuhkan asumsi bahwa Yusi sungguh mau menghapus garis ketat yang menceraikan fakta dan fiksi, sekaligus menyarankan agar kita menyikapi saja setiap kejadian dalam hidup ini dengan ringan hati dan ketawa-ketiwi, sebab tak ada yang sungguh-sungguh patut diseriusi.
Kembali ke soal ‘kemungkinan’, yang merupakan versi agak serius dari ‘kebetulan’.Jika dalam “Ajal Anwar Sadat” ‘kebetulan—yang sering diasosiasikan dengan fiksi murahan—diperlakukan secara serius sehingga menjadi batu penjuru cerita, maka dalam “Hukum Murphy” teori kemungkinan—yang lebih lekat dengan realitas—malahan disikapi dengan guyon. Jadi, ada dinamika timbal-balik yang menggelitik dalam konfigurasi hubungan fakta dan fiksi yang dibangun oleh kumcer Yusi. Dalam cerpen terakirnya di sini, sang pengarang bahkan menuturkan bahwa ‘kemungkinan’ itu sendiri sebetulnya merupakan suatu keniscayaan. Ia tak dapat ditolak, sebagaimana halnya kejadian dalam hidup terjadi begitu saja. Dan kita, daripada repot-repot melawan, lebih baik menjalaninya saja sambil tertawa, sebab apa yang terkesan tragis dapat menjadi lucu bila saja kita mau memakai imajinasi kreatif kita dalam menafsir kenyataan.
Maka, masih perlukah kohesi? Keutuhan, kebulatan, dan kemaknawian? Rumah Kopi Singa Tertawa tak mengharamkan itu semua sebab, bagaimanapun juga, kita masih bisa menemukan adanya setitik kesatuan dalam cerita-cerita yang berserakan di dalamnya, paling tidak pada struktur alur penempatan tiap-tiap cerpen dalam kaitannya satu dengan yang lain. Sama halnya dengan kita masih bisa menyaksikan bersit-bersit relitas dalam gambar sampul depan yang hendak memfiksikan apa yang nyata lewat topeng-topeng, sembari pada saat bebarengan tak sungguh-sungguh hendak menyembunyikan kenyataan di balik topeng-topeng itu. Nama-nama para pelaku yang terpotret pada sampul depan itu disebutkan secara lengkap dan berurutan pada sampul dalam, dan diulangi lagi dalam ucapan terima kasih di sampul dalam akhir. Tak ada yang hendak disembunyikan sebetulnya.
Malahan, kalau kita mau sedikit bermain-main dengan realitas, seperti dianjurkan kumcer ini, saya bisa saja membaca judul novel Hikayat Abdulah Yusuf Gambiranom yang ditulis tokoh dalam cerpen “Sebelum Peluncuran” sebagai permainan nama Yusi Avianto Pareanom sendiri. Tinggal menggeser-geser sedikit dua inisial pertama pada nama Abdullah Yusuf dan Yusi Avianto (A.Y. menjadi Y.A.) dan menguncinya dengan kemiripan antara Gambiranom (fiksi) dan Pareanom (nyata). Tapi saya tak mau mendorongnya terlalu jauh dengan membaca tokoh Budiman yang doyan numpang makan gratis tanpa tahu malu dalam “Dosa Besar No. 14” sebagai representasi fiktif dari Manneke Budiman. Hehehe…
0 comments: