Latest Posts

Showing posts with label Dunia. Show all posts
Showing posts with label Dunia. Show all posts
joyce mckinney
Para lelaki ditodong dan diculik sebelum diperkosa. Mungkinkah?


Pada 1978, seorang perempuan bernama Joyce McKinney dihukum penjara selama 12 bulan, karena memaksa seorang laki-laki berhubungan intim sambil diikat dengan rantai.

Ada ‘hantu’ gentayangan di Zimbabwe, dan para lelaki gemetar bukan kepalang. Suatu kali Susan Dhliwayo menyetir mobil di jalanan kota di negeri itu. Di tengah jalan gadis itu melihat segerombol lelaki berjalan kaki. Ingin berbuat baik, Susan lalu menawarkan tumpangan.

Tapi alangkah herannya dia. Niat baik itu ditolak. Perempuan 19 tahun itu mengerenyitkan kening, mendengar alasan para lelaki itu: mereka takut pada perempuan. “Mereka bilang, 'Kami tidak mau ikut karena tidak percaya sama kamu,'" kata Susan saat mengingat kejadian rada aneh itu, seperti dikutip New Straits Times pada Maret 2012.

Para lelaki di Zimbabwe kini melihat perempuan seperti ‘hantu’. Mereka takut diperkosa perempuan yang belum mereka kenal. Ya, diperkosa. Ini serius, para lelaki kerap jadi korban di sana. Salah satu modusnya adalah menawari tumpangan seperti yang dilakukan Susan.

Lalu, lelaki yang masuk jerat diancam pakai senjata. Ada juga yang diajak minum, tapi minumannya sudah dicampur obat kuat. Ada pula diancam pakai ular hidup, agar mau berhubungan intim berkali-kali sebelum dibuang ke tempat antah berantah. Sejumlah kasus mencuat di Zimbabwe, dan diberitakan media massa setempat. Media internasional pun mulai melirik.

Kasus ini akhirnya dikaitkan dengan cerita ada kelompok perempuan spesialis pengumpul sperma. Kisah ini muncul setelah polisi Zimbabwe beberapa waktu lalu sempat menahan tiga perempuan yang punya 31 kondom bekas berisi sperma milik sedikitnya 17 lelaki berbeda, yang mengaku jadi korban perkosaan. (Baca cerita lengkapnya di bagian Sesajen Sperma Sang Dukun)

Kasus terkini menimpa seorang serdadu muda di Zimbabwe. Setelah disekap berhari-hari, dan harta bendanya dirampok, prajurit malang berusia 25 tahun itu, harus melayani nafsu perempuan penculik.

Peristiwa itu berlangsung di Provinsi Manicaland, 19 April lalu. Tentara, yang namanya tak boleh dipublikasi, awalnya menjadi korban penculikan suatu komplotan yang terdiri dari dua perempuan dan seorang pria, begitu kata juru bicara Kepolisian Manicaland, Asisten Inspektur Muzondiwa Clean kepada laman NewsDay.

Korban awalnya percaya begitu saja ketika ditawari tumpangan oleh kelompok penculik. Lelaki malang itu berjalan sendirian di Birchenough Bridge, sekitar tengah malam. Itu adalah kawasan bisnis di pinggir Mutare, kota terbesar ketiga di Zimbabwe.

Mereka saat itu berjalan-jalan dengan mobil Mercedez Benz. "Sejam kemudian, dalam perjalanan ke Mutare, pengemudi keluar dari jalur, dan saat korban bertanya mau dibawa ke mana, mereka bilang ingin cari makanan," kata Clean saat mengulangi pengakuan korban.

"Si tentara kemudian minta berhenti, dan ingin turun dari mobil, namun pengemudi malah keluarkan pisau mengancam dia. Seorang dari dua perempuan lalu menutupi mata korban dengan ikatan kain," Clean melanjutkan.

Korban pun menyerah. Setelah tak lagi berdaya, mereka lalu menggasak harta bendanya. Sebuah ponsel dan uang setara US$35 disikat. Tak hanya itu, mereka melucuti pakaian korban.

Dibawa ke suatu rumah, korban lalu diancam lagi. Kali ini lebih gawat: kalau mau selamat penuhi dulu kebutuhan birahi salah seorang dari dua perempuan yang menculiknya. Bukan cuma sekali, tapi berkali-kali.

"Maka, selama empat hari berikut, dia dipaksa 'berhubungan intim' dengan salah seorang perempuan selama beberapa kali," kata Clean. Setelah tak lagi dibutuhkan, empat hari kemudian, atau pada 23 April 2013, lelaki naas itu dicampakkan di Pegunungan Dangamvura.

Menurut Clean, para pelaku cukup brutal. Korban sengaja dibuang di sana agar mati. Soalnya, kaki kiri korban sengaja dilukai dengan lemparan batu sehingga sulit berjalan. Namun, sebagai tentara, korban mampu bertahan hidup. Dia berhasil melaporkan kemalangannya ke kantor polisi terdekat, di Sakubva.

Tak bisa dijerat hukum?

Tentu, fenomena perempuan perkosa lelaki menyentak dunia yang penuh patriarki. Sejumlah kasus, walaupun kontroversial, sudah masuk kajian ranah akademis. Watch Ruparanganda, profesor sosiologi dari Universitas Zimbabwe, menilai ada kalangan masyarakat di negaranya yang menggunakan sperma orang lain untuk tujuan ritual. Ada yang bilang itu untuk "juju," yaitu ritual membawa nasib baik dengan menggunakan saripati sperma.

Ada kepercayaan sperma bisa digunakan untuk regenerasi kehidupan, karena unsur itu adalah sumber hidup secara biologis. “Beberapa kalangan merasa nasib buruk akan hilang dengan memakai cairan itu," kata Ruparanganda, yang dikutip CNN. Ada pula yang percaya memakai sperma akan membawa bisnis jadi untung. Atau jadi jimat bagi penjahat agar bisa menghilang.

"Pokoknya isu itu menjadi tak masuk akal," kata Ruparanganda, yang juga dikutip New Straits Times. Dia yakin sperma akhirnya menjadi bisnis menggiurkan. Dia lalu memberi ilustrasi bagaimana sperma menjadi komoditas di pinggir jalan.

Ketika itu dia sedang melakukan riset doktoral pada 2005. Kalangan anak muda di Harare mengungkapkan kepada Ruparanganda, bahwa ada pengusaha mengajak mereka ke hotel, lalu ditraktir minum alkohol. Setelah itu mereka ditawari kencan dengan perempuan pelacur. Tapi ada syaratnya, lelaki itu harus memakai kondom, yang kelak isinya harus diserahkan ke si pengusaha setelah berhubungan intim.

Perkosaan perempuan atas laki-laki ini jadi debat serius di kalangan ahli hukum. Banyak negara memiliki hukum pidana ihwal perkosaan dengan pelakunya lazim berkelamin laki-laki. Tak pernah terdengar ada hukuman mengatur kasus perkosaan, dengan pelaku perempuan, dan laki-laki sebagai korbannya.

Kontroversi inilah yang disinggung pakar hukum Nigeria, Profesor Itse Sagay. Dia mengungkapkan, di negaranya hukum mengatur kasus perkosaan dengan pelaku laki-laki. Maka penegak hukum di negaranya tak habis pikir bila harus menindak perempuan sebagai pelaku perkosaan atas laki-laki. Sagay menunjukkan contoh kesulitan penegak hukum dalam menindak tersangka perempuan pemerkosa.

"Ada suatu kasus perkosaan oleh seorang perempuan atas anak laki-laki berusia 12 tahun. Bocah itu disekap, dan dipaksa berhubungan intim dengan pelaku. Akhirnya korban dibuang dari jembatan, agar tak membocorkan kejahatannya. Namun, perempuan itu tak bisa didakwa dengan pasal perkosaan, karena wanita tak bisa dituduh memperkosa pria," kata Sagay seperti dikutip Vanguard.

Di Inggris pun pernah ada kasus serupa. Pada 1978, seorang perempuan bernama Joyce McKinney dihukum penjara selama 12 bulan, karena memaksa seorang laki-laki berhubungan intim sambil diikat dengan rantai. Namun, McKinnei tak sampai tinggal di balik jeruji. Dia bisa bebas dengan membayar denda, dan kabur ke luar negeri.

Sagay pun mengutarakan contoh kasus lain di Nigeria. Ada laporan dua perempuan muda suatu ketika menghentikan seorang tukang ojek, yang populer disebut Okada, untuk minta diantar ke suatu lokasi.

Di tengah perjalanan, tepatnya di suatu tempat sepi, dua perempuan itu tiba-tiba menodongkan pengojek itu dengan sepucuk pistol. Dia lalu disuruh telentang, dan melucuti celananya. Mereka lalu dikabarkan menyetubuhi tukang ojek secara bergilir, satu beraksi, dan satu lagi menodongkan senjata.

Begitu selesai, kedua perempuan itu berkata kepada tukang ojek bahwa mereka positif pengidap virus HIV. Rupanya aksi itu adalah bentuk balas dendam mereka karena ditulari virus AIDS dari laki-laki lain.

"Di mata hukum, apakah bisa dua perempuan itu dikenakan dakwaan perkosaan? Beberapa pengacara sudah mengangkat isu itu," kata Sagay, yang juga dikutip allafrica.com. Dia tetap tak yakin perempuan bisa jadi pemerkosa.

Argumen dia, seorang pria harus dirangsang agar bisa “greng” dengan perempuan. Jadi seorang laki-laki sulit jika dipaksa, atau diancam, agar bisa langsung berhubungan intim. Kata Sagay, dalam situasi takut dan disorientasi, laki-laki itu akan “letoy”. Dia tak akan mampu berhubungan seks.

Sumber: VivaNews



“La cuarta guerra mundial”, Subcomandante Marcos (EZLN). Ceramah Marcos di hadapan Komite Sipil Pengawasan HAM Internasional di La Realidad, Chiapas, Meksiko, 20 November 1999. Transkripsi terbit pertama kali di La Jornada, Kamis, 23 Oktober 2001, dan dimuat ulang di RebeldĂ­a no. 4 Februari 2003. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ronny Agustinus dan dimuat dalam Subcomandante Marcos, Kata adalah Senjata (Yogyakarta: Resist Book, 2005). (Sumber gambar: soylocoporti.com)
Dengan menempatkan kamera di seputar dirinya sendiri, Cindy Sherman membangun namanya sebagai salah satu fotografer paling disegani di akhir abad 20. Kendati sebagian besar foto yang dihasilkan adalah gambar dirinya, tapi foto-foto tersebut jelas bukan potret-diri, melainkan , Sherman menggunakan dirinya sebagai kendaraan untuk mengomentari beberapa isu tentang dunia modern: peran wanita, peran seorang seniman dsb. Melalui gambar-gambar ambigu dan ekletik tersebut, ia membangun suatu gaya yang berbeda. Melalui sejumlah karya, Sherman menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan penting tentang gambaran dan peran perempuan di masyarakat, media dan alam kesenian.

20 tahun lalu, kekuatan kiri Amerika Latin, dan dunia (pada umumnya), mengalami masa-masa kritis. Setelah tembok berlin runtuh, Uni Soviet meluncur menuju kehancuran dan berakhir sepenuhnya pada akhir 1991. Berkurangnya barisan belakang yang sangat dibutuhkan, revolusi Sandinista dikalahkan pada poling bulan Februari 1990, dan gerilyawan Amerika Tengah dipaksa menyerah. Satu-satunya negara yang mempertahankan panji-panji revolusi tetap berkibar adalah Kuba, meskipun berbagai isyarat mengatakan bahwa hari-harinya tinggal menunggu waktu. Berdasar pada situasi tersebut, sulit untuk membayangkan kalau 20 tahun kemudian pemimpin sayap kiri akan memerintah sebagian besar negara Amerika Latin.

Kekalahan kaum sosialis di Soviet telah menciptakan situasi yang sulit bagi kekuatan kiri Amerika Latin, khusunya kaum Marxist Leninis. Sepanjang tahun 1980, kelompok Marxis – Leninis telah belajar banyak dari kediktatoran di Amerika Selatan dan dari berbagai bentuk perlawanan yang mengarah pada pemerintahannya. Marxis Leninis juga belajar banyak dari perjuangan gerilya Amerika Tengah dan Kolombia, dan mulai berusaha menghapus rangkaian kesalahan dan penyimpangan yang mereka buat di tahun 1960 dan 1970-an, disebabkan oleh pengambilan gaya partai Bolshevik yang anti kritik.

Penyimpangan-penyimpangan tersebut antara lain:

a. Kepeloporan, vertikalisme, dan authoritarianisme (pengaturan arah suatu gerakan, tugas-tugas kepemimpinan dan platform perjuangan, semuanya dilaksanakan atas perintah partai, dengan demikian melemahkan sikap kritis masyarakat dan dapat mencegah ikut campurnya mereka dalam perencanaan yang menyangkut kepentingan-kepentingan besar).

b. Teori dan dogma, yang membawa suatu strategi tertentu (strategi besar direncanakan, contohnya, strategi untuk membebaskan dan me-sosialisme-kan bangsa, namun tanpa anlisa konkret pada sejarah); dan

c. Penyimpangan subjek dalam menganalisa kenyataan (reifikasi subjek sejarah) – strategi dan taktik yang tidak tepat digunakan, didasari pada ketidakmampuan membaca sejarah perubahan sosial (termasuk mengabaikan perjuangan etnis dan pergerakan budaya juga revolusi masyarakat Kristen). Kesalahan lain termasuk menganggap bahwa revolusi sebagai serangan oleh kaum militan minoritas atas suatu kekuasaan, yang mana kemudian menggunakan status sosial untuk menyelesaikan masalah di masyarakat, bukannya menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Hal ini bahkan mencapai titik di mana pertikaian diciptakan antara kekuatan revolusi melawan kekuatan demokrasi, di sini istilah ‘demokratis’ di samakan dengan sekutu sosial-demokrat, seolah kekuatan revolusi bukanlah kekuatan demokratis.

Pada dekade sebelum kekalahan sosialisme Soviet, kaum kiri telah mulai mengatasi masalah-masalah ini. Ada dua faktor yang mempengaruhi proses pendewasaan politik kiri. Pertama, pandangan pedagogis dari seorang pengajar asal Brasil, Paulo Freire, yang membawa perubahan penting pada pendidikan masyarakat di berbagai negara, yang mana bertentangan dengan konsep lama dari partai kiri sebagai suatu pelopor (partai-partai tersebut biasa menganggap bahwa merekalah pemilik kebenaran). Yang kedua adalah ide-ide kelompok feminis yang memberi tekanan pada penghormatan terhadap perbedaan dan menolak otoritarianisme.

Yang pertama kali menerapkan ide dan pandangan seperti ini adalah gerakan politik militer Amerika Tengah. Revolusi Sandinista mendemonstrasikan cara-cara baru dalam memandang segala sesuatunya ini dengan jalan menggerakkannya secara politik untuk kemerdekaan, menunjuk seorang pendeta sebagai perdana menteri dalam revolusi kepemerintahan. Pemimpin gerilya komunis Salvador, Jorge Schafik Handal, adalah yang pertama kali menegaskan bahwa subjek sosial revolusi Amerika Latin yang baru bukan hanya kaum pekerja – itulah kenapa disebut subjek baru revolusi, maka, proses revolusi tidak bisa di gerakkan oleh kaum komunis semata – semua subjek baru tersebut mesti dilibatkan. Kelompok gerilya Guatemala (pasukan gerilya kaum papa), adalah organisasi politik pertama yang melibatkan suku-suku pribumi dan memandang mereka sebagai penggerak utama dari kekuatan revolusi.

Dengan demikian, orang-orang mulai memahami bahwa organisasi politik yang baru harus diserahkan ke masyarakat dan dilibatkan dalam berbagai bidang di masyarakat, dengan syarat harus menghilangkan kecenderungan membeda-bedakan suku, budaya serta perbedaan lainnya, kemudian menarik mereka dalam kesatuan. Mereka juga mulai faham bahwa menghormati perbedan berarti menganti bahasa yang digunakan, mengambil isi dan me-variasikan bentuk untuk hal-hal yang berbeda, dan hari ini, di era informasi dan gambar, bahasa audiovisual memiliki peranan yang sangat luar biasa.

Mereka memutuskan untuk bergerak lebih jauh ke dalam kekuasaan (yaitu menekan pemimpin dari atas, mengambil alih posisi dan memberi perintah pada mereka) dan ke dalam mesin politik yang biasa memaksakan garis serta aksinya dengan kekuatan. Mereka juga mulai memahami bahwa ini adalah kunci kemenangan kekuasaan, yaitu, sektor-sektor yang lebih luas, bahkan yang paling luas dari masyarakat diterima sebagai kebijakan politik organisasi mereka sendiri.

Kematangan politik kiri juga dalam hubungannya dengan gerakan masyarakat ketika pemahaman tentang masyarakat tidak bisa disederhanakan sebagai sekadar mata rantai (penggerak) kebijakan partai, tetapi juga mesti ditingkatkan kemadniriannya sehingga mereka mampu mengembangkan agenda perjuangan sendiri. Politik kiri juga mulai faham bahwa peranannya adalah mencocokkan berbagai agenda bukannya mengembangkan satu agenda tertentu dari atas. Mesti diketahui di sini bahwa peranan berarti memberikan orientasi, fasilitas, dan bergerak bersama, tapi bukan untuk menggeser pergerakan, dan sikap sok kuasa yang menekan inisiatif masyarakat harus dihapuskan. Kelompok kiri juga telah memahami bahwa mereka harus belajar mendengar, mendiagnosa apa yang dipikirkan rakyat serta menyimak secara seksama solusi-solusi yang ditawarkan masyarakat. Kaum kiri juga menyadari bahwa untuk menolong rakyat menjadi, dan merasa, bahwa mereka adalah pendukung, partai harus pindah dari gaya kepemimpinan militeristik ke gaya guru masyarakat yang mampu melepaskan kekuatan dari kebijaksanaan yang tersimpan di masyarakat.

Untuk mencapai kesimpulan dalam mebebaskan para pekerja, yang benar-benar memperhatikan kelas pekerja, kaum kiri mesti faham bahwa instrumen politik baru harus menghormati keberagaman subjek dan menghancurkan segala macam diskriminasi sosial: wanita, kaum pribumi, orang-orang kulit hitam, generasi muda, anak-anak, pensiunan, orang-orang yang memiliki pandangan seksual berbeda, kaum cacat dsb. Politik kiri sadar bahwa intinya bukanlah merekrut seseorang ke dalam organisasi politik, tetapi menggenggam sanubari seorang wakil masyarakat yang berjuang untuk kesamarataan. Organisasi harus menjadi badan yang mengkoordinasi segala perbedaan ke dalam satu tujuan.

terakhir, politik kiri memahami bahwa demokrasi adalah salah satu panji yang paling dicintai rakyat, dan perjuangan untuk demokrasi tidak bisa dipisahkan dari perjuangan untuk sosialisme sebab hanya di bawah sosialisme demokrasi bisa berkembang sepenuhnya.

Jika kita terus mengingat sejarah ini, saya pikir kita bisa memahami dengan lebih baik apa yang terjadi di Amerika Latin beberapa tahun terakhir.


Amerika Latin

Amerika latin adalah kawasan yang pertama kali di dunia di mana kebijakan neoliberal dikenalkan. Chile, menjadi uji coba sebelum perdana menteri Margaret Thatcher menerapkannya di Inggris. Tapi, Amerika Latin jugalah yang pertama kali menolaknya sebagai kebijakan yang hanya memperlebar jurang perbedaan, merusak lingkungan dan melemahkan gerakan-gerakan kelas pekerja dan gerakan masyarakat pada umumnya.
Itu berada di sebuah anak benua di mana kekuatan kiri dan progresif untuk yang pertama kalinya berkumpul, setelah bangkrutnya sosialisme di Eropa Timur dan Uni Soviet. Setelah lebih dari dua dekade, harapan baru kemudian muncul.  Awalnya mengambil bentuk perlawanan terhadap kebijakan neoliberal, tapi setelah beberapa tahun, masyarakat mulai menyerang wilayah kekuasaan.

Kandidat dari partai kiri dan kiri-tengah bersatu  untuk memenangkan pemilu

Untuk pertama kali dalam sejarah Amerika Latin – dilatarbelakangi oleh krisis neoliberal – kandidat dari kelompok kiri dan kiri-tengah bergabung untuk kemenangan pemilu di sebagian besar wilayah dengan membawa panji-panji anti neoliberal.

Kita ingat di tahun 1998, ketika presiden Venezuela Hugo Chavez memenangkan pemilu, Venezuela adalah ‘pulau’ terpencil di samudera yang neoliberalisme. Kuba, tentu saja, adalah perkecualian. Kemudian di tahun 2002 Ricardo Lagos menjadi presiden Chili dan Luiz Inacio Lula da Silva (dikenal dengan sebutan Lula) terpilih di Brazil. Nestor Kirchner menjadi presiden di Argentina pada 2003, dan Tabare Vazquez terpilih di Uruguay pada 2005. Tahun 2006 Michael Bachelet di Chili, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ekuador, dan Daniel Ortega di Nikaragua. Tahun 2008 Fernando Lugo menang di Paraguay, 2009 Maurico Funes terpilih di El Salvador, Raffael Correa menjadi presiden yang ke dua kalinya di Ecuador, Jose Mujica menang di Uruguay dan Evo Morales kembali terpilih dengan suara mayoritas di Bolivia.

Menurut Roberto Regalado, seorang pengamat dan diplomat asal Kuba, mengatakan bahwa para pemimpin itu sangat beragam: “Di beberapa negara semacam Bolivia, Ecuador dan Venezuela, melemahnya institusi  Neoliberal membawa kekuatan para pemimpin yang didukung oleh organisasi politik kiri dan menempatkan kandidat mereka sebagai presiden. Kemudian situasi serupa terjadi di Honduras dan Argentina, di mana, karena tidak adanya calon dari sektor tertentu masyarakat, kaum progresif dari partai lama maju untuk pemilihan."

Pergerakan Massa sebagai pendukung terbesar.

Di negara-negara di mana peran partai politik kiri sangat menentukan, partai-partai tersebut tidak menjadi pelopor dari pertarungan melawan neoliberal. Pergerakan ini terjadi dalam konteks krisis legitimasi kebijakan neoliberal dan krisis politik yang sedang dihadapinya. Mereka muncul dari perlawanan yang tumbuh di dalam komunitas atau organisasi-organisasi lokal.

Ini adalah pergerakan yang penuh aneka warna, di mana unsur-unsur dari kebebasan beragama, revolusi nasional, marxisme, budayawan dan anarkisme, berjalan berdampingan.


Dalam perlawanan ini, gerakan baru masyarakat, khususnya gerakan para petani dan kaum pribumi, berdiri berdampingan dengan kelompok-kelompok  lama. Contoh nyata adalah gerakan di Bolivia menentang privatisasi air (water war) dan mendapatkan kembali penguasaan atas sumber daya gas (gas war); piqueteros di argentina , yang melibatkan para pengusaha kecil, pekerja, pengangguran, para ahli, dan pensiunan ; petani yang dililit hutang; pelajar SMP di Chili, yang terkenal dengan istilah ‘para pinguin’ karena celana hitam dan baju putih mereka; gerakan pecinta lingkungan; serta gerakan-gerakan menentang globalisasi neoliberal. Kelas menengah juga muncul pada panggung politik  semacam para pekerja rumah sakit di El Salvador, caceroleros (pemrotes yang memukul panci) di Argentina, dsb. Gerakan lama para pekerja yang terpukul oleh pelaksanaan ekonomi neoliberal seperti penerapan labour flexibilization dan sistem kontrak,  tidak muncul di garis depan, kecuali pada kesempatan-kesempatan tertentu.

Awalnya pergerakan-pergerakan tersebut hanya menolak politik dan politisi, tapi dalam perkembangannya mereka bergeser dari sikap mengkritik neoliberal berkembang pada sikap mempertanyakan bentuk kekuasaan. Dalam beberapa kasus semacam MAS (Movimiento al Socialismo) di Bolivia, dan Pachakutik, serta partai pribumi sayap kiri di Ekuador bahkan membentuk sistem politik sendiri.

Kekuatan penyeimbang

Peta Amerika Latin benar-benar telah berubah. Kekuatan baru penyeimbang semakin menyulitkan Amerika Serikat untuk meraih tujuannya di wilayah itu. Amerika tidak lagi memiliki kebebasannya yang dulu untuk mengatur. Sekarang mereka harus melaksanakan persetujuan dengan pemerintah pemberontak yang telah memiliki agenda sendiri, yang mana sering berlawanan dengan agenda Gedung Putih. Mari kita lihat petunjuk yang mengarah ke hal tersebut.

Pertemuan tanpa Amerika Serikat

Para pemimpin  Amerika Latin dan Karibia bertemu tanpa mengundang Amerika Serikat.  Konferensi Tingkat Tinggi Amerika Selatan yang pertama di Brazil tahun 2000; 2 tahun kemudian, pertemuan serupa di Ekuador; dan pada 2004 di Peru. Tahun berikutnya, Brazil menjadi tuan rumah KTT Liga Negara-Negara Amerika Selatan; tahun 2006, pertemuan yang ke dua diselenggarakan di Bolivia untuk meletakkan dasar tujuan dari Liga Negara-Negara Amerika Selatan (Union of South American Nations -UNASUR). UNASUR mengambil nama dari pertemuan 'negara-negara penghasil energi di Amerika Selatan' di Venezuela tahun 2007. Tahun 2008, pakta persetujuan ditandatangani di Brazil.

Kedekatan hubungan ekonomi dengan China

Kebutuhan China akan bahan mentah yang terus meningkat, sedangkan Amerika Latin memilikinya, menjadikan hubungan kedua wilayah itu menjadi lebih erat. China menjadi salah satu mitra dagang utama negara-negara semacam Peru, Chile, dan Brazil. China juga mulai membentuk aliansi strategis dengan beberapa negara di wilayah Amerika Selatan, khususnya Venezuela.

Menurut Diego Sánchez Ancochea, professor ekonomi Saint Anthony’s College, Oxford,  tahun 2004 dan 2005 China menandatangani hampir seratus perjanjian dengan negara-negara Amerika Selatan, termasuk perjanjian perdagangan bebas dengan Chile pada November 2005. Ekspor Brazil ke China meningkat dari $382 juta di tahun 1990, menjadi $6,830 juta dolar pada 2005. Argentina dan Chile mengalami peningkatan yang sama, dari $241 juta dan $34 juta di tahun 1990 menjadi $3,100 juta dan $3,200 juta, masing masing di tahun 2004. China menjadi salah satu partner dagang terbesar, bukan hanya bagi negara-negara anggota MERCOSUR (Southern Common Market), tapi juga negara-negara Amerika Selatan lainnya. China adalah mitra dagang terbesar ke dua Peru, Ke tiga bagi Chile dan Brazil dan ke empat bagi Argentina dan Uruguay.
Peranan China semakin meningkat di tahun-tahun belakangan ini. Alicia Bárcena, sekretaris eksekutif Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC), mengakui hal ini pada 27 Mei 2009. Mengatakan bahwa investasi di wilayahnya semakin meningkat secara signifikan, khususnya pada hal-hal semacam hidrokarbon, pertambangan dan industri kendaraan. Walaupun jumlahnya masih kecil dibandingkan dengan Amerika Serikat. 

Pada bulan Mei 2009, China dan Brazil menandatangani persetujuan yang ke 30 untuk kerjasama di bidang energi. Dengan begitu China menjadi partner terbesar Brazil. Beberapa hari sebelumnya, Lula mengusulkan agar kedua negara menggunakan mata uang masing-masing, alih-alih memakai dolar Amerika (Pada 2 konferensi  berikutnya, BRIC (Brazil, Russia, india, China) merencanakan untuk meningkatkan perdagangan tanpa menggunakan Dolar Amerika).

Di beberapa bulan terakhir di tahun 2009, hubungan perdagangan dan ekonomi China dan Venezuela semakin solid. Persetujuan tentang pertanian, energi dan bidang-bidang industri ditandatangani. Persetujuan juga mencapai peningkatan pada sektor modal, menjadi dua kali lipat hingga $12 miliar. Ini adalah kredit terbesar yang diberikan China ke negara lain sejak 1949.

Sánchez Ancochea mengatakan ini adalah sumber penghasilan dan keuntungan baru bagi Brazil, Argentina, Venezuela, dan negara-negara Amerika Selatan lainnya. Meskipun demikian, itu berarti mereka juga tengah menciptakan resiko dan ancaman baru, termasuk defisit perdagangan yang terlalu tinggi dengan China, kekuatan baru dari ‘kekuatan lama Amerika Latin, khususnya negara-negara Andean (Peru Argentina, Bolivia, Chili, Kolombia, Ekuador dan Venezuela) dan negara-negara paling selatan di Amerika Selatan, dalam perannya di ekonomi dunia.’ Dan pukulan telak pada sector semacam tekstil. Persetujuan-persetujuan itu menyangkut kelangsungan hidup sejumlah besar pengusaha kelas menengah dalam menghadapi resiko terpinggirkan oleh produktifitas tinggi dan upah rendah di China.

Menolak FTAA, menciptakan ALBA

Pemerintah Amerika Serikat tidak mampu melaksanakan rencananya membentuk kawasan perdagangan bebas (Free Trade Area of the Americas - FTAA) di seluruh penjuru benua Amerika. Ketika alternative bagi FTAA, Bolivarian Alternative for the Americas – atau yang dikenal dengan ALBA, didirikan pada 14 Desember 2004, oleh Kuba dan Venezuela, sejak itu, beberapa Negara Latin menggabungkan diri: Bolivia pada 2006, Nicaragua pada 2007, Honduras dan Dominica tahun 2008, dan  Antigua serta Barbuda, Saint Vincent juga the Grenadines, dan Ecuador masuk tahun 2009. 

Menghadapi situasi ini, Gedung Putih memilih untuk menandatangani persetujuan dengan beberaoa Negara Amerika Latin seperti Chile, Uruguay, Peru, Kolombia dan kelompok Negara-negara Amerika Tengah.
Pada 1 November 2008, Presiden Ekuador Rafael Correa menyatakan bahwa negaranya tidak akan meperbarui kontrak pangkalan militer di Manta. Perjanjian, yang ditandatangani tahun 1999, akan berakhir pada 2009. Ini adalah pukulan telak bagi Pentagon sebab pangkalan tersebut menjadi pusat operasi militer di Amerika Latin.

Ada beberapa alasan kenapa Negara-negara Amerika Latin memilih keputusan itu, tapi tidak ada keraguan hal itu dipicu oleh pelanggaran terhadap kedaulatan Ekuador: Pada tanggal 1 Maret 2008, pasukan Amerika Serikat melewati perbatasan Ekuador dan melakukan serangan di provinsi SucumbĂ­os yang menjadi kamp Tentara  Revolusi Rakyat Kolombia (Revolutionary Armed Forces of Colombia-People’s Army – FARC). 25 tentara tewas, termasuk komandan FARC, RaĂşl Reyes, dan beberapa rakyat sipil Meksiko dan Ekuador. Sesaat sebelum pengumuman tentang kontrak pangkalan militer Amerika Serikat  yang tidak diperbarui, Quito mengeluarkan laporan resmi tentang penyusupan CIA ke dalam tentara Ekuador. Laporan itu menunjukan rencana Kolombia menyerang Ekuador atas dukungan Angkatan Udara Amerika Serikat dari pangkalan militer di Manta.

Contoh lain dari sikap merdeka dan berdaulat pemerintah Ekuador yang menjadi penyebab penutupan pangkalan militer adalah pengusiran atase Imigrasi dan Penegakan Hukum, Armando Astorga, dari kedutaan Amerika Serikat pada  7 Februari 2009, dan, 10 hari kemudian, Max Sullivan, sekretaris utama kedutaan Amerika serikat. Hasilnya,  Pentagon mengirimkan kapal-kapal perang, senjata dan perangkat pengintai teknologi tinggi ke pangkalan militer di Kolombia.

Kuba bergabung dengan Grup Rio

Masuknya Kuba secara resmi ke Grup Rio diumumkan pada 16 Desember 2008, ketika berlangsung konferensi Negara-negara Amerika Latin dan Karibia di Salvador Bahia, Brazil, yang dihadiri oleh 33 kepala Negara. Kehadiran Kuba di wilayah itu dengan demikian semakin memperkuat posisi mereka.

OAS sepakat untuk mencabut sanksi atas Kuba

3 Juni 2009, menteri luar negeri Amerika, pendiri OAS (Organization of American States), melakukan pertemuan di Honduras, setuju untuk  mencabut keputusan yang ditandatangani tahun 1992 tentang isolasi Kuba. Sementara Menteri luar negeri Ekuador, Fander FalconĂ­, mengatakan keputusan telah disepakati oleh segenap perwakilan, dan menambahkan bahwa persetujuan tersebut mencerminkan perubahan yang sedang dialami Amerika Latin.

Brazil membeli peralatan militer dari Prancis

Di bulan September 2009, Lula menandatangani persetujuan dengan Nicolas Sarkozy yang akan mengijinkan Brazil memperoleh perlengkapan militer strategisnya: lima kapal selam dan 50 helikopter pengangkut, dengan total nilai $12 milyar, untuk menambah 36 pesawat yang dibeli sebelumnya. 

Persetujuan ini menyiratkan kebangkitan Brazil sebagai kekuatan dunia akibat dari menurunnya hegemoni Amerika Serikat. Menurut Aram Aharonian (pendiri jaringan televisi Amerika Latin, TeleSur), sebuah kompleks industry militer sedang tumbuh di tempat yang dulunya adalah halaman belakang kekaisaran. Tujuannya untuk mendirikan tembok yang mengelilingi wilayah Amazon dan cadangan minyak serta gas yang ditemukan tak jauh dari pantai Brazil (senilai 50 juta barel minyak ditemukan di perairan Brazil pada tahun 2008). Pernyataan itu telah dibenarkan  oleh parelemen Brazil dan didukung oposisi.

Aharonian mengamati bahwa pernyataan tersebut bukan ukuran dari apa yang pemerintah ambil melainkan tujuan yang diambil oleh Negara. Bidang militer, yang paling dipertaruhkan dalam persetujuan ini, khawatir oleh lemahnya teknologi jika kekuatan Barat – yang mana sedang mencoba ‘memaksakan kedaulatan bersama’ di wilayah Amazon sejak tahun 1990 – benar-benar melakukan intervensi. Ada juga informasi bahwa Brazil mampu mengembangkan senjata nuklir.

Presiden Paraguay menolak kedatangan Pimpinan militer Amerika Serikat untuk wilayah selatan

Sikap lain dari kedaulatan pemerintah, dalam konteks meningkatnya penolakan terhadap militer Amerika Serikat di anak benua tersebut adalah keputusan Presiden Paraguay Fernando Lugo untuk tidak mengijinkan pasukan Amerika memasuki wilayahnya, pada 17 September 2009, meskipun mereka disertai oleh para professional yang melibatkan diri dalam aksi kemanusiaan. Itu berarti akan ada sekitar 500 tentara Amerika, berdasarkan jumlah orang-orang sipil dan tentara yang beroperasi,  jika program tersebut dilaksanakan.  

pertemuan negara-negara Afrika dan Amerika Selatan
Sumber foto: La Revolucion Vive
Konferensi Afrika-Amerika Selatan

Bukan hanya Negara-negara Amerika Latin saja yang melakukan kerja sama tanpa melibatkan Amerika Serikat, tapi juga, pada saat yang sama, kerja sama antara Amerika Selatan dan Afrika yang semakin meningkat. Pertemuan Negara-negara Afrika dan Amerika Selatan diselenggarakan di Pulau margarita pada bulan September 2009, dihadiri 27 presiden dan kepala Negara. Di situ menyebutkan tentang kembalinya demokrasi dan pemerintahan konstitusional  di Honduras, dan usulan untuk membuat gambaran rencana strategis 2010-2012 sebagai kerangka kerja sama antara dua wilayah tersebut.

Banco del Sur

Pada 28 September 2009, usul yang aslinya dibuat oleh Presiden Chavez pertengahan tahun 2006, untuk mendirikan Bank di wilayah selatan (Banco del Sur) membuahkan hasil. Momen bersejarah ini terjadi ketika berlangsung pertemuan Negara-negara Afrika dan Amerika Selatan (ASA – Afrika-South America) yang diselenggarakan di Pulau Margarita, Venezuela, akhir September 2009. Beberapa pemimpin Amerika Selatan yang menghadiri pertemuan tersebut, seperti Hugo Chavez dari Venezuela, Luiz Inácio Lula da Silva dari Brazil, Rafael Correa dari Ecuador, Fernando Lugo dari Paraguay, Evo Morales dari Bolivia, Cristina Kirchner dari Argentina, dan TabarĂ© Váquez dari Uruguay, menandatangani anggaran dasarnya, yang mana kemudian diluncurkan dengan modal awal $7 milyar.

Rencana awalnya adalah untuk menciptakan kesatuan finansial yang beragam di wilayah Amerika Selatan, sebagai alternative dari IMF dan institusi pemberi kredit lainnya yang dikuasai oleh Negara-negara industri. Ide ini kemudian berkembang setelah beberapa kali pertemuan. Ekonom asal Peru, Oscar Ugarteche, tertarik dengan ide dari pembentukan Bank Tersebut, dan berfikir bahwa sejauh dapat memperoleh cadangan devisa dari bank sentral dan menggunakannya secara cermat untuk meningkatkan pembangunan di wilayah-wilayah miskin, juga untuk proyek-proyek sosial dan lingkungan, Bank tersebut bisa menjadi langkah awal menuju kesatuan baru Amerika Selatan.

Bersambung di bag. 2




iran
Tehran, 12 Januari 2012, seorang ilmuwan nuklir Iran bernama Mustofa Ahmadi Roshan terbunuh ketika bom yang dipasangkan di mobilnya meledak. Usianya 32 tahun, merupakan wakil direktur fasilitas pengayaan nuklir di Natanz.  Tidak ada satu pun yang mengaku bertanggung jawab, kecuali Israel yang menyatakan kepuasannya. Dinas intelijen barat mencurigai Mossad terlibat.  Ini adalah pembunuhan yang ke empat kalinya yang menimpa ilmuwan Iran sejak 2 tahun terakhir.  Sangat kentara sekali, dari ke empat aksi itu, adany perencanaan yang cermat dan kesamaan-kesamaan yang mencolok. Tentu saja, Iran menyalahkan Israel dan Amerika. Setelah itu, pemerintah Iran segera memperketat penjagaan terhadap ilmuwan-ilmuwannya yang lain. Tapi yang lebih penting dari serangan yang meresahkan itu adalah, apa yang bisa kita pelajari tentang program nuklir Iran saat ini?
Jalur minyak Indo-ASEAN adalah garis imajiner yang menggambarkan alur minyak dan gas alam. Garis ini bermula di Australia, menyeberang ke Timor Leste, masuk ke wilayah Indonesia dari Papua, Jawa, Kalimantan, perairan Natuna, lalu berbelok ke utara menuju Laut Cina Selatan dan berujung di Da Nang, Vietnam. Jalur ini akan memainkan peran vital dalam pemenuhan energi dunia. Itu sebabnya, penulis menamakannya “Jalur Minyak Indo-ASEAN", terinspirasi oleh Jalur Sutera yang menghubungkan perdagangan dan politik Asia, Eropa, dan Afrika sejak dua abad sebelum Masehi.

Kehadiran Presiden Barack Obama di Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Bali, November lalu, jadi momen bersejarah karena mengabarkan rencana peningkatan level eksistensi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyatakan keterlibatan mereka di kawasan itu merupakan satu tugas diplomasi yang jadi prioritas di dasawarsa mendatang. Dalam rangkaian kunjungan yang sama, Obama singgah di Australia dan bersepakat dengan Perdana Menteri Julia Gillard untuk menempatkan 2.500 marinir Amerika di Darwin, Australia Utara.

Di antara sekian pendorong peningkatan atensi itu adalah ketahanan energi. Amerika khawatir lonjakan kebutuhan energi Cina akan menggiring Negeri Tirai Bambu mencari tambahan pasokan dari mancanegara dan berujung pada peningkatan pengaruh politik, ekonomi, dan militer Tiongkok secara global. Pada Agustus 2010, International Energy Agency Paris melaporkan bahwa Cina telah menggeser Amerika sebagai pengguna energi nomor satu, dengan selisih konsumsi sekitar 4 persen.

Ketika Hu Jintao mengambil alih kursi kepresidenan Republik Rakyat Cina pada 2002, dia mengeluarkan doktrin bahwa pasokan minyak dan gas vital penting bagi ketahanan ekonomi dan nasional. Dia juga mengirim angkatan lautnya ke Laut Cina Selatan dan menimbulkan keresahan di negara-negara ASEAN. Desember lalu, secara mengejutkan, Presiden Hu memerintahkan Angkatan Laut agar mempercepat transformasi dan mempersiapkan diri jika dibutuhkan untuk perang. Pernyataan ini ia sampaikan sebulan setelah kesempatan penempatan marinir Amerika di Darwin. Wajar jika Amerika, juga Cina, memandang penting Asia Tenggara. Di sana terbentang Jalur Minyak Indo-ASEAN, rantai sumur minyak dan gas yang mungkin jadi pemasok energi mereka di masa datang.

Sumber energi masa depan

Dalam dasawarsa terakhir, konstelasi sebaran cadangan minyak dunia telah bergeser. Organisasi negara eksportir minyak, OPEC, menyatakan negara pemilik cadangan minyak terbesar bukan lagi Arab Saudi, melainkan Venezuela, sebesar 296,5 miliar barel. Namun kebijakan nasionalisasi minyak yang dicetuskan Presiden Hugo Chavez jadi batu ganjalan bagi perusahaan minyak Amerika dan sekutunya untuk masuk negara itu. Akibatnya, Amerika perlu melirik kawasan lain yang lebih akomodatif. Setelah “sukses” di Libya, alternatif yang relatif damai adalah Jalur Indo-ASEAN, sekaligus membatasi ruang gerak pesaing utama, Cina.

Bentangan Jalur Minyak Indo-ASEAN dimulai dari Australia. Tidak disangka sebelumnya bahwa Australia akan menemukan lapangan gas raksasa Gorgon di lepas pantai Australia Barat dengan cadangan gas mencapai 40 triliun kaki kubik. Operator dan pemilik saham terbesar Lapangan Gorgon adalah perusahaan minyak Amerika, yaitu Chevron, sebesar 47 persen, dan ExxonMobil 25 persen. Pemilik lainnya adalah Shell dari Belanda 25 persen, dan sisanya perusahaan Jepang. Rencana produksinya mencapai 15 juta ton gas alam cair atau LNG per tahun yang sebagian besar akan diekspor ke Jepang melalui gerbang Indo-ASEAN. Selain Lapangan Gorgon, ExxonMobil asal Amerika juga jadi operator di lapangan besar lain, yaitu Scarborough dengan cadangan sebesar 8 sampai 10 triliun kaki kubik.

Di Timor Leste, lumbung minyak utama adalah Bayu Undan dengan cadangan minyak 400 juta barel, dengan operator yang juga dari Amerika, ConocoPhillips. Disusul Lapangan Greater Sunrise dengan cadangan minyak 300 juta barel. Di Papua, ada Lapangan Tangguh dengan cadangan gas 12 triliun kaki kubik, bertetangga dengan lapangan Masela di Laut Arafuru dengan cadangan gas sekitar 6 triliun kaki kubik. Bergeser ke barat, terbentang Lapangan Banyu Urip di Cepu, Jawa Tengah, yang diperkirakan mengandung cadangan minyak lebih dari 450 juta barrel. Mobil-Cepu bersama Ampolex, keduanya anak perusahaan ExxonMobil, menguasai 45 persen saham.

Lumbung migas berikutnya adalah Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang menyumbang 30 persen produksi gas Indonesia. Potensinya yaitu 12 triliun kaki kubik dan sahamnya dimiliki Total Indonesie dari Prancis dan Inpex dari Jepang. Dengan potensi demikian besar, tidak heran sederet perusahaan seperti Chevron dari Amerika mengincar pengelolaan blok ini saat kontrak berakhir pada 2017, bersaing dengan dua perusahaan sebelumnya. Juli 2011, Perdana Menteri Prancis Francois Fillon menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Kuat dugaan, salah satu agenda adalah mempertahankan eksistensi Total di Blok Mahakam, dan mematangkan kehadiran Total di Blok East Natuna.

East Natuna di Laut Natuna disebut sebagai ladang gas terbesar di Asia Timur dengan cadangan sekitar 222 triliun kaki kubik. Dari jumlah itu, sekitar 46 triliun kaki kubik dinyatakan komersial. Pemerintah menunjuk Pertamina menjadi operator, namun karena membutuhkan investasi sampai 30 miliar dolar Amerika Serikat, mereka butuh partner. Pertamina diharapkan akan menguasai 40 persen saham, sisanya dibagi dengan ExxonMobil, Total Indonesie, dan Petronas dari Malaysia.

Di wilayah Indocina, menurut laporan yang terbit Agustus lalu, ExxonMobil menemukan lapangan gas besar dilepas pantai Da Nang, Vietnam. Raksasa minyak dari Amerika Serikat itu menerima konsesi di Blok 117, 118 dan 119 dari Vietnam yang bersikukuh wilayah tersebut berada di Zona Ekonomi Eksklusif mereka. Cina menolak kesepakatan itu dan mengklaim lapangan gas ada di wilayah mereka. Tidak lama kemudian mereka meluncurkan uji coba kapal induk baru di Laut Cina Selatan dan menggelar latihan militer tidak jauh dari kawasan sengketa.

Jalur Minyak Indo-ASEAN bermuara di Laut Cina Selatan. Letaknya strategis bagi jalur perdagangan lintas negara karena setiap tahun digunakan sebagai jalur niaga--sebagian besar minyak dan gas cair dari dan ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika--dengan nilai 5 triliun dolar Amerika Serikat. Bagi Cina, jalur ini sangat vital karena 80 persen impor minyak dan gas datang via perairan ini.

Beberapa kepulauan di Laut Cina Selatan, seperti Paracel dan Spratly, diperkirakan mengandung sumber daya minyak dan gas dalam jumlah masif. Menurut hitungan ahli geologi Cina yang dikutip oleh The US Energy Information Agency, EIA, perairan itu berpotensi mengandung cadangan minyak sebesar 213 miliar barrel, atau 80 persen cadangan minyak Arab Saudi.

Apabila volume seluruh potensi minyak dan gas yang berada di Jalur Indo-ASEAN digabungkan, kawasan ini akan jadi lumbung energi yang patut diperhitungkan Amerika dan sekutunya. Tidak mengherankan apabila mereka buru-buru meningkatkan pengaruh politik dan kekuatan militer di Asia-Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara. Dari pangkalan militer di Australia dan Singapura, mereka bisa mengawal eksplorasi dan eksploitasi tambang di jalur tersebut.

Indonesia pantang terlena

Persaingan pengaruh Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina membuat Asia Tenggara rawan konflik. Hampir dua dasawarsa Indonesia memendam bibit-bibit sengketa bilateral dengan Negeri Tirai Bambu. Beberapa kali negara raksasa itu menyinggung isu perbatasan di kawasan Natuna yang kaya gas. Mereka mengklaim kepulauan itu sebagai wilayahnya berdasarkan peta teritorial Cina yang diresmikan pada 1995. Selama ini, jalinan diplomasi kedua negara mampu mendinginkan isu tersebut. Natuna tetap di pangkuan Ibu Pertiwi dan jadi tumpuan energi kita. Namun isu ini bisa kembali jadi bola panas seiring meningkatnya aktivitas militer Cina dan Amerika. Kesalahpahaman kecil bisa menimbulkan kemarahan Cina dan membuka luka lama akan perebutan teritori.

Mulai 2012, Indonesia harus pandai-pandai menari dan berdendang di antara dua tambur yang bertalu bersahutan, namun tidak seirama. Sembari berharap agar tabuhan itu bukan berasal dari genderang perang.




Wikipedia Hitam

Pada 1 Maret 2006, Wikipedia mencapai 1 juta artikel, dengan entri tentang Jordanhill, sebuah stasiun di pinggiran kota Glasgow. Penulisnya, Ewan MacDonald, mempublikasikan kalimat tunggal tentang Jordanhill,  pada pukul 11 malam waktu setempat; 24 jam kemudian entri tersebut telah mengalami edit sebanyak lebih dari 400 kali, oleh lusinan orang. Ensiklopedia Britannica, yang sudah lebih dari 2 abad dijadikan standar emas rujukan kerja, hanya memiliki 120 ribu entri – dari edisi terlengkapnya. Nampaknya, ensiklopedia biasa tidak pernah mengira bahwa mungkin saja seseorang ingin tahu tentang Sudoku, atau tentang prostitusi di Cina. Atau tentang Capgras Delusion (seseorang yang percaya bahwa sahabat karib atau keluarganya sudah berganti identitas seperti seorang penipu), tragedi banjir sirup di Boston, partai Rhinoceros Kanada, tempat tinggal Bill Gates, perang 45 menit antara Inggris – Zanzibar, atau Islam di kutub. Wikipedia menjadi rujukan sempurna tentang Kafka dan perang peralihan kekuasaan di Spanyol, dan juga panduan lengkap mengenai kapal-kapal AL Amerika, makna dari stik Filadelfia, tentang sejarah kucing (kucing selebriti, kucing jutawan, kucing pertama yang mengelilingi Australia), survey dari penemuan ungkapan-ungkapan ekspletif dalam fiksi, cara-cara menyembuhkan cegukan, dan artikel yang menjelaskan – dengan bagan skematis - bagaimana membuat kompor dari kaleng soda. Entri how-to dalam Wikipedia menjadi semacam wilayah yang tidak dimiliki oleh ensiklopedia sejak abad 19. Kau bisa mengobati sakit gigi atau membuat sepatu salju dengan panduan ensiklopedia Britannica asli (1768 – 71). Dalam Ensiklopedia Britannica, kata ‘perempuan’ hanya dimaknai dengan 6 kata: “The female of man. See HOMO”. Jika kau mencari ‘Membuat kopi’ di Wikipedia, kau akan menemukannya lewat entri Espresso, menuju macam-macam mesin espresso, yang mana kau akan mendapat keterangan sebelum membeli. Ada juga halaman yang mendedikasikan pada kesalahan-kesalahan yang ada dalam Ensiklopedia Britannica dan telah dikoreksi oleh Wikipedia (seperti tanggal lahir Stalin, atau, penemu silet).

Karena tidak adanya batasan dalam tiap halaman, Wikipedia dapat menampung semua masukan. Juga dengan sempurna menjelaskan hal-hal yang paling mutakhir: ada artikel yang menuliskan tiap-tiap finalis Amerika Idol dengan detail, dan artikel tentang konflik Israel – Libanon pada 2006, yang telah diedit lebih dari 4 ribu kali sejak pertama kalinya terbit pada 12 Juli 2006 - enam jam setelah militan Hezbullah menyulut perang dengan menculik dua tentara Israel. Wikipedia, yang terbit sejak 2001 hingga 2006 ini telah menjadi situs terpopuler ke 17 di internet, mengalahkan kunjungan harian MSNBC.com, the Times dan Wall Street Journal jika digabungkan. Jumlah pengunjung bertambah dua kali lipat tiap empat bulan, dengan 14 ribu kunjungan per detik.

Wikipedia mencapai itu semua tanpa membayar karyawan ataupun pajak. Hanya memiliki 5 tenaga kerja yang membantu Jimy Wales, pendiri wikipedia yang (hingga 2006 ini) berusia 39 tahun. Dan tanpa ada iklan. Wales bercita-cita mendistribusikan ensiklopedia ke semua orang di atas muka bumi dalam bahasa masing-masing. Setiap orang dengan akses internet dapat menulis di Wikipedia atau mengedit yang telah ada. Saat ini Wikipedia memiliki lebih dari 200 bahasa dan ribuan kontributor di seluruh dunia. Wales menjadi ujung tombak revolusi pengetahuan untuk bersama: dia adalah panglima pasukan sukarela yang percaya bahwa dengan bekerja sama, mereka dapat mewujudkan satu ensiklopedia yang sebagus yang ditulis oleh seorang ahli, dan susunan yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Wikipedia adalah komunitas online yang membaktikan diri bukan untuk pesta semalam, tapi untuk sesuatu yang lebih tinggi.

*

18 Januari 2012, Wikipedia mengubah latar laman menjadi gelap, Google menutup kotak login dengan warna hitam, sementara situs-situs besar lainnya seperti Reddit, BoingBoing, the InternetArchive menghentikan aktifitasnya, sebagai protes atas Undang-undang Stop Pembajakan Online - Stop Online Piracy Act (SOPA) dan Protect IP Act (PIPA). Dikabarkan, lebih dari 7000 situs di internet melakukan hal yang sama. Presiden Obama tidak mendukung adanya undang undang baru tersebut. Sementara jutaan orang berteriak di Twitter, untuk menghentikan pengesahan SOPA. 19 Januari 2012 (WIB) terlihat banyak sekali website IT memberikan gambar hitam. Sebagian permanen hitam, sebagian masih buka tutup memberikan pembaca melihat berita. americancensorship.org membuat aksi via internet, untuk memprotes SOPA dan PIPA via Email.

Salah satu pasal yang kontroversi adalah ketentuan hak menutup website bila terbukti memiliki kontain bajakan. Youtube.com sudah pasti ditutup atau diblokir, karena disana semua kontain media hiburan di upload oleh pengemar musik dan video. Aturan SOPA hanya berlaku di Amerika. Bila ada situs dari luar Amerika sudah pasti terkena blokir bila berisi kontain bajakan. Bahkan jutaan situs yang terdaftar di perusahaan Amerika, diperkirakan akan kabur keluar dari Amerika.

Google bahkan sempat nyolot atas tuduhan sumber pembajakan. Karena Rupert Murdoch konglomerat media yang 2 minggu lalu membuat account di Twitter menulis Google adalah Raja Bajakan. Yang dimaksud Murdoch adalah Youtube. Google langsung berbicara, bahwa tahun lalu sudah menghapus 5 juta halaman terkait kontain bajakan. Lebih lucu lagi, komentar Murdoch ditulis di Twitter. Sedang pemilik Twitter Evan William ikut melakukan protes SOPA. Protes SOPA juga dilakukan penyanyi rapper Mc.Hammer, Tim ORelly, pendiri Digg Kevin Rose, pendiri Path Dave Morin dan Dave McClure dan menyampaikan sebuah banner Stop Sopa di account Twitter mereka. Situs lain yang ikut serta memprotes adalah Craigslist.org

Bagaimana dengan Microsoft. Microsoft memiliki dukungan ke BSA, dan menarik diri dukungannya untuk SOPA walau tidak diumumkan secara tidak langsung. Microsoft hanya mencatumkan dengan Kami menentang bagian dari rancangan undang undang SOPA yang disusun saat ini.

Setelah Wikipedia, Google ikut memprotes aturan tersebut bersama Wikipedia dan Reddit dan perusahan teknologi lainnya. Pada tanggal 18 Januari 2012. Halaman Google.com akan ditutup gambar kotak hitam dibagian logi. Tetapi tidak menghentikan aktivitas search engine.

Undang undang SOPA awalnya sudah ditolak, tetapi kembali diajukan dan akan diputuskan dengan sistem voting. Pihak yang mendukung SOPA dianggap sebagai sekutu industri musik dan rekaman.

Bila dipikir secara jernih, apa urusannya antara pembajakan sampai harus mengatur intenet. Bahkan bisa memblokir dan menutup situs tertentu. Jika tidak ingin dibajak, jualan film Betamax saja. Yang bajak pasti malas membuat duplikat.
Pengulangan, menurut Hegel, memainkan peran penting dalam sejarah: ketika sesuatu terjadi hanya sekali, itu bisa dianggap sebagai satu kebetulan, sesuatu yang mungkin bisa dihindarkan jika saja ditangani dengan cara yang berbeda; tapi ketika kejadian yang sama terulang, itu menandai terjadinya sebuah proses historis yang lebih mendalam. Ketika Napoleon kalah di Leipzig pada 1813, itu tampak sebagai sekedar kesialan; ketika dia kalah lagi di Waterloo, menjadi jelas bahwa kejayaannya telah usai. Hal yang sama juga berlaku pada krisis keuangan yang tengah berlangsung. Pada September 2008, ini dilihat sebagai sebuah anomali yang bisa dibenahi dengan regulasi yang lebih baik, dsb; sekarang dengan tanda-tanda pengulangan krisis keuangan yang telah ada, jelas bahwa kita tengah menghadapi sebuah fenomena struktural.

Kita diberitahu secara terus menerus bahwa kita sedang berada dalam krisis hutang, dan bahwa kita semua harus bersama-sama menanggung beban serta mengencangkan ikat pinggang. Semuanya, kecuali mereka yang (sangat) kaya. Ide untuk membebani mereka dengan lebih banyak pajak dianggap sebagai sebuah hal yang tabu: kalau itu dilakukan, menurut pandangan mereka, para orang kaya tidak akan punya keinginan untuk berinvestasi, semakin mengurangi terciptanya lapangan pekerjaan, dan kita akan semakin menderita. Satu-satunya cara agar kita bisa selamat dari situasi sulit ini adalah dengan cara membuat si miskin menjadi lebih miskin dan si kaya menjadi lebih kaya. Apa yang harus dilakukan si miskin? Apa yang bisa mereka perbuat?

Meskipun kerusuhan di Inggris dipicu oleh penembakan terhadap Mark Duggan, semua orang sepakat bahwa kerusuhan ini menandai sebuah ketidakpuasan yang lebih mendalam – tapi ketidakpuasan macam apa? Seperti halnya dengan kerusuhan di pinggiran Paris pada 2005, para perusuh di Inggris tidak membawa suatu pesan. (Ada perbedaan yang jelas dengan demonstrasi mahasiswa besar-besaran pada November 2010, yang juga berujung dengan kerusuhan. Para mahasiswa membawa pesan yang jelas bahwa mereka menentang rencana reformasi pendidikan tinggi.) Inilah kenapa sulit untuk membayangkan kerusuhan di Inggris dalam kerangka Marxist, sebagai sebuah contoh dari munculnya subyek revolusioner; mereka justru lebih sesuai dengan apa yang disebut dalam konsep Hegelian sebagai ‘rabble’, mereka yang berada diluar ruang sosial yang ada, yang hanya bisa menunjukkan ketidakpuasan melalui ledakan ‘irasional’ berupa kekerasan yang destruktif – apa yang disebut Hegel sebagai ‘negativitas abstrak’.

Ada sebuah kisah lama tentang seorang pekerja yang dituduh melakukan pencurian: setiap sore, ketika dia meninggalkan pabrik, gerobak yang dia dorong diperiksa dengan cermat. penjaga tidak menemukan apa-apa; gerobak itu selalu kosong. Akhirnya, baru diketahui: yang dicuri oleh si pekerja itu adalah gerobak itu sendiri. Para penjaga tidak memahami fakta yang sangat gamblang, seperti halnya para pengamat yang mengomentari kerusuhan. Kita diberitahu bahwa ambruknya rejim Komunis pada awal 1990an menandakan akhir dari ideologi: masa dimana proyek ideologis besar yang berujung pada bencana totaliter sudah berakhir; kita sudah memasuki sebuah era politik baru yang rasional dan pragmatis. Kalau memang cara hidup kita di era post ideological ini benar diihat dari berbagai sisi nalar, bisa dilihat pada ledakan kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Ini adalah sebuah protes di titik nol, aksi kekerasan tanpa tuntutan. Dalam upaya putus asanya untuk memahami arti dari kerusuhan ini, para sosiolog dan penulis editorial mengaburkan teka-teki yang mucul dari kerusuhan tersebut.

Para pendemo, sekalipun adalah kelompok miskin dan kaum terpinggirkan, tidak benar-benar diambang kelaparan. Masyarakat dengan kondisi yang lebih buruk, ditambah dengan penindasan fisik dan ideologis, telah mampu mengorganisir diri menjadi kekuatan politik dengan agenda yang jelas. Fakta bahwa para perusuh tidak memiliki agenda dengan sendirinya adalah sebuah fakta yang berarti sesuatu: memberitahu kita satu hal besar tentang keterpurukan ideology politi kita serta menandakan bentuk masyarakat sekarang, masyarakat yang merayakan kebebasan memilih, namun pada saat yang sama satu-satunya alternatif yang ada untuk mencapai kesepakatan demokratis adalah dengan sebuah tindakan yang membabi buta. Oposan dalam sistem tidak lagi bisa dijadikan pilihan nyata, malah sebuah proyek utopia. Mereka hanya bisa mewujud dalam bentuk ledakan tanpa-makna. Lantas, apa gunanya kita mengagungkan kebebasan untuk memilih jika satu-satunya pilihan yang tersedia hanya antara mengikuti aturan atau kekerasan yang merusak diri?

Alain Badiou berpandangan bahwa kita hidup di ruang sosial yang semakin dirasakan sebagai ‘nir-duniawi’: dalam ruang semacam itu, protes hanya bisa mewujud dalam bentuk kekerasan tanpa-makna. Mungkin ini adalah bahaya terbesar dari kapitalisme: sekalipun ia mampu menjangkau seluruh dunia, tapi dia menopang sebuah konstelasi ideologi ‘nir-duniawi’, dimana orang dirampas kemampuannya untuk menemukan makna. Pelajaran mendasar dari globalisasi adalah bahwa kapitalisme bisa menyesuaikan dirinya dengan semua peradaban, dari peradaban Kristen sampai Hindu atau Budha, dari dunia Barat hingga Timur: tidak ada ‘pandangan-hidup kapitalis’, tidak ada ‘peradaban kapitalis’ yang sejati. Dimensi global kapitalisme hanya menampilkan kenyataan tanpa-makna.

Kesimpulan pertama yang tergambar dari kerusuhan itu adalah bahwa reaksi terhadap kerusuhan ini baik kalangan konservatif ataupaun liberal tidaklah memadai. Reaksi dari kaum konservatif tentu saja gampang ditebak: tidak ada pembenaran terhadap vandalisme semacam itu; kita perlu memakai segala cara untuk memulihkan keadaan; guna mencegah ledakan semacam yang lebih luas, kita tidak lagi memerlukan dan tolong menolong, namun lebih banyak disiplin, kerja keras dan rasa tanggungjawab. Apa yang salah dari pandangan semacam ini bukan hanya mengabaikan situasi masyarakat yang putus asa yang telah mendorong para pemuda kearah ledakan kekerasan ini, namun, dan mungkin yang lebih penting lagi, mengabaikan cara bagaimana ledakan ini menggemakan dasar pemikiran tersembunyi dari ideologi konservatif itu sendiri. Ketika, pada 1990an, kalangan Konservatif melancarkan kampanye ‘kembali ke asal’, pesan tambahannya yang nyeleneh dibeber oleh Norman Tebbit: ‘Manusia bukan hanya makluk sosial, namun juga mahluk territorial; sudah menjadi bagian dari agenda manusia untuk memuaskan nalurinya akan kesukuan dan teritori’. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan dengan ‘kembali ke asal’: lepas dari kerangkengnya sifat barbar manusia yang tersembunyi dibalik topeng masyarakat borjuis yang beradab, guna memuaskan ‘nafsu’ barbarnya. Pada 1960an, Herbert Marcuse mengajukan konsep ‘desublimasi represif’ guna menjelaskan tentang ‘revolusi sexual: nafsu manusia bisa saja di-desublimasi, memungkinkan terjadinya kebebasan, tapi tetap dalam kendali kapitalis – misalnya, industri pornografi. Di jalanan Inggris selama kerusuhan berlangsung, yang kita lihat bukan manusia yang terpuruk menjadi binatang, namun bentuk ‘binatang’ yang sudah ditelanjangi sebagai hasil dari ideologi kapitalis.

Sementara di kalangan liberal Kiri, yang juga tidak kalah mudah ditebaknya, tetap kukuh dengan mantra mereka akan perlunya program sosial dan proyek integrasi, bahwa sikap acuh yang selama ini berlangsung telah merampas peluang ekonomi dan sosial dari generasi kedua dan ketiga kaum imigran: kerusuhan dengan kekerasan adalah satu-satunya cara menyampaikan ketidakpuasan mereka. Bukannya terlena dengan fantasi balas dendam, kita perlu lebih berusaha untuk memahami penyebab yang lebih mendalam dari kerusuhan ini. Bisakah kita bahkan membayangkan bagaimana rasanya menjadi generasi muda yang hidup di kawasan miskin dan bercampur secara rasial, yang selalu tanpa alasan dicurigai dan dilecehkan oleh polisi, yang tidak hanya menganggur tapi seringkali sama sekali tidak bisa dipekerjakan, tanpa harapan akan masa depan? Akibatnya, keadaan yang harus mereka jalani menyebabkan mereka mau tidak mau harus turun ke jalan. Namun, yang tidak lengkap dari penjelasan semacam ini adalah, dia hanya menjelaskan penyebab obyektif dari kerusuhan. Berbuat rusuh pada dasarnya adalah membuat pernyataan subyektif, secara implisit menjelaskan bagaimana posisinya dalam kondisi obyektif tertentu.

Kita hidup di era yang sinis, dan mudah membayangkan seorang pendemo yang, ketika kepergok tengah menjarah dan membakar toko dan ditanya alasannya, akan menjawab dengan bahasa yang dipakai oleh kalangan pekerja sosial dan sosiolog, mengutip masalah hilangnya mobilitas sosial, meningkatnya ketidakpastian, meredupnya otoritas paternal, kurangnya kasih sayang ibu semasa kecil. Dia sadar apa yang dia lakukan, tapi tetap saja dia lakukan.

Akan sia-sia untuk menarik kesimpulan dari dua reaksi ini, dari kalangan konservatif dan liberal, mana yang lebih buruk: seperti yang mungkin akan dikatakan Stalin, keduanya buruk, dan keduanya juga mengandung peringatan dari kedua kubu bahwa bahaya sebenarnya dari kerusuhan itu terletak pada reaksi rasis seperti biasanya dari ‘kelompok silent majority’. Salah satu bentuk reaksinya adalah kegiatan ‘kesukuan’ dari masyarakat lokal (Orang Turki, Karibia, Sikh) yang segera membentuk kelompok peronda guna melindungi daerah mereka. Apakah para pemilik toko merupakan golongan borjuis kecil yang membela milik mereka melawan protes yang tulus, meski memakai kekerasan, terhadap sistem yang berkuasa; atau apakah mereka merupakan perwakilan dari kelas pekerja, melawan kekuatan disintegrasi sosial? Pun disini kita perlu menolak dorongan untuk memihak. Yang sebenarnya adalah bahwa konflik yang terjadi merupakan pertarungan antara dua kutub dari kelas yang terpinggirkan; mereka yang berhasil dalam sistem yang ada melawan mereka yang merasa terlalu frustasi untuk terus berupaya. Kekerasan dari para perusuh hampir seluruhnya diarahkan kepada golongan mereka sendiri. Mobil-mobil yang dibakar dan toko-toko yang dijarah tidak terletak di daerah kaya, tapi di lingkungan para perusuh sendiri. Konflik yang terjadi bukanlah antara kelas yang berbeda di masyarakat; itu adalah, dan dalam bentuknya yang paling radikal, konflik antara satu kelompok masyarakat dengan sesame kelompoknya, antara mereka bisa kehilangan segalanya, dan mereka yang tidak takut kehilangan apapun; antara mereka yang tidak memiliki peran di masyarakat, dan mereka yang taruhannya paling tinggi.

Zygmunt Bauman menyebut kerusuhan sebagai tindakan ‘konsumen yang defektif dan terdiskualifikasi’, yang lebih dari apapun, mereka adalah perwujudan dari hasrat konsumeris yang secara kejam mewujud ketika tidak mampu merealisasikan diri secara wajar – dengan cara berbelanja. Karena itu, peristiwa ini juga mengandung protes yang murni, dalam bentuk tanggapan yang ironis terhadap ideologi konsumeris. ‘Kalian mengajak kami untuk membeli sambil pada saat yang sama merampas dari kami kemampuan untuk membeli – karenanya kami melakukannya dengan satu-satunya cara yang kami bisa! Kerusuhan itu adalah pertunjukan dari kekuatan material dari ideologi – yang, rasanya, begitu berlebihan, di masyarakat yang katanya ‘masyarakat pasca-ideologis’. Dari sudut pandang revolusioner, yang salah dari kerusuhan itu adalah bukan kekerasannya, namun fakta bahwa kekerasan itu tidak benar-benar mewujud dengan sendirinya. Itu adalah bentuk kemarahan dan .keputusasaan yang berkedok kekerasan; itu adalah rasa dengki yang berkedok pawai yang megah.

Kekerasan itu seharusnya tidak ditempatkan dalam kaitannya dengan bentuk kekerasan yang lain, yaitu oleh kalangan mayoritas liberal hari ini dilihat sebagai ancaman terhadap jalan hidup kital; serangan teroris dan bom bunuh diri. Dalam kedua kasus, kekerasan dan kontra-kekerasan terjebak dalam lingkaran setan, masing-masing memicu kekuatan yang dia coba lawan. Dalam kedua kasus, kita menghadapi passages Ă  l’acte buta, dimana kekerasan adalah pengakuan implisit akan ketidakmampuan. Perbedaannya adalah, berbeda dengan kekerasan di Inggris atau Paris, serangan teoris dilakukan untuk melayani Kebenaran tertinggi yang didapat melalui agama.

Tapi bukankah pergolakan di dunia Arab merupakan bentuk perlawanan kolektif yang tidak mengandung kekerasan yang merusak dan fundamentalisme agama? Sayangnya, Musim Panas di Mesir pada 2011 akan dikenang sebagai penanda dari akhir sebuah revolusi, sebuah masa ketika potensi emansipatorisnya pupus. Penggali kuburnya adalah militer dan kalangan Islamis. Wujud pakta antara militer (yaitu tentara Mubarak) dan Islamis (yang terpinggirkan pada bulan-bulan awal pergolakan, tapi sekarang semakin mendapat momentum) semakin terang; kaum Islamis menolerir kewenangan istimewa tentara dan sebagai imbalannya akan mengamankan hegemoni ideologis. Disini yang menjadi pecundang adalah kaum liberal pro-Barat, yang terlalu lemah – sekalipun mendapat dukungan dana dari CIA – untuk mendorong demokrasi, disamping sebagai pelaku utama dari peristiwa di musim semi itu, kekuatan sekuler kiri yang muncul dan mencoba untuk membangun jaringan organisasi masyarakat sipil, mulai dari serikat pekerja hingga kaum feminis. Situasi ekonomi yang semakin memburuk juga cepat atau lambat akan menarik kaum miskin, yang secara umum tidak terlibat dalam demonstrasi di musim semi itu, untuk ikut turun kejalan. Akan sangat mungkin terjadi pergolakan baru, dan pertanyaan sulit yang dihadapi oleh subyek politik Mesir adalah siapa yang akan mampu mengarahkan kemarahan dari kaum miskin? Siapa yang mampu merubahnya menjadi sebuah program politis: apakah kaum sekuler Kiri atau golongan Islamis?

Sebagian besar reaksi dari opini public di Barat terhadap pakta antara golongan Islamis dan militer, tidak diragukan lagi merupakan bukti gemilang dari kebajikan sinis: kita akan diberitahu jika, seperti halnya yang jelas nampak dari kasus di Iran, pergolakan rakyat di negara-negara Arab akan selalu berujung dengan Islamisme militan. Mubarak akan tampak sebagai pihak yang tidak terlalu jahat – lebih baik berteman dengan setan yang kita kenal daripada bermain-main dengan emansipasi. Menghadapi sinisisme semacam ini, kita perlu dengan tanpa-syarat tetap setiap terhadap inti emansipatoris-radikal dari pergolakan di Mesir.

Tapi kita juga perlu menghindari tantangan narsisisme akan Cita-cita yang kalah: adalah mudah untuk mengagumi keindahan sublime dari pergolakan yang gagal. Golongan Kiri hari ini menghadapi masalah ’kepastian negasi’: rejim baru seperti apa yang akan menggantikan rejim lama, ketika antusiasme sublim dari pergolakan awal sudah berakhir? Dalam konteks ini, manifesto dari kelompok demonstran di Spanyol, indignados, yang dikeluarkan setelah demonstrasi yang mereka adakan pada bulan Mei, menjadi indikasinya yang jelas. Hal pertama yang mencolok mata adalah nada yang jelas-jelas apolitis: ’Sebagian dari kami menganggap diri sebagai kelompok progresif, sementara yang lain tergolong konservatif. Beberapa dari kami beragama, yang lain tidak. Beberapa dari kami jelas memiliki tujuan ideologi yang pasti, sementara yang lain apolitis, tapi kami semua merasa peduli dan marah terhadap gambaran politik, ekonomi dan sosial yang kami berlangsung di sekitar kami: korupsi diantara para politisi, pebisnis, bankir, yang membuat kita tak berdaya, tanpa suara.’ Mereka melakukan protes atas nama ’kebenaran yang tak terelakkan bahwa dimasyarakat kita seharusnya menyediakan: hak atas perumahan, pekerjaan, kebudayaan, kesehatan, pendidikan, partisipasi politik, perkembangan pribadi dan hak menikmati hidup yang sehat dan sejahtera.’ Dengan menolak kekerasan, mereka menyerukan akan sebuah ’evolusi etis. Bukannya menempatkan uang diatas kemanusiaan, kita seharusnya menjadikannya pelayan bagi kita. Kita adalah manusia, bukan barang. Saya bukan produk dari apa yang saya beli, kenapa saya beli dan dari mana saya beli’. Siapa yang akan menjadi agen dari revolusi ini? Kelompok indignados menolak seluruh kelas politik, baik kanan maupun kiri, sebagai kekuatan yang korup dan dikuasai oleh nafsu kekuasaan, namun tetap saja manifesto itu berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada – siapa? Bukan kepada rakyat sendiri: indignados memang masih tidak (belum) mengklaim bahwa akan ada pihak lain yang mewakili mereka, bahwa mereka sendirilah yang akan menjalankan perubahan yang mereka tuntut. Dan inilah kelemahan fatal dari pergolakan yang terjadi baru-baru ini: mereka mewakili sebuah kemarahan otentik yang tidak mampu ditransformasi menjadi sebuah program perubahan sosio-politik yang nyata. Mereka menampilkan semangat berontak tanpa revolusi.

Situasi di Yunani tampak lebih menjanjikan, mungkin karena dipicu oleh faktor tradisi pengorganisasian-diri progresif yang muncul belakangan (yang di Spanyol sudah luntur sejak jatuhnya rejim Franco). Namun di Yunani sekalipun, gerakan protes ini menunjukkan gejala keterbatasan dari: para pemrotes membuat sebuah ruang kebebasan egalitarian tanpa sebuah otoritas terpusat yang mengaturnya, sebuah ruang public dimana semua orang diberikan waktu yang sama untuk berbicara dan sebagainya. Ketika para pemrotes mulai memperdebatkan apa yang akan dilakukan selanjutnya, bagaimana agar beranjak dari hanya sekedar protes, consensus mayoritas yang muncul adalah bahwa apa yang diperlukan bukannya sebuah partai baru atau upaya langsung untuk mengambil alih kekuasaan negara, namun sebuah gerakan yang tujuannya adalah untuk memberikan tekanan terhadap partai-partai politik yang ada. Ini terang saja tidak cukup untuk mulai menjadikan reorgansiasi ulang kehidupan social. Agar itu bisa terjadi, kita perlu sebuah lembaga yang kuat yang mampu untuk mengambil keputusan cepat dan menerapkannya dengan segala konsekuensinya.


Slavoj Žižek