Latest Posts

Showing posts with label budaya. Show all posts
Showing posts with label budaya. Show all posts
Razia Ketampanan Di Arab Saudi
Hati-hati dengan ketampananmu. Kalau kau tinggal di Indonesia, mungkin itu suatu keberkahan. Tapi tidak di Arab Saudi. Baru-baru ini pihak kepolisian Arab menangkap tiga orang dengan alasan ketampanan yang mereka miliki.

Ketiganya ditangkap ketika tengah berada di Jenadrivah Heritage & Cultural Festival, sebuah festival budaya tahunan yang diadakan di Riyadh, Saudi Arabia. Mereka merupakan delegasi dari Uni Emirat Arab. Alih-alih disambut sebagai peserta, polisi agama la yang menyambut mereka.

Seorang panitia festival mengatakan bahwa tiga warga UEA ini ditangkap karena mereka terlalu tampan, sehingga panitia acara takut jika para pengunjung wanita akan jatuh hati pada mereka.

Para polisi masuk ke paviliun dan langsung mengawal ketiga delegasi tersebut.

Pihak manajemen akhirnya terpaksa menggiring mereka untuk meninggalkan Saudi Arabia dan kembali ke Abu Dhabi.



FOKE
Fuck mungkin kata dalam Bahasa Inggris yang paling mendunia. Di AS dan Inggris kata itu adalah ucapan biasa. Di Indonesia – mungkin pula di banyak negara yang tidak berbahasa Inggris tapi secara budaya dijajah Barat – kata umpatan ini bisa saja menjadi simbol status sosial bagi penggunanya.

Kata ini bisa diartikan bermacam-macam, karena cenderung bebas nilai. Fuck bisa diartikan dengan persetan, atau kata untuk melampiaskan kejengkelan terhadap barang yang rusak. Bisa pula mencerminkan tindakan kopulasi.

 Sebagai kata kerja, fuck – dengan tambahan up, off, dan with – bisa digunakan sencara transitif dan intransitif. Fuck with tidak ada hubungannya dengan hubungan seks. Arti kata ini adalah ‘dipusingkan’ atau ‘dibuat pusing.’

 Don't give a fuck tidak ada bedanya dengan damn (sialan). Sedangkan what the fuck berfungsi sebagai intensif. This is fucked up biasa digunakan untuk menunjukan sesuatu yang abnormal, atau kacau balau.

Kata fuck memiliki sejarah yang menarik. Konon, menurut answer.com, kata fuck muncul di masyarakat feodal Inggris kuno. Ada pula yang mengatakan kata ini muncul di Inggris abad ke-14 dan 15.

 Versi pertama mengatakan di masyarakat Inggris kuno seorang tidak bisa melakukan hubungan seks tanpa restu raja. Apalagi jika orang itu bukan anggota istana. Jadi, orang yang ingin berkeluarga – atau melakukan hubungan seks dengan wanita yang disukainya – harus lebih dulu menghadap raja.

Jika direstui, raja akan memberikan plakat bertuliskan FUCK, akronim fornication under consent of the King – artinya persetubuhan ini direstui raja. Plakat itu harus digantung di depan rumah, atau – jika anggota keluarga kerajaan yang tinggal di istana – ditempel di pintu kamar.

Versi lain menyebutkan Inggris dua kali mengalami kekurang penduduk. Pertama tahun 1340, saat Inggris berada di bawah Raja Edward III. Wabah pes merengut banyak korban, membuat populasi Inggris turun antara 30 sampai 60 persen. Wabah baru hilang ketika London terbakar hebat, dan menjadi puing.

Raja Edward III, yang sebelumnya memerintah Inggris dengan gaya militer, juga menghadapi kenyataan betapa banyak penduduk yang cacat akibat praktek kekuasannya. Banyak desa mengalami kekurangan tenaga kerja, yang bisa berakibat pada berkurangnya stok pangan, dan infrakstruktur.

 Edward III mengumpulkan penasehatnya. Berbagai usulan untuk mengatasi kekurangan penduduk datang kepadanya. Salah satunya adalah fornication under consent of the King. Menurut si empunya usul, raja diminta mencoret pasal perzinahan yang dilakukan oleh sepasang kekasih yang belum menikah sebagai tindakan yang harus dihukum.

Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Edward III mengeluakan dekrit, mencabut tindakan zinah lelaki dan perempuan yang belum menikah sebagai perbuatan hukum. Harapan raja, dan semua penasehatanya, dekrit ini akan membuat angka kelahiran di Inggris meningkat dalam dua atau tiga tahun ke depan.

Tidak ada yang tahu apakah dekrit ini dijalankan atau tidak. Yang pasti Edward III memang dikenal sebagai penguasa yang membuat Inggris menjadi kekuatan militer. Ia memenangkan perang di Skotlandia, dan menjadi penguasa Prancis.

 Versi berikutnya menyebutkan Inggris menghadapi kekurangan penduduk; akibat wabah dan perang terus-menerus, saat Raja Henry VIII berkuasa. Lebih mengkhawatirkan lagi, pasukan Inggris sangat sedikit, dan tidak cukup menghadapi kemungkinan serangan dari luar, atau mengatasi pemberontakan di Irlandia dan Skotlandia.

Henry VIII juga gundah dengan banyaknya kematian di istana. Catherine, istrinya, melahirkan banyak anak tapi selalu mati saat masih balita. Hanya Mary, anak perempuannya, yang bisa bertahan. Padahal, Henry VIII menginginkan anak laki-laki untuk menjadi penerusnya.

 Ketiadaan anak lelaki inilah yang membuat Henry VIII mengambil banyak gundik. Vatikan marah. Henry VIII merespon kemarahan Vatikan dengan memisahkan gereja Inggris dari Katolik Roma. Selanjutnya gereja Inggris menyabut dirinya Anglican, kependekan dari Anglo-Vatican.

Henry VIII mencari cara untuk mengatasi kekurangan penduduk, dan menyelamatkan masa depan kerajaannya. Ia meminta data populasi pelacur di Inggris dan para bajingan yang menghuni penjara. Ia tercengang ketika mengetahui jumlah keduanya banyak sekali.

Sang raja memutuskan mengijinkan mereka berzinah. Para pelacur dibawa ke penjara, untuk melayani para bajingan yang sedang menjalani hukuman. Raja juga memerintahkan kepada pelacur untuk membesarkan bayi-bayi hasil hubungannya dengan para bajingan.

 Pelacur yang datang ke penjara untuk melayani nafsu para bajingan mendapat ijin raja. Dalam lembar perijinan tertulis; Fornication Under the Control of King, atau perzinahan di bawah pengawasan raja, dipendekan menjadi FUCK. Ada pula yang mengatakan FUCK di era Raja Henry VIII adalah kependekan dari fornication under command of the King, atau perzinahan atas instruksi raja.

Setelah 15 tahun sejak kebijakan itu diberlakukan, populasi Inggris meningkat lebih dua kali lipat. Menariknya, setengah dari anak-anak yang lahir pada masa 15 tahun itu berstatus anak haram, alias anak di luar perkawinan resmi.

Varian lain dari asal-usul kata ini adalah ijin berzinah – atau fornication under consent of the king - diberikan kepada tamu-tamu dari jauh. Asumsinya, tamu-tamu dari jauh harus menempuh perjalanan sekian minggu, atau mungkin sekian bulan, untuk bertemu raja.

 Para tamu biasanya akan bermalam di rumah penduduk, bukan di istana. Raja akan mengeluarkan ijin kepada para tamu untuk menjinahi wanita tertua, tapi belum menikah, yang ada di rumah itu. Itu pun dengan catatan jika si wanita bersedia.

Varian lain menyebutkan Fuck adalah istilah hukum. Ada pula yang menyebut Fuck adalah akronim Force Unnatural Carnal Knowledge, yang mengacu pada tindak pidana perkosaan.

Sejarawan lain mengatakan fuck adalah akronim dari For Unlawful Carnal Knowledge, artinya untuk kenikmatan duniawi yang melawan hukum. Kata ini merupakan vonis bagi mereka yang melakukan tindak prostitusi.

 Versi lain mengatakan fuck sebagai kata untuk memvonis pelacur muncul di London di tahun 1800-an. Alkisah, petugas Satpol PP London, nggak mau berpanjang-panjang menulis vonis di laporan kerja. Mereka menyingkatnya saja menjadi fuck.

 Pada tahun 1991, Van Halen menggunakan kata For Unlawful Carnal Knowledge sebagai judul albumnya.

Omong Kosong 

 Jesse Sheidlower, dalam buku The F-Word yang diterbitkan Random House 1999, membantah semua klaim imajinatif di atas. Menurutnya, fuck adalah kata yang bukan berasal dari akronim.

 Lebih jelas lagi, fuck adalah kata -- dan sepenuhnya kata – yang berasal Bahasa Belanda, atau dataran rendah Jerman. Kata ini masuk ke dalam Bahasa Inggris sekitar abad ke-15. Namun hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter bagaimana kata ini masuk dan digunakan dalam masyarakat Inggris. Alasannya, fuck adalah kata yang tabu diucapkan, apalagi ditulis.

The American Heritage Dictionary mengatakan kata ini diketahui kali pertama ketika muncul dalam sajak satire Flen, Flyss. Kata fuck tidak hanya disamarkan sebagai kata latin, tapi juga dienkripsi. Belakangan diketahui fuck berasal dari fuccant, pseudo-Latin untuk they fuck.

 Sheidlower juga menjelaskan klaim bahwa fuck sebagai kata yang terbentuk dari akronim muncul kali pertama tahun 1960-an. Adalah East Village Other, sebuah surat kabar bawah tanah, yang kali pertama mempublikasikannya.

 Tidak banyak yang tahu bahwa kata fuck berasal dari notasi diagnostic medis yang terdapat dalam dokumen kesehatan tentara British Imperial Army. Ketika seorang tertara dilaporkan sakit, dan hasil pemeriksaan menemukan sang prajurit mengidap Venereal diseases (VD) – penyakit yang ditularkan lewat hubungan seks – maka perawat akan menuliskan kata fuck di dokumen kesehatan si tentara.

Fuck dalam dokumen kesehatan tentara itu adalah akronim Found Under Carnal Knowledge. Lebih dari dua varian kata fuck lainnya ditemukan di majalah Playboy edisi tahun 1970-an.


Sumber: TeguhSetiawan/Politikana
Macau
Lihat catatan sebelumnya: Dewa Judi Bag I

Kota-kota judi adalah kuil bagi pengembangan diri. Di tahun 1860-an, Monaco adalah wiayah terpencil yang miskin akibat kalah perang dengan Prancis. Kemudian muncullah kasino. Dan sekarang Monaco menjadi negara termakmur di dunia. Las Vegas dulunya adalah gurun yang selalu babak belur oleh badai pasir dan air bah – ‘daerah yang dilupakan Tuhan’, menurut istilah para misionaris abad 19, hingga akhirnya ia tumbuh menjadi kota yang sekarang paling menarik dikunjungi tiap tahunnya mengungguli Mekkah. Hal Rothman, sejarawan Amerika menuliskan motto Las Vegas, sebuah pertanyaan yang diajukan ke tiap pengunjung kota:’Apa yang kau inginkan dan berapa yang akan kau bayar untuk mewujudkannya?’

Kapal Feri yang menuju ke Macau disambut oleh kerumunan calo. Saat aku berkunjung beberapa tahun lalu, aku bertemu dengan sosok gemuk mengenakan setelan seperti yang biasa dipakai anjing dalam film-film kartun, bergaris-garis dan memakai topi jerami ala pendayung gondola. Ia melambaikan tangannya. Dia adalah mascot dari penginapan Venetian di Macau – saudara kembar dari penginapan Venetian di Las Vegas. Di kejauhan nampak pemandangan kota berlatar perbukitan yang dijejali bangunan tinggi (sisa-sisa benteng Portugis) dan rimbunnya hutan cemara China. Di tengah kerumunan, seorang wanita muda membagikan selebaran iklan untuk menawarkan telefon bebas-tagihan bagi yang berbahasa Mandarin untuk membeli perumahan gaya Amerika dengan potongan harga.

Macau, yang memiliki populasi setengah juta, mirip China yang diminiatur dan diperkuat. Macau dan China dijiwai oleh formula serupa: ambisi, kecepatan dan resiko. Hanya saja di Macau jumlah uang dan manusianya telah melewati penyaringan hingga menghasilkan inti sari yang begitu ampuh, dan itu menjadi salah satu kekuatan terbesar Macau. Satu generasi lalu, Macau adalah penghasil kembang api, mainan dan bunga plastik. Hari ini, perusahaan-perusahaan itu telah lenyap. Penghasilan rata-rata penduduk kota melampaui yang dicapai Eropa. Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin sangat lebar. Pembangunan tak ada hentinya. Tiap malam, api mesin las menyala dari atas bangunan. Di tanah, trotoar disampahi oleh selebaran-selebaran yang menjanjikan pertemuan dengan gadis-gadis dari berbagai benua.

Kasino-kasino Amerika pun tak mau kalah. Tahun 2006, Steve Wynn, pionir kebangkitan kembali Las Vegas di tahun 1990-an, membuka kasino di Macau. Hasil yang didapatnya 2/3 lebih banyak dari keuntungan global yang diperoleh di Las Vegas. Ia mempelajari bahasa China, dan mengatakan tentang pemindahan kantor pusatnya ke Macau. “Kita benar-benar perusahan China sekarang. Bukan Amerika,” ujarnya.

Macau telah menjadi daya tarik utama perusahan-perusahan China dalam beberapa tahun terakhir. Di Nevada, semenjak menurunnya jumlah wisatawan di tahun 2008, pendapatan dari perjudian menurun drastis hingga mendekati 2 persen dalam dua tahun – kemerosotan terparah dalam sejarah negara bagian Amerika Serikat. Segala perbaikan dilakukan, tetapi Nevada masih memiliki angka pengangguran dan penyitaan yang tinggi. Gary Loverman, pemimpin Caesars Entertainent, adalah salah satu dari sedikit bos kasino yang melewatkan kesempatan mendirikan perusahaan di Macau. “Kesalahan besar,” ucapnya. “Aku keliru, benar-benar keliru.” Bahkan menurut standar China, kecepatan pertumbuhan di Macau sangat mendebarkan hati; dalam satu decade, ekonomi melambung dengan rata-rata 19 persen pertahun – mendekati dua kali pertumbuhan China sebagai wilayah utama. Tahun 2010, perputaran taruhan di Macau mencapai sekitar 600 miliar dolar, kira-kira sama dengan jumlah uang yang ditarik dari seluruh mesin A.T.M di seluruh Amerika dalam setahun.

Pemerintah Amerika Serikat meyakini bahwa perpindahan uang di atas meja di Macau hanyalah gambaran kecil dari keadaan sebenarnya. Menurut laporan tahunan Kongres Eksekutif Amerika Serikat untuk China tahun 2011, pertumbuhan di Macau selain didorong oleh aliran uang dari penjudi-penjudi China dan pertumbuhan kasino Amerika, juga dibarengi oleh meluasnya korupsi, organisasi kriminal dan pencucian uang. Juan Zarate adalah salah satu pejabat senior anti terorisme di masa pemerintahan Bush yang pernah memberikan sangsi pada salah satu bank swasta di Macau yang diduga memfasilitasi keuangan – juga hal-hal lainnya – bagi pengembangan nuklir Korea Utara. “Orang yang anti pencucian uang sangat memahami resiko sebenarnya yang ada di Macau,” kata Zarate. David Asher, departemen luar negeri dan penasihat senior untuk wilayah Pasifik dan Asia Timur menyebut Macau sebagai ‘tempat sampah kejahatan keuangan’.
sungai Pearl
Sumber gambar: cromwell-intl.com
Akhir musim semi tahun 2007. Siu Yun Ping, pria 50 tahun bekas tukang cukur mulai melakukan perjalanan rutin dari kampungnya di Hongkong ke Macau , satu-satunya wilayah di China di mana perjudian dilegalkan. Macau berada di tengah ceruk pantai berkarang. Di situlah sungai Mutiara mengalir hingga Laut China Selatan. Luasnya kira-kira sepertiga Manhattan, meliputi semenanjung daerah tropis dan sepasang pulau yang kalau dilihat di peta mirip serpihan roti. Sudah lama pemimpin Mao melarang perjudian di China, tapi tidak di Macau. Hal itu disebabkan oleh faktor sejarah: Macau adalah wilayah jajahan Portugis selama hampir 500 tahun, dan ketika dikembalikan ke China tahun 1999, wilayah itu berhak memelihara tradisi kebebasannya, yang oleh W.H Auden dibaptis sebagai candunya katolik Eropa. Munculnya orang-orang kaya baru China memicu gelora pembangunan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2006 pendapatan kasino di Macau melampaui Las Vegas, hingga akhirnya dijuluki kota judi terbesar di dunia. Hari ini, perputaran uang di Macau melebihi apa yang oleh Las Vegas capai selama 5 tahun lebih.

Siu Yun Ping – atau Saudara tua Ping, begitu teman-temannya memanggilnya – terkenal karena keberuntungan kecil yang didapatnya. Ia dibesarkan di rumah reyot beratap seng di sebuah pemukiman liar yang kumuh di Hongkong. Pada tahun ia dilahirkan, banjir bandang menghantam desa, disusul kemudian dengan kekeringan dan serbuan topan. “Sepertinya Tuhan ingin menjadikan kami gila dengan cara menghancurkannya” kenang salah seorang pejabat.

Siu memiliki 5 saudara kandung. Pendidikan terakhirnya hanya SD. Ketika tidak sedang sibuk mencukur, ia bekerja sebagai tukang jahit atau kuli bangunan. Judi adalah keterampilan ilegal di Hongkong. Tapi dalam berbagai komunitas masyarakat China, judi adalah teknik dasar dalam menjalani hidup. Pada usia 9 tahun, Ping sering menyelinap ke dalam kerumunan orang yang sedang menonton permainan kartu. Pada usia 13 tahun, ia mulai bermain dengan taruhan kecil, hingga salah satu kelompok judi bawah-tanah menyewanya untuk berkeliaran di sekitar pemain mengawasi tangan-tangan mereka. “Aku awas dalam mengamati pergerakan seseorang,” kata Ping.”Kapanpun aku melihat seorang pemain melakukan kecurangan, aku adukan ke bos.”

Menginjak dewasa, ia mulai bermain kartu, memperoleh kesuksesan yang sedikit lumayan. Ping bukanlah sosok yang mempesona: pipi montok, rambut tebal dan memiliki mata yang awas. Ia menikah di usia 19 tahun, menghasilkan 3 anak. Kemudian bercerai. Tidak lama setelah itu ia menikah kembali. Di desa kelahirannya, Fuk Hing (yang artinya perayaan keberuntungan.), Ping biasa dipanggil dengan sebuah nama yang ia sendiri sepertinya tidak begitu mempedulikannya: Lang Tou Ping, atau penjudi keras kepala.

Ketika masih menjadi tukang cukur, Ping berkawan dengan seorang gadis local bertubuh kurus bernama Wong Kam-ming. Wong tinggal di wilayah yang sama dengan Ping – wilayah yang terkenal paling miskin di Hongkong. Juga seperti halnya Ping, ia pun tidak melanjutkan sekolah karena alasan ekonomi. Mereka kadang bertemu untuk makan malam di sebuah warung tempat Wong bekerja. Lalu Ping berusaha di bidang pengembangan kota – membangun dan menjual perumahan di sekitar pesawahan di desanya, sementara Wong meembuka warung makan. Mereka tidak lagi sering bertemu, tapi Ping mengatakan bahwa mereka sudah seperti saudara. Kemudian hubungan mereka kembali rekat di tahun-tahun berikutnya, ketika Wong mulai mendapat pekerjaan sampingan di Macau sebagai ‘agen pesta’. Tugasnya merekrut para penjudi, memberi mereka pujian dan meningkatkan kepercayaan diri mereka, dan ia mendapat persenan dari setiap kemenangan yang diraih pemain. Salah satu yang direkrutnya adalah Siu Yun Ping.

Satu atau dua kali dalam seminggu, Siu Yun Ping melakukan perjalanan selama satu jam melintasi sungai Mutiara yang keruh menggunakan kapal feri. 7 ribu orang datang tiap harinya untuk mengadu untung di Macau, separuh dari mereka adalah penduduk China. “Tiap sepuluh orang yeng berjudi, mungkin hanya tiga yang akan menang,” ucap Siu. “Dan jika ketiganya tetap bermain, hanya satu yang lolos menang.”

Siu Yun Ping bermain baccarat, judi favorit orang-orang China (memiliki peluang yang lebih banyak dan mudah dimainkan). Gaya puncto banco adalah permainan judi favorit di Macau. Tidak membutuhkan skill khusus, dan hasilnya dapat langsung dipastikan ketika kartu dibagikan.

Agustus 2007, beberapa minggu sejak pertama kali melakukan perjalanan rutin ke Macau, Siu Yun Ping berhasil meraih serangkaian kemenangan. Suatu hari ia menang sampai ratusan dolar. Di hari lainnya ia membawa pulang ratusan ribu dolar. Atas rekomendasi Wong, Ping diundang ke ruang mewah kelas V.I.P, tempat yang hanya terbuka bagi para petaruh besar. Sejak itu Ping bolak-balik melakukan perjalanan menggunakan helikopter melintasi sungai Mutiara.Semakin banyak Ping bermain, semakin banyak pula Wong mendapat upah dan tips. Satu hari menjelang musim hujan, Siu sukses meraup rentetan kemenangan yang hanya mungkin terjadi di Las Vegas. Kemenangan itu sekaligus menunjukkan bahwa Macau adalah tempat di mana hal itu bisa diraih dengan mudah, tak peduli apakah kau seorang bekas tukang cukur di Hongkong atau salah satu orang terkaya di Amerika.

Bersambung ke bag. 2


Macau
Sumber gambar: Newyorker.com



Dari sekian banyak tulisan A.s Laksana, ini adalah yang paling aku favoritkan. Artikel yang muncul di Jawa Pos pada sekitar bulan September 2010 lalu tersebut tercipta saat para anggota DPR, secara berjamaah, dan blak-blakan, menampilkan kebodohan-kebodohannya di muka publik. Jelas sekali ada kemarahan dalam tulisan ini, yang menohok dalam-dalam ke diri pembaca. Bukan hanya untuk para wakil rakyat itu, tetapi juga untuk seluruh penghuni negara kesatuan Indonesia. A.s Laksana mengumpamakan DPR sebagai suatu penyakit, dan masyarakat digambarkan sebagai sekumpulan anasir yang pemalas, lebih memilih diam ketika dicurangi, dan pengkhayal - bahkan oleh tanpa tedeng aling-aling penulis menyebutnya tolol. Tanpa banyak kata, silahkan menikmati tulisan tersebut: Menunggu Datangnya Anjing, oleh A.S Laksana.

Pidato Goenawan Mohamad pada penerimaan “Anugerah Hamengku Buwono IX’, Universitas Gadjah Mada, 19 Desember 2011.

I

Tak perlu saya kemukakan dengan paragraf-paragraf yang panjang rasa terima kasih saya atas kehormatan istimewa yang saya terima hari ini. Bagi saya, anugerah ini, di bawah nama ‘Hamengku Buwono IX’, menjadi tambah berharga karena apa yang saya kenang dari tokoh besar Yogyakarta dan Republik Indonesia itu.

Yang saya kenang berasal dari tanggal 8 Oktober 1988. Itu hari pemakaman agung Sri Sultan. Hari itu saya berada di kota ini, bertugas meliput peristiwa besar itu, dan ikut menyumbang laporan yang dimuat di Majalah TEMP0 ini. Izinkan saya membacanya di sini:

Tiga abad yang lalu, gunung bergemuruh ketika Sultan Agung mangkat. Babad Tanah Jawi mencatat itu. Pekan lalu, Sultan Hamengku Buwono IX wafat, dan tak ada gemuruh gunung dan tak ada gempa. Yang ada gemuruh lain: ratusan ribu manusia membanjir berbelasungkawa, sejak jenazah tiba dari Jakarta sampai dengan tubuh itu diiringkan dengan kereta berkuda ke bukit-bukit kering di Imogiri.

Seorang wanita tua di dekat Bandar Udara Adisucipto bahkan terdengar menangis, “Duh, Gusti, duh, Gusti....” Barangkali sebuah babad lain akan mencatat bahwa inilah pemakaman terbesar di abad ke-20, dalam hal jumlah manusia yang ikut serta.

Dan banyak yang bakal setuju. “Ngarsa Dalem telah membuat pangeram-eram,” bisik seorang tamu kepada Pangeran Hadiwinoto, salah seorang putra raja Yogya yang wafat itu, ketika melihat hampir setengah juta manusia datang menyambut. Dan Hadiwinoto kemudian sadar: benar, Hamengku Buwono IX telah membuat sesuatu yang menakjubkan.

Hujan juga turun, tak disangka, setelah tiga bulan kota kering seperti konon itulah kebiasaan bila ada anggota keluarga kraton Yogya meninggal. Hujan juga tumben turun di Washington, D.C., ketika jenazah Sri Sultan disemayamkan di KBRI dan ketika diberangkatkan ke Jakarta, Selasa yang lalu. Sebuah teja aneh berwarna putih bahkan tampak di atas langit Imogiri ketika pemakaman berlangsung, dan dua burung hitam yang membisu hinggap di tembok makam.

Tapi, lebih dari segalanya, yang menggetarkan buat raja yang juga demokrat itu ialah rakyat, rakyat, rakyat. Rakyat itu pula yang sejak Jumat jam 14.00 hingga Sabtu jam 05.00 pagi pekan lalu antre untuk melihat dan menyembahyangi jenazah Sri Sultan.

II

Kini sudah hampir seperempat abad umur laporan jurnalistik itu. Jarak antara teks itu dan peristiwa yang dilukiskannya sudah panjang, dan mungkin menyebabkannya berubah: naskah itu, sebuah dokumen sejarah, bisa menjadi tak lagi meyakinkan, atau sebaliknya, ia justru mempunyai daya pesona yang lebih.

Ia juga mudah berubah dalam tafsir pembaca kemudian, karena di dalamnya terdapat dua elemen.

Pertama: deskripsi, betapapun ringkas, tentang hal-hal yang tak lazim, yang ajaib, mungkin magis: hujan yang tumben turun, teja berwarna putih yang tampak di langit Imogiri, dua ekor burung hitam di tembok makam. Apa yang dilihat para reporter saat itu barangkali kini akan dibaca sebagai sebuah fantasi atau ilusi.

Kedua: laporan tentang kejadian yang tak ganjil sama sekali, meskipun dramatis: ribuan orang yang bertakziah ke Kraton, ketika jenazah Hamengku Buwono IX disemayamkan.

Teringat akan naskah tentang pemakaman agung itu, saya memilih percakapan hari ini dengan menawarkan pembacaan kembali sebuah naskah yang jauh lebih tua: Malangsumirang.

Umumnya ‘Malangsumirang’ (atau ‘Malang Sumirang’) dikaitkan dengan sebuah suluk yang konon ditulis Sunan Panggung. Tapi versi yang saya pergunakan saya petik dari Babad Jaka Tingkir. Babad atau ‘sejarah’ ini digubah (‘ginupita’) dengan titimangsa tanggal 22 bulan Sapar tahun 1748 (sangkakalanya, ‘Sang Mahamuni Anata Goraning Ati’). Dalam kalender Masehi, itu berarti 23 Agustus 1820. Itu menurut tafsir Moelyono Sastronaryatmo [1]. Tapi dalam telaahnya atas naskah ini, Nancy K. Florida menyimpulkan: ‘Boleh jadi teks ini digubah di Ambon pada tahun 1840-an’ – mungkin oleh Pakubuwana VI sendiri, yang waktu itu dibuang pemerintah Belanda ke kota di Maluku itu.[2]

Hampir tiap membaca babad, kita menghadapi persoalan yang sama: dalam teks yang dimaksudkan sebagai rekaman kejadian sejarah itu kita sering menemukan dua elemen yang saya sebut terdapat dalam laporan jurnalistik tadi. Dari sana kita pun menduga bahwa yang faktual telah berbaur dengan yang fiktif, dan deskripsi yang kita temukan mungkin sebenarnya hendak mengacu kepada sesuatu yang lain.

Dalam ambiguitas itulah sebuah teks memberi kesan ‘gerak’: ia bergerak terus menerus antara yang fantastis, (mungkin ilusi, mungkin imajinasi), dan yang ‘faktual’.

Menurut hemat saya, dengan melihat ‘gerak’ teks Malangsumirang – dengan melihatnya dalam proses ‘metamorfosis’ – ia akan lebih pas berbicara kepada kita di masa ini. Inilah masa ketika hukum, kaidah dan akidah, juga bahasa, bergulat dengan acuan-acuan yang tak henti-hentinya berubah, identitas-identitas yang luput mencakup. Atau, meminjam kata-kata Babad Jaka Tingkir yang menggambarkan Malangsumirang, inilah sebuah masa dengan perubahan yang datan kena pinethit kesitĂ©, ‘tak tertangkap ekornya karena demikian gesit’.

Kisah Malangsumirang sendiri, yang tak harus kita percayai sebagai seorang pelaku sejarah yang ‘nyata’, juga sebuah kisah metamorfosis.

III

Dalam Babad Jaka Tingkir, Sang Malangsumirang ditampilkan dalam bagian akhir pupuh XXI, dalam untaian tembang Mijil, kemudian dilanjutkan di pupuh berikutnya, dalam metrum Sinom. Tokoh ini akhirnya menghilang dalam pupuh XXIV, dengan metrum Dandhanggula.

Jika kita ikuti paparan dalam tiga pupuh itu, kita akan menemukan seorang hero yang juga sekaligus antihero.

Meskipun usianya baru 30, Malangsumirang telah dipanggil ‘Ki Sèh’. Dengan kata lain, ia memperoleh sebutan kehormatan, kombinasi antara ‘Ki’ dari tradisi ‘Jawa’ dan ‘Sèh’ (Syekh) dari tradisi ‘Islam’ yang datang dari Arab.

Pada usia 17, tokoh ini dikatakan sudah memperoleh ‘Ilmu Sejati’ dari Sunan Giri Prapèn. Ilmu itu telah dipelajarinya sampai tuntas. Ia pun menjalaninya, sebagimana dikatakan Babad Jaka Tingkir:

Manjing raga amangun tapané,
Anderpati maning wana werti,
Jurang-jurang sungil,
Pringganing aterjung.

Demikianlah ia mewujudkan tapanya, dengan tekad yang merasuki tubuh. Ia berani menempuh rimba yang angker, memasuki jurang yang dalam dan ngarai yang curam. Sebagai seorang muda, semangatnya bergelora. Dari proses ini ia jadi ‘teramat sakti’, ‘berani dan serba cakap’. Di antara manusia rata-rata, ia memang menonjol. Dan lebih dari semua itu, ia seorang yang mendapatkan ‘wahyu,’ [bahwa ia] ‘diiringi dan sama-sama sekehendak dengan Yang Maha Mengetahui’. Sinung wahyu dinulur sakapti/dènira Hyang Manon.

Juga dikatakan bahwa Ki Sèh telah berjalan mengelilingi pelbagai negeri. Perjalanan itu tanpa tujuan, tanpa ada yang dikehendaki. Walaupun demikian, atau mungkin justru karena demikian, pengembaraan itu disebut ‘mulia’, ‘jalan manusia unggul.’

Tapi nanti dulu. Hanya dalam beberapa baris kemudian, eulogia ini diinterupsi dengan gambaran yang berbeda. Di bagian berikutnya, Ki Sèh digambarkan sebagai perusuh. Nama ‘malang sumirang’ memang berarti, (menurut bausastra Jawa yang dihimpun W.J.S. Poerwadarminta), ‘hanya mengikuti kemauan sendiri’, nggugu karepĂ© dhĂ©wĂ©.3 Ia tak mau ikut bersembahyang bersama di masjid. ‘Disuruh salat, tak sudi’. Ia ‘congkak’, tak segan kepada siapapun. Dan ia provokatif. Ia punya seekor anjing yang mengacau: binatang yang dianggap najis oleh kebanyakan kaum Muslimin di Jawa ini disuruhnya masuk ke tempat peribadatan. Perilaku Malangsumirang ini berlangsung terus selama tiga tahun. Bahkan dilakukannya di ibu kota negeri, di Demak.

Mendengar kejadian itu, para petinggi agama, terutama para wali, berkumpul. Sunan Kudus, yang disebut sebagai kemenakan Malangsumirang, mencoba menginsyafkannya agar berada di jalan syariat. Tak berhasil. Maka para wali pun bersepakat, Malangsumirang harus dihukum mati, ‘karena menerjang/larangan syariat’, karena ia ‘mengaku jadi badan dari sang roh /dan bahkan mengaku jadi tempat Ilahi’‘-- angaku badan rokani/kabanjurĂ© angaken kahaning hyang’.[4]

Syahdan, pada suatu hari Senin, Malangsumirang pun dibakar hidup-hidup. Di alun-alun Demak, Mahapatih Wanasalam membangun unggun yang akan dinyalakan. Kata yang empunya cerita, Malangsumirang tak gentar. Ia bahkan ‘girang’ dan ‘menggebu’. Ia datang ke arena kematian itu, di mana Raja, waktu itu Sunan Drajat, beserta para ulama dan wali, adipati dan punggawa lain, duduk berkeliling untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman yang mengerikan itu. Alun-alun padat penonton. Dan Babad Jaka Tingkir menggambarkan kedatangan sang terhukum ibarat masuknya seorang aktor utama ke atas pentas:

…Malangsumirang wus prapti
milya lenggah anggèné wali sosoran.
Sonané alit binekta,
Ngadhep ing ngayunirèki,
Malangsumirang cahyanya,
Sumaringah ayem nenggih

(…Malang Sumirang tiba
Lalu duduk di tempat wali rendahan.
Ia membawa juga anjing kecilnya
yang menghadap di depannya,
Rona wajahnya cerah,
benar-benar tenang)

Maka Raja pun memerintahkan Sunan Kudus melaksanakan hukuman. Dalam Babad Jaka Tingkir, wali dari Kudus ini adalah ulama yang membunuh Sèh Siti Jenar dan menghabisi Ki Ageng Pengging. Tak ayal, ia pun menyalakan api, setelah mengatakan bahwa tindakannya berdasar hukum syariat. Ujarnya: ‘ijma’ dan ‘qiyas’ telah pasti, ‘tak boleh bergeming walau serambut’.

Mendengar ini Malangsumirang menjawab, agar unggun segera dinyalakan. Bila nanti api sudah berkobar, katanya, ia akan segera meloncat masuk ke dalamnya. Tapi sebelum itu ia minta kertas serta tinta. Ia ingin menuliskan wasiatnya, begitulah pesannya.

Permintaannya dipenuhi. Dan api pun berkobar.
Melanda minyak dan reranting
Menjilat-jilat mengerikan
Api membubung ke angkasa
Menggeram suaranya
Yang menyaksikan pun merinding
Tapi Sèh Malangsumirang bergegas
Pamit sambil memberi salam.
Ia segera naik
Ke atas unggun di utara beringin kurung.
Tak ketinggalan anjingnya
Yang ikut di belakangnya.
Setiba di atas unggun
Ia terjun ke dalam api
Dan sesampainya di tengah nyala
Ki Sèh duduk bersila
Si anjing menghadap di depan
Tak terjamah oleh api
Lalu Ki Sèh memerintahkan anjingnya
Supaya kembali mengambil
Kertas, pena, dan tinta
Yang ditinggalkan di tempat duduknya
Yang akan ia gunakan untuk menulis.
Si anjing pun dengan cekatan kembali
Tiba di tempat semula
Lalu mengambil kertas
Serta pena, tinta, yang ketinggalan
Dan masuk kembali ke julangan api
….
Malangsumirang pun segera
Mulai menulis
Di tengah-tengah kobaran api…[5]

Demikianlah tokoh cerita ini terus mengguratkan penanya, dengan tenang, sementara ‘Api berkobar sengit/Menjilat-jilat, menyala lama…’.

Di bagian ini, Malangsumirang berubah. Dalam metafomorfosis ia seorang martir. Ia syuhada. Tentu saja pertama-tama ia mengingatkan orang akan kisah Siti Jenar yang terkenal itu, yang lehernya dipenggal Sunan Kudus, tapi, setelah kepalanya lepas, kembali hidup. Dalam teks, di pupuh ke XXII, memang disebut bahwa sikap tenang Malangsumirang mengingatkan sang penulis akan ‘Pangeran Siti Jenar dahulu kala’. Tapi lebih dari itu, Babad Jaka Tingkir menyamakan hukuman bakar di Demak itu dengan hukuman yang sama atas ‘Sang Nabi Ibrahim, Kekasih Allah’. Nabi Ibrahim, kata sang penulis Babad, ‘Dibakar dalam tanur tinggi”, oleh “Namrud Sang Raja Zalim’.

Seperti Nabi Ibrahim pula, Malangsumirang tak termakan api. Dari unggun yang menyala itu ia muncul, setelah selesai menulis. Diiriingi anjingnya – yang membawa tulisannya – ia kembali duduk dalam majelis. Si anjing juga duduk, menjunjung tulisan tuannya, bersama tinta dan pena. Seluruh hadirin, dari Raja, para wali dan rakyat yang menonton, tercengang. Mereka melongo, kehilangan kata-kata, terhenyak. Lalu orang ramai pun berseru: ‘He, he, lihatlah, ini nyata! Sungguh, kenyataan menjelma!’

Maka, Ki Sèh bersalaman segera
Dengan Kangjeng Sunan Drajat
Serta para wali pemuka
Juga kepada Sri Baginda
Para wali pendeta mufti
Semua menyalaminya
Berdesakan dari belakang
Siapa pun yang ada di situ
Semua berhasrat dapat syafaat Sang Sakti
Ki Sèh Malangsumirang.
Segera Ki Sèh menghaturkan tulisan
Yang ditulisnya di dalam api
Penggalang diri itu
Diterima Sang Prabu
Sebagai jejak keramat zaman kelak
Pertanda yang dibangkitkan
Dalam lagu menjadi suluk
Yakni Suluk Malangsumirang,
Sebagai pijakan menuju ilmu rasa
Yang meliputi rasa.

Penulis tembang ini memuji suluk yang ditulis orang yang dihukum bakar itu. Karya itu mengandung ‘semu yang mengena’, yang menyentuh hati, dan dengan ‘kecermatan yang cermat memikat’.

Tapi apa sebenarnya isinya?

Dalam versi yang dikutip Babad Jaka Tingkir ini, kita hanya akan menemukan tiga bait dalam metrum Dandhanggula. Masing-masing bait mengandung beberapa kata dan kalimat dari Suluk Malangsumirang yang lebih terkenal, yang disebut sebagai karya Sunan Panggung. Tapi dua versi itu tidak persis sama.
Saya tak tahu kenapa perbedaan itu. Yang menarik ialah bahwa dalam Babad Jaka Tingkir, bukan tokoh Malangsumirang sendiri yang membaca teks suluk yang ditulis di tengah kobaran api itu. Yang membacanya seorang ‘juru pamaca’ yang disuruh Raja untuk mengumandangkannya ke publik hari itu juga.

Di dalam suluk ini, kita menemukan Malangsumirang yang berbeda. Di sini diperkenalkan Malangsumirang yang ‘menerjang aturan’, ‘anak muda yang tak tahu kesalahannya’, yang ‘menggelar wacana salah’, yang ucapannya ‘hanya kelakar’, lalulaya. Ia dungu dan tolol. Tapi ia bertingkah sewenang-wenang, congkak, dan kurang ajar.

Adakah deskripsi itu sebuah pengakuan dosa Malangsumirang? Yang dibaca di sana mirip dengan bagian-bagian awal suluk yang ditulis Sunan Panggung. Tapi tak semuanya. Tidakkah gambaran itu hasil manipulasi kekuasaan yang bertahta, yang diwakili seorang ‘juru baca’ atas titah Raja? Atau itu cara Ki Sèh merendahkan diri secara berlebihan, sengaja, hingga tak masuk akal? Sebab bagaimana mungkin seseorang yang telah membuktikan diri sakti, tak tersentuh api, mirip Nabi Ibrahim, disebut ‘dungu’ dan ‘kurang ajar’?
Saya tak dapat menemukan jawabnya. Apalagi tiba-tiba saja pembacaan suluk itu dihentikan oleh sang penulis Babad Jaka Tingkir. Alasan yang saya temukan dalam metrum Dhandhanggula itu menimbulkan tafsir yang berbeda-beda.

Nahanta rèh wuryaning arempit,
Sipta-ripta rikang pepingitan,
Pamèngeté sang manginté
Ing nalar tan sun ulur
Nalirah ing èlmu sakalir
Sun punggel tan sun gelar
Gelaring raras rum
Mung isun amburu kandha,
Wusnya telas pamacané ponang tulis,
Suluk Malangsumirang

Dalam tafsir Nancy K. Florida, versi Indonesia:
Sekian penyingkapan tabir rahasia
Kata menyurat yang tersembunyi
Peringatan Sang Maha Mengawasi
Pada nalar tak aku ulur
Penjelasan Ilmu menyeluruh
Kupenggal tak kugelar
Penggelaran semerbak mewangi
Namun aku memburu cerita
Purna pembacaan tulisan
Suluk Malangsumirang.[6]

Dalam tafsir Moeljono Sastronaryatmo:
Sampai di sini saja perihal rasa mulya itu (sejati, rasa dari ilmu-ilmu); tak akan kugelarkan akan halnya keterangan perihal sebab-sebab perkara-perkara itu; apa yang saya ucapkan itu hanya sebagai cerita aku sendiri belum begitu memahaminya; memang sebenarnya kuinginkan akan membuka hal-hal yang gaib, segala sesuatunya yang sulit dan remit, namun penalaranku terbatas’.[7]

Saya bukan pakar sastra dan bahasa Jawa; saya tak bisa memutuskan mana yang lebih tepat di antara kedua tafsir itu. Saya hanya bisa mengira-ira, ada rasa takut dan tak mampu yang tiba-tiba menyergap sang penulis Babad Jaka Tingkir. Ia tak mau memaparkan lagi secara lengkap Suluk Malangsumirang. Ia menyebut pamèngetĂ© sang mangintĂ©, ‘peringatan dari sang pengintai.’ Mungkin semacam perasaan diawasi Sang Penyensor. Tapi ia juga menyebut bahwa akal atau pemikirannya ‘tak saya kembangkan lebih jauh’ (nalar tan sun ulur) untuk mendapatkan keterangan sebab musabab pengetahuan seluruhnya (nalirah ing èlmu sakalir).

Ada juga kemungkinan bahwa bagian ini ditulis ketika penggubahnya, yang diduga hidup dalam pengasingan di kota Ambon, tak memegang teks Suluk Malangsumirang yang utuh. Ia keliru mengutip dan ia tak
sanggup melanjutkan sampai habis. Atau ia agaknya hanya ingin atau harus menyelesaikan ceritanya dengan segera: mung isun amburu kandha.

Walhasil, cerita ini berakhir tanpa penjelasan. Bahkan kabur. Di akhir cerita, Malangsumirang meninggalkan alun-alun, pergi dari orang-orang yang tadi pagi membakarnya hidup-hidup. Ia tak memilih tinggal di sekitar kraton dan para wali. Ia memilih pergi ke hutan lebat Kalampisan, tempat yang wingit, yang sepi, jauh dari manusia.

Dan di bait ke-23 pupuh ini, Malangsumirang sudah tak kita jumpai lagi.

IV

Kita telah melihat bagaimana Malangsumirang -- yang bisa diduga hanya tokoh fiktif -- adalah sosok dalam metamorfosis. Ia tampil sebagai seorang aulia dan segera setelah itu jadi perusuh yang layak dibakar hidup-hidup. Ia seorang yang dengan berani menghadapi penyiksaan dan jadi syuhada; ia disamakan dengan Nabi Ibrahim; tapi ia juga seorang yang kemudian dikatakan mengaku dirinya dungu, congkak, dengan pengetahuan yang masih mentah. Disebutkan di dalam api itu ia menulis serangkaian suluk yang cemerlang, tapi isinya ternyata hanya semacam pengakuan dosa.

Akhirnya cerita berhenti, setelah ia menghilang dari kehidupan sosial.

Bisa jadi itulah strategi tekstual penggubah Babad Jaka Tingkir. Dari penuturannya, tampak benar sang penulis hidup di sebuah zaman ketika ingatan masih mencekam tentang kisah-kisah hukuman mati
terhadap orang-orang alim yang dianggap melanggar syari’at. Ada Syekh Siti Jenar yang dipancung, ada Ki Babeluk di masa Kerajaan Pajang di abad ke-16, ada Syekh Among Raga, seorang santri keturunan Sunan Giri di masa Mataram di bawah Sultan Agung di abad ke-17; seperti Babeluk, Among Raga dihukum mati dengan ditenggelamkan. Tokoh sentral Serat Centhini ini konon dibenamkan di laut Selatan di dekat desa Tunjungbang. [8]

Cerita-cerita itu tampaknya berpengaruh kepada sikap terhadap Malangsumirang dan cara teks Babad Jaka Tingkir menampilkannya: kita menyaksikan sebuah metamorfosis terus menerus, seakan-akan sang penulis dan tokohnya ingin mengelak dari identifikasi yang tetap. Hasilnya sebuah ambiguitas yang justru mempertajam pesan. Pesan itu berupa sebuah pasemon, yang mengisyaratkan adanya ketegangan yang tak mudah antara tata politik, hukum, dan ajaran agama di satu pihak, dengan sesuatu yang tak terjangkau oleh semua lembaga dan doktrin itu di lain pihak.

Seperti umum diketahui di kalangan literati Jawa, kisah Malangsumirang bertaut dengan kisah Sunan Panggung. Orang ini disebut sebagai seorang bangsawan Demak, tapi juga dikatakan sebagai putra Sunan Kalijaga. Dalam cerita rakyat ia merupakan pembangkang para wali, meresahkan Sunan Bonang dan memusuhi Sunan Kudus.

Terutama yang disebut terakhir. Jika kita ikuti dalam Babad Jaka Tingkir, Sunan Kudus adalah penegak hukum syari’at dan kekuasaan politik Demak yang dengan siap menjalankan pembunuhan. Sunan Kudus hadir sebagai seorang ulama dengan pandangan legalistik yang tak hendak membiarkan ketidak-pastian (dan perbedaan) tafsir.

Dengan sendirinya, konfliknya dengan heterodoksi tak terelakkan. Sunan Panggung dikisahkan sebagai antagonisnya. Dalam salah satu legenda disebut, untuk menunjukkan perlawanannya kepada penjaga
tertib agama dari Kudus itu, Sunan Panggung memelihara dua ekor anjing yang diberi nama ‘Iman’ dan ‘Tokid’. Dan ia melepaskan kedua hewan itu ke dalam masjid Kudus.

Kontroversi akhirnya dimenangkan oleh Sunan Kudus -- atau lebih tepat: para wali, yang mendukung dan didukung penguasa politik di Demak. Sunan Panggung dihukum bakar. Cerita yang kemudian beredar mirip dengan kisah Malangsumirang yang kita ikuti di atas.

Kita tahu, tema ketegangan atau benturan dalam kehidupan agama itu membentuk sebuah dikotomi yang klasik: di satu sisi, penegak syari’at sebagai penyangga kekuatan iman; di seberangnya, mereka yang lebih cenderung ke tasawuf sebagai praxis ketulusan iman.

Di sini saya tak akan membahas cerita Malangsumirang dari thema yang sudah sering diperbincangkan itu. Yang ingin saya coba sajikan adalah sebuah gambaran tentang peran metafor dan metamorfosis – dan apa yang terjadi dalam lakon ini.

Metafor makin diakui perannya dalam pemikiran dewasa ini, antara lain dipertegas oleh karya-karya Nietzsche dan Derrida yang berpengaruh luas. Bahasa, yang sangat menentukan pandangan manusia tentang diri dan dunianya, makin tampak bukan terdiri dari konsep atau pengertian-pengertian yang pasti. Dunia tak bisa kita tangkap seluruhnya dengan gagasan, ide, atau formula, tak bisa denan bahasa yang lurus, persis, rasional. Ada sesuatu yang lain ketika manusia berbahasa. Metafor, itulah yang sebenarnya berperan. ‘Metafor,’ tulis I. Bambang Sugiharto dalam Post-Modernisme: Tantangan Bagi Filsafat, ‘pada akhirnya adalah cara berada manusia’. Metafor bukan cuma ‘bentuk semantik tertentu di antara berbagai bentuk lainnya,’ melainkan ‘cara dasar kita bergaul dengan realitas’. [9] Terutama dalam mengekspresikan dan mengkomunikasikan pengalaman religius.

Itu sebabnya kitab-kitab suci penuh dengan perumpamaan. Konsep dan rumus tak akan pernah memadai menangkap pengalaman yang penuh rasa gentar, takjub, terpesona, dan luluh ketika manusia dalam sentuhan Yang Maha Suci. Dengan kata lain, metafor menandai keterbatasan bahasa manusia – dan sekaligus kemampuannya mencoba mengatasi keterbatasan verbal.

Dalam menghadapi (dan mengatasi) keterbatasan bahasa itulah sang sufi sering memilih diam. Dalam diam, tanpa orang lain, ada ‘suwung’ -- .sebuah kata yang tak sepenuhnya bisa diterjemahkan sebagai ‘kosong’ atau ‘hampa’. Tapi seperti disebut dalam tembang yang konon ditulis Sunan Panggung, ‘ing suwungĂ© iku ana, ing ananĂ© iku surasa sejati, tan kena dèn-ucapna.’ Dalam suwung itu ada, dan dalam ada itu terkandung makna yang sebenarnya -- yang tak dapat diucapkan’.

Atau sang sufi mengerjakan ‘laku’, menjalankan panggilan hati. Di sini ngèlmu ditransformasikan dalam laku. Dengan laku, sang sufi membebaskan diri dari bahasa – yakni bahasa sebagai sarana komunikasi sosial. Hanya bila perlu ia bisa memakai bahasa, tapi lebih sebagai luapan ekspresi pribadi, yang umumnya unik, khas berlaku dari dan buat dirinya. Dengan ekspresi yang dirasakannya pas, sang sufi tak sekedar mengikuti bahasa yang lazim, bahasa yang merupakan hasil kesepakatan orang ramai. Ia memakai pasemon.

Mungkin pasemon adalah sinonim paling tepat untuk metafor. Kata ‘semu’ berarti ‘perlambang’, atau ‘alegori’ (crita pepindhan), tapi juga ‘gelagat’ yang terbit di ekspresi wajah seseorang[10]. Gelagat adalah isyarat. Dengan kata lain, metafor bukanlah sesuatu yang langsung terang benderang. Kata ‘bintang’ sebagai metafor, umpamanya, tentu tak bisa ditafsirkan persis dan pasti sebagai benda langit, sebagaimana ‘bintang’ dirumuskan dalam astronomi. Dalam astronomi, dalam ilmu-ilmu, yang dipakai adalah definisi yang
diterima secara universal. Sementara itu, metafor selalu mengelak dari definisi, dan selamanya lahir dari sebuah suasana kongkrit dan spesifik, hingga tak selamanya bisa dipakai dan diterima di mana saja, kapan saja.

Maka salah benar bila metafor diterima sebagai konsep. Tapi di situlah problemnya. Bagi mereka yang bersikap legalistis, kitab suci dan bahasa religius bukanlah inspirasi yang enersinya terbangun dari metafor. Bagi mereka, kitab suci sepenuhnya rumusan hukum yang disusun dengan konsep-konsep yang stabil dan berlaku umum. ‘Ijma’ dan ‘qiyas’ telah pasti, ‘tak boleh bergeming walau serambut’, kata Sunan Kudus.
Orang yang berpikir legalistis ini lebih menegaskan hidup keagamaan sebagai arsitektur sosial, dengan aturan yang pasti, dengan kepemimpinan yang jelas, dan dengan semangat untuk mengukuhkan konsolidasi terus menerus.

Dalam menghadapi Malangsumirang kita, memang begitulah sikap Sunan Kudus. Dalam wejangannya kepada orang yang dihukum bakar itu Sunan Kudus berpesan agar si pendosa jangan lagi
Melonggarkan simpul ikatan
Membuat pagar tak rapat lagi, merusak barisan,
Merubuhkan bendera

(Angendhoni bebundhelan,
Ngarangaken pager, ngalikabken baris,
Ndhoyongaken bandéra)

Tapi bagaimana mungkin? Malangsumirang adalah fenomena yang singular, unik, tak bisa dibandingkan, apalagi disamakan, dengan orang lain. Ia sebuah pribadi, tapi juga sebuah proses ‘menjadi’. Ia tak tersimpulkan. Ia tak bisa jadi bagian dari ikatan. Ia juga bukan sebilah dari deretan papan yang gampang dipasang rapat untuk pagar benteng. Agama baginya bukan barisan pasukan yang rampak; dirinya bukan pengibar bendera. Nama Malangsumirang sudah sejak awal dipilih untuk melambangkan anarki dan pembangkangan: nggugu karepĂ© dhĂ©wĂ©. Dalam bait-bait pertama ia telah dikatakan menempuh ‘tarek majnun rabbani’, jalan edan -- gila karena tergila-gila kepada Tuhan. Dengan kata lain, ‘gila’ dalam konteks keyakinan Malangsumirang ada di luar klasifikasi bahasa yang lazim. Sebagaimana ‘Islam’ dalam tembang Sunan Panggung:

Pangrungunisun duk raré alit, nora selam déning wong sembayang, nora selam déning anggèn, tan selam déning saum, nora selam déning kulambi, tan selam déning dhestar, ing pangrungunisun, éwuh tegesé wong selam, nora selam déning anampik amilih, ing karam lawan kalal
Menurut pemikiranku sejak kecil, Islam bukan karena sembahyang, Islam bukan karena pakaian, Islam bukan sebab puasa, Islam tidak dengan baju atau destar. Dalam pemikiran saya, makna Islam bukan karena menolak atau menerima yang haram atau yang haram.

Seorang yang hendak menegakkan agama sebagai komunitas yang kukuh, seorang yang mendukung tata sosial dan politik yang mengayomi komunitas itu, mau tak mau akan menganggap penolakan Sunan Panggung terhadap konsep dan bahasa yang lazim sebagai sikap ‘merusak barisan’. Ia layak dimusnahkan dalam api.

V

Tapi api, seperti yang dikisahkan berkobar di alun-alun Demak di abad ke-16 itu, tempat Malangsumirang duduk menulis puisinya, juga sebuah metafor. Atau tepatnya, sebuah pasemon dua arah.

Api bisa dilihat sebagai enersi yang destruktif. Tapi api itu juga enersi yang menggerakkan. Juga sinar. Sejarah berkali-kali mencatat, pembinasaan atas keyakinan, (atau karya filsafat, atau karya sastra), berakhir bukan dengan musnahnya keyakinan itu. Yang lebih sering terjadi adalah munculnya daya yang lain, daya baru, dari dalamnya. Tak jarang, sang korban pun – seorang tokoh, sebuah ajaran, sebuah karya sastra – jadi bercahaya; ia menarik perhatian dan memberi ‘pencerahan’.

Itu sebabnya kisah Syekh Siti Jenar hadir membayang-bayangi Babad Jaka Tingkir. Dan bisa diduga, pada gilirannya kematian Siti Jenar, juga Sunan Panggung, setidaknya eksekusi itu, mungkin hasil imajinasi yang dibayang-bayangi riwayat al-Hallâj.

Akhir hayat sufi ini sangat dramatis. Ia dianggap ‘kafir’ oleh fatwa Muhammad bin Dawud, ulama madzhab Dhahiri; al-Hallâj dituduh mengatakan ia telah bersatu dengan Allah. Pada tanggal 26 Maret 922, dalam usia 64, al-Husain bin al-Manshur al-Hallâj dieksekusi, setahap demi setahap[11]. Mula-mula dikerat putus hidungnya, lalu dipotong kaki dan tangannya, dan kemudian disalibkan. Ketika ia belum mati juga, lehernya dipenggal. Akhirnya jasadnya disiram minyak dan dibakar.

Dikisahkan sebelum ajal, ia sempat membaca sajaknya sendiri:

Bunuhlah aku, hai kepercayaanku / sungguh dalam pembunuhanku adalah hidupku
Matiku ada dalam hidupku / dan hidupku ada dalam matiku

Tak jelas bagaimana perjalanan riwayat al-Hallâj sampai ke Indonesia, khususnya Jawa Tengah, dan kapan pula mulai diterima di sini. Tapi tak sulit membayangkan bagaimana kejadian yang dahsyat itu berkesan dalam di kesadaran para santri dan bukan santri. Ketegangan dalam riwayat al-Hallâj -- antara mereka yang berpegang bahasa hukum yang tersusun sebagai sistem dan mereka yang lebih hidup dengan bahasa mistik yang ‘liar’ dan personal -- punya gema yang kuat di Jawa sejak abad ke-15. Kalimat terkenal ‘Ana al-Haqq’ dengan mudah dapat tanah subur di tengah tradisi yang sejak pra-Islam mengenal pelbagai versi pengalaman unio mystica. Baris kedua sajak al-Hallâj di atas juga bergaung dalam kata-kata ketika Malangsumirang menulis tembang di tengah api: ‘bisa mati jroning urip/urip sajroning pralina’.


Tentu saja gema riwayat al-Hallâj berkembang dengan bermacam-macam distorsi dan reinterpretasi. Bahwa di Jawa di masa lalu, sebagaimana di Aceh, telah terjadi prosekusi terhadap orang-orang yang dianggap ‘melanggar syari’at’ agaknya bukan sesuatu yang mustahil. Tapi saya tak tahu benarkah pernah terjadi hukum bakar hidup-hidup di sini. Yang jelas, cerita kematian al-Hallâj yang beredar di Indonesia adalah kematian di dalam api, dan mungkin itu yang jadi ilham bagi riwayat (atau legenda) Sunan Panggung.

Lagi pula api, selain dramatis, juga – seperti saya katakan di atas – merupakan metafor yang kuat, dengan arah makna yang beragam. Api adalah terang, dan terang itu bisa menyingkirkan nuansa. Batas antara hitam dan putih jadi terlampau tegas. Ambiguitas jadi sesuatu yang salah. Terang bisa merupakan sekutu Sang PangintĂ©: kekuatan yang mengintai, mengawasi, untuk menguasai sepenuhnya ruang yang ada. Dengan kata lain, api adalah sebuah pasemon dengan dinamikanya sendiri. Dinamika itu juga berlaku pada sang anjing sebagai metafor.

Hewan ini makhluk yang setia mengabdi, tapi juga dinista dan disingkirkan di sementara kalangan Muslim. Malangsumirang, atau Sunan Panggung, dikisahkan menyuruh anjingnya ikut menyiapkan dan kemudian membawa suluk yang ditulisnya. Tampak di sini bahwa sang pengarang tak hendak meletakkan karya itu sebagai bagian dari sastra adiluhung yang didukung tata dan nilai-nilai yang berkuasa. Karyanya bergerak di bawah, di lapisan yang dihinakan, bukan di majelis orang-orang di atas. Ia subversif.

Namun di sinipun sebuah metamorfosis bisa terjadi. Dalam kesetiaannya, sang anjing cenderung menjunjung karya sastra yang diterimanya sebagai lambang kebesaran. Itu terjadi setelah Malangsumirang, tuannya, keluar dari api dengan disambut bagaikan sang pemenang. ‘Sang anjing pun duduk sembari membawa laiknya tanda kebesaran: Tulisan, tinta, dan pena’, demikian dikisahkan Babad Jaka Tingkir. Di momen itu, sebuah sastra subversif berada di ambang perubahan menjadi ‘sastra agung’, di mana mereka yang rendah di bawah hanya ikut ngampil-ampil.

Tapi untunglah, cerita tak berhenti di sini. Pembacaan suluk itu dihentikan, dan kemudian Malangsumirang berangkat ke dalam hutan yang tak berpenghuni. Dalam hutan itulah ia menjadi yang sendirian, yang singular, yang tak dihimpit oleh desakan ‘merayakan komunitas’.12 Dalam kesendirian itu – di gubuk kecil, tanpa hasrat dan hubungan-hubungan kekuasaan – persentuhan antara makhluk dengan Sang Khalik bisa berlangsung leluasa, terbebas dari hukum-hukum yang dibuat untuk orang ramai, bukan untuk pribadi yang unik. Ia tak akan lagi terjebak dalam label atau identitas manapun. Ia sepenuhnya terbuka untuk metamorfosis.

Dengan hutan Kalampisan sebagai pasemon terakhir, kita melihat bagaimana metafor memungkinkan terjadinya metamorfosis tokoh (atau lebih tepat pemaknaan atas tokoh itu) dalam sebuah cerita.
Dengan demikian, sebuah narasi tak berhenti dan beku, tidak sebagaimana ditafsirkan oleh mereka yang tak mau mengakui tenaga metafor dalam sebuah teks.

Memang, dalam derajat tertentu, metafor bisa dianggap bukan buah dorongan kreatif yang asli, karena ia berperan merepresentasikan – dalam arti hanya mewakili – sesuatu yang lain, juga suatu arti, suatu makna; ia bukan sesuatu yang mandiri dan bergerak bebas, tanpa beban, seakan-akan sama sekali baru, lahir dari ketiadaan.

Deleuze, misalnya, mempertentangkan metafor dengan metamorfosis dan menolak peran baiknya.13 Tapi mustahil, juga bagi prosa Deleuze sendiri, membebaskan diri dari metafor. Bila kita ingin agar sebuah karya juga mempunyai kemampuan emansipasi, yang harus dijaga ialah agar sebuah metafor (ya, bahkan seluruh kehidupan bahasa) mampu tak terjerat dalam satu pemaknaan yang dikukuhkan oleh kekuasaan. Artinya, agar ia masih bisa berbaur dengan yang remang, yang gelap, yang antara ‘ya-dan-bukan’. Artinya ia harus menjadi pasemon: sebuah isyarat, bukan sebuah definisi.

Di dalam keadaan itulah kita menemukan dinamika makna – yang bergerak dalam metamorfosis. Jika kita lanjutkan cerita kita dari Babad Jaka Tingkir, kita akan bisa menemukan apa yang saya pernah sebut sebagai ‘paradigma Pengging’.14 Dalam babad ini, Ki Ageng Pengging menolak untuk menghadap penguasa di Demak. Ia tak ingin dijebak dalam satu posisi. Ia tak ingin diberi identitas oleh sebuah tahta. Ia adalah pangeran dan juga petani, ‘gusti’ dan juga ‘kawula’, berada dalam ‘sepi’ dan juga ‘ramai’. Dan ia menolak untuk berhenti; ia menolak memilih untuk hanya jadi satu hal saja.

Pengging menunjukkan ketegangan yang tak mudah antara tata politik, hukum, dan ajaran agama di satu pihak, dengan sesuatu yang tak terjangkau oleh semua lembaga dan doktrin itu di lain pihak. Pengging juga menunjukkan ada yang tetap bisa bebas, (dan harus bebas) dari bahasa, kaidah dan akidah yang datang dari luar, dari atas – bebas dari kekuasaan dan ajaran yang membuat makna berhenti dan beku.
Ia bisa jadi tauladan kita di hari ini.



Jakarta, 2 Desember 2011


(Endnotes)

1. Moelyono Sastronaryatmo (penerjemah), Babad Jaka Tingkir – Babad Pajang, (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981), hal. 5. Dari kalimat dalam babad itu: ‘Anggustus/kaping tigalikur winarni,/sangkala Trus Sinembah, Sariraning Ratu/).

2. Florida, Nancy K, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial, (terjemahan atas Writing The Past, Inscribing the Future), (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal. 101. Dalam paparan ini, saya menggunakan karya ini, bersama terjemahan Moelyono, untuk sumber utama

3. Poerwadarminta, W.J.S., (dengan C.S. Hardjasoedarma dan J.Chr. Poedjasoediro), Baoesastra Djawa (Groningen, Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij, 1939), hal. 288.

4. Umumnya saya meminjam terjemahan bahasa Indonesia dalam Menyurat Yang Silam, tapi saya memakai terjemahan sendiri dalam kalimat ini. Versi Menyurat: ‘Mengaku berbadan rohani/Dan berlanjut mengakui keberadaan Ilahi’.

5. Terjemahan ini saya kutip dari Menyurat Yang Silam, dengan perubahan di sana-sini untuk melancarkan cerita.

6. Menyurat, hal. 223-224.

7. Moelyono Sastronaryatmo, hal. 107.

8. Lihat Ahmad Syafii Mufid, dalam Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 28-29. Lihat juga telaah Soebardi, ‘Santri-religious elements as reflected in the Book of Tjentini’, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 127 (1971), no: 3, Leiden, 331-349.

9. Terbitan Kanisius, (Yogyakarta: 1996), hal. 120.

10. Poerwadarminta, hal. 555. Mengenai ‘semu’ dan ‘pasemon’, Florida membahasnya dalam Menyurat, hal. 311-319.

11. Saya kutip dari makalah Mohamad Guntur Romli, ‘Al-Hallâj dan “Agama Salib,’ (belum diterbitkan): mungkin satu-satunya telaah sejarah yang cukup lengkap meskipun ringkas tentang sufi termashur itu dalam bahasa Indonesia.

12. ‘Celebration of community’, kata-kata terkenal Ernest Gellner, dalam Postmodernism, Reason and Religion. (London: Routledge, 1996), hal. 3.

13. Leclerc, Jean Jacques, Deleuze and Language, (New York: Palgrave, 2002, hal. 25 dst. Pengertian ‘metamorfosis’ saya berbeda dari Delezue. Bagi Deleuze, dengan metamorfosis kata tak lagi mengacu dan mewakili satu obyek; ia jadi obyek sendiri. Dengan demikian kata dibebaskan dari beban arti – satu hal yang menjelaskan kenapa Deleuze mengambil karya-karya Samuel Beckett dan James Joyce sebagai tauladan. Bagi saya, metamorfosis adalah dinamika makna, yang membuat sebuah cerita tak berhenti di satu tafsir.

14. Florida, hal. xvii.


Sumber: Tempo.co








Pengulangan, menurut Hegel, memainkan peran penting dalam sejarah: ketika sesuatu terjadi hanya sekali, itu bisa dianggap sebagai satu kebetulan, sesuatu yang mungkin bisa dihindarkan jika saja ditangani dengan cara yang berbeda; tapi ketika kejadian yang sama terulang, itu menandai terjadinya sebuah proses historis yang lebih mendalam. Ketika Napoleon kalah di Leipzig pada 1813, itu tampak sebagai sekedar kesialan; ketika dia kalah lagi di Waterloo, menjadi jelas bahwa kejayaannya telah usai. Hal yang sama juga berlaku pada krisis keuangan yang tengah berlangsung. Pada September 2008, ini dilihat sebagai sebuah anomali yang bisa dibenahi dengan regulasi yang lebih baik, dsb; sekarang dengan tanda-tanda pengulangan krisis keuangan yang telah ada, jelas bahwa kita tengah menghadapi sebuah fenomena struktural.

Kita diberitahu secara terus menerus bahwa kita sedang berada dalam krisis hutang, dan bahwa kita semua harus bersama-sama menanggung beban serta mengencangkan ikat pinggang. Semuanya, kecuali mereka yang (sangat) kaya. Ide untuk membebani mereka dengan lebih banyak pajak dianggap sebagai sebuah hal yang tabu: kalau itu dilakukan, menurut pandangan mereka, para orang kaya tidak akan punya keinginan untuk berinvestasi, semakin mengurangi terciptanya lapangan pekerjaan, dan kita akan semakin menderita. Satu-satunya cara agar kita bisa selamat dari situasi sulit ini adalah dengan cara membuat si miskin menjadi lebih miskin dan si kaya menjadi lebih kaya. Apa yang harus dilakukan si miskin? Apa yang bisa mereka perbuat?

Meskipun kerusuhan di Inggris dipicu oleh penembakan terhadap Mark Duggan, semua orang sepakat bahwa kerusuhan ini menandai sebuah ketidakpuasan yang lebih mendalam – tapi ketidakpuasan macam apa? Seperti halnya dengan kerusuhan di pinggiran Paris pada 2005, para perusuh di Inggris tidak membawa suatu pesan. (Ada perbedaan yang jelas dengan demonstrasi mahasiswa besar-besaran pada November 2010, yang juga berujung dengan kerusuhan. Para mahasiswa membawa pesan yang jelas bahwa mereka menentang rencana reformasi pendidikan tinggi.) Inilah kenapa sulit untuk membayangkan kerusuhan di Inggris dalam kerangka Marxist, sebagai sebuah contoh dari munculnya subyek revolusioner; mereka justru lebih sesuai dengan apa yang disebut dalam konsep Hegelian sebagai ‘rabble’, mereka yang berada diluar ruang sosial yang ada, yang hanya bisa menunjukkan ketidakpuasan melalui ledakan ‘irasional’ berupa kekerasan yang destruktif – apa yang disebut Hegel sebagai ‘negativitas abstrak’.

Ada sebuah kisah lama tentang seorang pekerja yang dituduh melakukan pencurian: setiap sore, ketika dia meninggalkan pabrik, gerobak yang dia dorong diperiksa dengan cermat. penjaga tidak menemukan apa-apa; gerobak itu selalu kosong. Akhirnya, baru diketahui: yang dicuri oleh si pekerja itu adalah gerobak itu sendiri. Para penjaga tidak memahami fakta yang sangat gamblang, seperti halnya para pengamat yang mengomentari kerusuhan. Kita diberitahu bahwa ambruknya rejim Komunis pada awal 1990an menandakan akhir dari ideologi: masa dimana proyek ideologis besar yang berujung pada bencana totaliter sudah berakhir; kita sudah memasuki sebuah era politik baru yang rasional dan pragmatis. Kalau memang cara hidup kita di era post ideological ini benar diihat dari berbagai sisi nalar, bisa dilihat pada ledakan kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini. Ini adalah sebuah protes di titik nol, aksi kekerasan tanpa tuntutan. Dalam upaya putus asanya untuk memahami arti dari kerusuhan ini, para sosiolog dan penulis editorial mengaburkan teka-teki yang mucul dari kerusuhan tersebut.

Para pendemo, sekalipun adalah kelompok miskin dan kaum terpinggirkan, tidak benar-benar diambang kelaparan. Masyarakat dengan kondisi yang lebih buruk, ditambah dengan penindasan fisik dan ideologis, telah mampu mengorganisir diri menjadi kekuatan politik dengan agenda yang jelas. Fakta bahwa para perusuh tidak memiliki agenda dengan sendirinya adalah sebuah fakta yang berarti sesuatu: memberitahu kita satu hal besar tentang keterpurukan ideology politi kita serta menandakan bentuk masyarakat sekarang, masyarakat yang merayakan kebebasan memilih, namun pada saat yang sama satu-satunya alternatif yang ada untuk mencapai kesepakatan demokratis adalah dengan sebuah tindakan yang membabi buta. Oposan dalam sistem tidak lagi bisa dijadikan pilihan nyata, malah sebuah proyek utopia. Mereka hanya bisa mewujud dalam bentuk ledakan tanpa-makna. Lantas, apa gunanya kita mengagungkan kebebasan untuk memilih jika satu-satunya pilihan yang tersedia hanya antara mengikuti aturan atau kekerasan yang merusak diri?

Alain Badiou berpandangan bahwa kita hidup di ruang sosial yang semakin dirasakan sebagai ‘nir-duniawi’: dalam ruang semacam itu, protes hanya bisa mewujud dalam bentuk kekerasan tanpa-makna. Mungkin ini adalah bahaya terbesar dari kapitalisme: sekalipun ia mampu menjangkau seluruh dunia, tapi dia menopang sebuah konstelasi ideologi ‘nir-duniawi’, dimana orang dirampas kemampuannya untuk menemukan makna. Pelajaran mendasar dari globalisasi adalah bahwa kapitalisme bisa menyesuaikan dirinya dengan semua peradaban, dari peradaban Kristen sampai Hindu atau Budha, dari dunia Barat hingga Timur: tidak ada ‘pandangan-hidup kapitalis’, tidak ada ‘peradaban kapitalis’ yang sejati. Dimensi global kapitalisme hanya menampilkan kenyataan tanpa-makna.

Kesimpulan pertama yang tergambar dari kerusuhan itu adalah bahwa reaksi terhadap kerusuhan ini baik kalangan konservatif ataupaun liberal tidaklah memadai. Reaksi dari kaum konservatif tentu saja gampang ditebak: tidak ada pembenaran terhadap vandalisme semacam itu; kita perlu memakai segala cara untuk memulihkan keadaan; guna mencegah ledakan semacam yang lebih luas, kita tidak lagi memerlukan dan tolong menolong, namun lebih banyak disiplin, kerja keras dan rasa tanggungjawab. Apa yang salah dari pandangan semacam ini bukan hanya mengabaikan situasi masyarakat yang putus asa yang telah mendorong para pemuda kearah ledakan kekerasan ini, namun, dan mungkin yang lebih penting lagi, mengabaikan cara bagaimana ledakan ini menggemakan dasar pemikiran tersembunyi dari ideologi konservatif itu sendiri. Ketika, pada 1990an, kalangan Konservatif melancarkan kampanye ‘kembali ke asal’, pesan tambahannya yang nyeleneh dibeber oleh Norman Tebbit: ‘Manusia bukan hanya makluk sosial, namun juga mahluk territorial; sudah menjadi bagian dari agenda manusia untuk memuaskan nalurinya akan kesukuan dan teritori’. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan dengan ‘kembali ke asal’: lepas dari kerangkengnya sifat barbar manusia yang tersembunyi dibalik topeng masyarakat borjuis yang beradab, guna memuaskan ‘nafsu’ barbarnya. Pada 1960an, Herbert Marcuse mengajukan konsep ‘desublimasi represif’ guna menjelaskan tentang ‘revolusi sexual: nafsu manusia bisa saja di-desublimasi, memungkinkan terjadinya kebebasan, tapi tetap dalam kendali kapitalis – misalnya, industri pornografi. Di jalanan Inggris selama kerusuhan berlangsung, yang kita lihat bukan manusia yang terpuruk menjadi binatang, namun bentuk ‘binatang’ yang sudah ditelanjangi sebagai hasil dari ideologi kapitalis.

Sementara di kalangan liberal Kiri, yang juga tidak kalah mudah ditebaknya, tetap kukuh dengan mantra mereka akan perlunya program sosial dan proyek integrasi, bahwa sikap acuh yang selama ini berlangsung telah merampas peluang ekonomi dan sosial dari generasi kedua dan ketiga kaum imigran: kerusuhan dengan kekerasan adalah satu-satunya cara menyampaikan ketidakpuasan mereka. Bukannya terlena dengan fantasi balas dendam, kita perlu lebih berusaha untuk memahami penyebab yang lebih mendalam dari kerusuhan ini. Bisakah kita bahkan membayangkan bagaimana rasanya menjadi generasi muda yang hidup di kawasan miskin dan bercampur secara rasial, yang selalu tanpa alasan dicurigai dan dilecehkan oleh polisi, yang tidak hanya menganggur tapi seringkali sama sekali tidak bisa dipekerjakan, tanpa harapan akan masa depan? Akibatnya, keadaan yang harus mereka jalani menyebabkan mereka mau tidak mau harus turun ke jalan. Namun, yang tidak lengkap dari penjelasan semacam ini adalah, dia hanya menjelaskan penyebab obyektif dari kerusuhan. Berbuat rusuh pada dasarnya adalah membuat pernyataan subyektif, secara implisit menjelaskan bagaimana posisinya dalam kondisi obyektif tertentu.

Kita hidup di era yang sinis, dan mudah membayangkan seorang pendemo yang, ketika kepergok tengah menjarah dan membakar toko dan ditanya alasannya, akan menjawab dengan bahasa yang dipakai oleh kalangan pekerja sosial dan sosiolog, mengutip masalah hilangnya mobilitas sosial, meningkatnya ketidakpastian, meredupnya otoritas paternal, kurangnya kasih sayang ibu semasa kecil. Dia sadar apa yang dia lakukan, tapi tetap saja dia lakukan.

Akan sia-sia untuk menarik kesimpulan dari dua reaksi ini, dari kalangan konservatif dan liberal, mana yang lebih buruk: seperti yang mungkin akan dikatakan Stalin, keduanya buruk, dan keduanya juga mengandung peringatan dari kedua kubu bahwa bahaya sebenarnya dari kerusuhan itu terletak pada reaksi rasis seperti biasanya dari ‘kelompok silent majority’. Salah satu bentuk reaksinya adalah kegiatan ‘kesukuan’ dari masyarakat lokal (Orang Turki, Karibia, Sikh) yang segera membentuk kelompok peronda guna melindungi daerah mereka. Apakah para pemilik toko merupakan golongan borjuis kecil yang membela milik mereka melawan protes yang tulus, meski memakai kekerasan, terhadap sistem yang berkuasa; atau apakah mereka merupakan perwakilan dari kelas pekerja, melawan kekuatan disintegrasi sosial? Pun disini kita perlu menolak dorongan untuk memihak. Yang sebenarnya adalah bahwa konflik yang terjadi merupakan pertarungan antara dua kutub dari kelas yang terpinggirkan; mereka yang berhasil dalam sistem yang ada melawan mereka yang merasa terlalu frustasi untuk terus berupaya. Kekerasan dari para perusuh hampir seluruhnya diarahkan kepada golongan mereka sendiri. Mobil-mobil yang dibakar dan toko-toko yang dijarah tidak terletak di daerah kaya, tapi di lingkungan para perusuh sendiri. Konflik yang terjadi bukanlah antara kelas yang berbeda di masyarakat; itu adalah, dan dalam bentuknya yang paling radikal, konflik antara satu kelompok masyarakat dengan sesame kelompoknya, antara mereka bisa kehilangan segalanya, dan mereka yang tidak takut kehilangan apapun; antara mereka yang tidak memiliki peran di masyarakat, dan mereka yang taruhannya paling tinggi.

Zygmunt Bauman menyebut kerusuhan sebagai tindakan ‘konsumen yang defektif dan terdiskualifikasi’, yang lebih dari apapun, mereka adalah perwujudan dari hasrat konsumeris yang secara kejam mewujud ketika tidak mampu merealisasikan diri secara wajar – dengan cara berbelanja. Karena itu, peristiwa ini juga mengandung protes yang murni, dalam bentuk tanggapan yang ironis terhadap ideologi konsumeris. ‘Kalian mengajak kami untuk membeli sambil pada saat yang sama merampas dari kami kemampuan untuk membeli – karenanya kami melakukannya dengan satu-satunya cara yang kami bisa! Kerusuhan itu adalah pertunjukan dari kekuatan material dari ideologi – yang, rasanya, begitu berlebihan, di masyarakat yang katanya ‘masyarakat pasca-ideologis’. Dari sudut pandang revolusioner, yang salah dari kerusuhan itu adalah bukan kekerasannya, namun fakta bahwa kekerasan itu tidak benar-benar mewujud dengan sendirinya. Itu adalah bentuk kemarahan dan .keputusasaan yang berkedok kekerasan; itu adalah rasa dengki yang berkedok pawai yang megah.

Kekerasan itu seharusnya tidak ditempatkan dalam kaitannya dengan bentuk kekerasan yang lain, yaitu oleh kalangan mayoritas liberal hari ini dilihat sebagai ancaman terhadap jalan hidup kital; serangan teroris dan bom bunuh diri. Dalam kedua kasus, kekerasan dan kontra-kekerasan terjebak dalam lingkaran setan, masing-masing memicu kekuatan yang dia coba lawan. Dalam kedua kasus, kita menghadapi passages Ă  l’acte buta, dimana kekerasan adalah pengakuan implisit akan ketidakmampuan. Perbedaannya adalah, berbeda dengan kekerasan di Inggris atau Paris, serangan teoris dilakukan untuk melayani Kebenaran tertinggi yang didapat melalui agama.

Tapi bukankah pergolakan di dunia Arab merupakan bentuk perlawanan kolektif yang tidak mengandung kekerasan yang merusak dan fundamentalisme agama? Sayangnya, Musim Panas di Mesir pada 2011 akan dikenang sebagai penanda dari akhir sebuah revolusi, sebuah masa ketika potensi emansipatorisnya pupus. Penggali kuburnya adalah militer dan kalangan Islamis. Wujud pakta antara militer (yaitu tentara Mubarak) dan Islamis (yang terpinggirkan pada bulan-bulan awal pergolakan, tapi sekarang semakin mendapat momentum) semakin terang; kaum Islamis menolerir kewenangan istimewa tentara dan sebagai imbalannya akan mengamankan hegemoni ideologis. Disini yang menjadi pecundang adalah kaum liberal pro-Barat, yang terlalu lemah – sekalipun mendapat dukungan dana dari CIA – untuk mendorong demokrasi, disamping sebagai pelaku utama dari peristiwa di musim semi itu, kekuatan sekuler kiri yang muncul dan mencoba untuk membangun jaringan organisasi masyarakat sipil, mulai dari serikat pekerja hingga kaum feminis. Situasi ekonomi yang semakin memburuk juga cepat atau lambat akan menarik kaum miskin, yang secara umum tidak terlibat dalam demonstrasi di musim semi itu, untuk ikut turun kejalan. Akan sangat mungkin terjadi pergolakan baru, dan pertanyaan sulit yang dihadapi oleh subyek politik Mesir adalah siapa yang akan mampu mengarahkan kemarahan dari kaum miskin? Siapa yang mampu merubahnya menjadi sebuah program politis: apakah kaum sekuler Kiri atau golongan Islamis?

Sebagian besar reaksi dari opini public di Barat terhadap pakta antara golongan Islamis dan militer, tidak diragukan lagi merupakan bukti gemilang dari kebajikan sinis: kita akan diberitahu jika, seperti halnya yang jelas nampak dari kasus di Iran, pergolakan rakyat di negara-negara Arab akan selalu berujung dengan Islamisme militan. Mubarak akan tampak sebagai pihak yang tidak terlalu jahat – lebih baik berteman dengan setan yang kita kenal daripada bermain-main dengan emansipasi. Menghadapi sinisisme semacam ini, kita perlu dengan tanpa-syarat tetap setiap terhadap inti emansipatoris-radikal dari pergolakan di Mesir.

Tapi kita juga perlu menghindari tantangan narsisisme akan Cita-cita yang kalah: adalah mudah untuk mengagumi keindahan sublime dari pergolakan yang gagal. Golongan Kiri hari ini menghadapi masalah ’kepastian negasi’: rejim baru seperti apa yang akan menggantikan rejim lama, ketika antusiasme sublim dari pergolakan awal sudah berakhir? Dalam konteks ini, manifesto dari kelompok demonstran di Spanyol, indignados, yang dikeluarkan setelah demonstrasi yang mereka adakan pada bulan Mei, menjadi indikasinya yang jelas. Hal pertama yang mencolok mata adalah nada yang jelas-jelas apolitis: ’Sebagian dari kami menganggap diri sebagai kelompok progresif, sementara yang lain tergolong konservatif. Beberapa dari kami beragama, yang lain tidak. Beberapa dari kami jelas memiliki tujuan ideologi yang pasti, sementara yang lain apolitis, tapi kami semua merasa peduli dan marah terhadap gambaran politik, ekonomi dan sosial yang kami berlangsung di sekitar kami: korupsi diantara para politisi, pebisnis, bankir, yang membuat kita tak berdaya, tanpa suara.’ Mereka melakukan protes atas nama ’kebenaran yang tak terelakkan bahwa dimasyarakat kita seharusnya menyediakan: hak atas perumahan, pekerjaan, kebudayaan, kesehatan, pendidikan, partisipasi politik, perkembangan pribadi dan hak menikmati hidup yang sehat dan sejahtera.’ Dengan menolak kekerasan, mereka menyerukan akan sebuah ’evolusi etis. Bukannya menempatkan uang diatas kemanusiaan, kita seharusnya menjadikannya pelayan bagi kita. Kita adalah manusia, bukan barang. Saya bukan produk dari apa yang saya beli, kenapa saya beli dan dari mana saya beli’. Siapa yang akan menjadi agen dari revolusi ini? Kelompok indignados menolak seluruh kelas politik, baik kanan maupun kiri, sebagai kekuatan yang korup dan dikuasai oleh nafsu kekuasaan, namun tetap saja manifesto itu berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada – siapa? Bukan kepada rakyat sendiri: indignados memang masih tidak (belum) mengklaim bahwa akan ada pihak lain yang mewakili mereka, bahwa mereka sendirilah yang akan menjalankan perubahan yang mereka tuntut. Dan inilah kelemahan fatal dari pergolakan yang terjadi baru-baru ini: mereka mewakili sebuah kemarahan otentik yang tidak mampu ditransformasi menjadi sebuah program perubahan sosio-politik yang nyata. Mereka menampilkan semangat berontak tanpa revolusi.

Situasi di Yunani tampak lebih menjanjikan, mungkin karena dipicu oleh faktor tradisi pengorganisasian-diri progresif yang muncul belakangan (yang di Spanyol sudah luntur sejak jatuhnya rejim Franco). Namun di Yunani sekalipun, gerakan protes ini menunjukkan gejala keterbatasan dari: para pemrotes membuat sebuah ruang kebebasan egalitarian tanpa sebuah otoritas terpusat yang mengaturnya, sebuah ruang public dimana semua orang diberikan waktu yang sama untuk berbicara dan sebagainya. Ketika para pemrotes mulai memperdebatkan apa yang akan dilakukan selanjutnya, bagaimana agar beranjak dari hanya sekedar protes, consensus mayoritas yang muncul adalah bahwa apa yang diperlukan bukannya sebuah partai baru atau upaya langsung untuk mengambil alih kekuasaan negara, namun sebuah gerakan yang tujuannya adalah untuk memberikan tekanan terhadap partai-partai politik yang ada. Ini terang saja tidak cukup untuk mulai menjadikan reorgansiasi ulang kehidupan social. Agar itu bisa terjadi, kita perlu sebuah lembaga yang kuat yang mampu untuk mengambil keputusan cepat dan menerapkannya dengan segala konsekuensinya.


Slavoj Žižek










Apa yang menjadikan bangsa-bangsa Barat lebih unggul ketimbang bangsa-bangsa Timur? Pasar bebas, kata Kishore Mahbubani, dan sesudah itu penguasaan sains serta teknologi. Itulah yang dituturkan penulis buku Dapatkah Orang Asia Berpikir? Dia juga baru-baru ini meluncurkan buku Asia Hemisfer Baru Dunia. Dalam buku ini, dia menyebutkan ada beberapa elemen lain di luar dua hal yang telah mengguncang dunia itu, tapi pasar bebas serta sains dan teknologi menjadi warisan yang tampaknya mulai direbut oleh dua kekuatan yang tengah menanjak: Cina dan India.

 Kekuatan sumber daya insani Cina terus meningkat--jumlah doktornya naik berkali lipat dalam beberapa tahun saja. Produknya menembus berbagai pasar dunia. Cap "diproduksi di Cina" sudah tertera pada produk bermerek Jepang. India sangat dikenal dengan Bangalore-nya--semacam Lembah Silikon. Nama-nama India bertengger di jajaran profesor di universitas terkemuka Eropa dan Amerika Serikat. Sebuah pergerakan kejayaan sains dan teknologi dari Eropa dan Amerika menuju Asia disebut-sebut tengah berlangsung.

Di luar ikhtiar yang tampak jamak, mendongkrak jumlah ilmuwan yang pintar di banyak bidang, Cina menerapkan strategi yang tak kalah penting: menjadikan "literasi (melek) sains" (science literacy, scientific literacy) sebagai program negara. Cina telah memulainya lima tahun silam dengan mencanangkan Rencana 15 Tahun untuk meningkatkan jumlah penduduk yang melek sains.

Setidaknya ada dua tujuan utama yang hendak dicapai dengan program itu. Pertama, mendongkrak kekuatan Cina dalam sains ataupun peran yang dimainkan sains dalam pembangunan di Cina. Kedua, memberi warga Cina keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan pemahaman mengenai sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. 

Targetnya jelas. Pada 2010, pemahaman penduduknya terhadap sains diharapkan sudah setara dengan yang dicapai oleh bangsa-bangsa industri pada 1980-an. Dan pada 2020, negara ini menginginkan tingkat literasi sains penduduk mereka naik hingga menyamai Barat pada 2006. Rencana jangka panjang ini dalam pertimbangan pemerintah Cina akan mampu mentransformasikan Cina menjadi bangsa yang kuat, kaya akan sumber daya manusia. Empat kelompok kunci yang ditargetkan adalah anak-anak, pekerja kota, pejabat pemerintahan, dan pegawai sipil.

Bagaimana negara industri yang dikejar Cina? Pada 1988, di Inggris dilangsungkan survei untuk mengukur pengetahuan dan sikap ilmiah di kalangan orang awam. Di samping isu, yang terkait dengan proses-proses saintifik, ada pertanyaan seperti, "Apakah matahari mengelilingi bumi" atau "Bumi yang mengelilingi Matahari"? Hasil survei yang dipublikasikan di majalah sains Nature sungguh mengejutkan pemerintah Inggris. Meski kebanyakan mereka mengatakan sangat berminat pada sains, ternyata lebih dari 30 persen responden meyakini bahwa matahari mengelilingi bumi.

Tiga tahun sebelum di Inggris, di Amerika diadakan survei sejenis dengan responden orang dewasa. Survei ini hendak mengetahui bagaimana pemahaman publik tentang istilah-istilah ilmiah yang sudah jamak, seperti molekul dan radiasi. Hasilnya, hanya 5 persen responden yang dapat dianggap sebagai melek secara saintifik. Angka ini turun 2 persen dibanding survei serupa yang dilakukan pada 1979. Padahal, pada 1975-1985, ilmuwan Amerika memenangi lebih dari separuh Hadiah Nobel untuk kategori sains.

Data itu mengkonfirmasi dugaan para ilmuwan Inggris waktu itu bahwa kebanyakan orang memiliki pengetahuan yang sangat sedikit mengenai sains--sebuah defisit pengetahuan.

Kesenjangan yang tajam antara pengetahuan yang dimiliki ilmuwan dan yang dipunyai publik menjadi isu yang menarik perhatian pengambil kebijakan publik. Di Inggris, pemahaman publik mengenai sains menjadi isu pemerintahan yang kritis. 
Sebuah White Paper, berjudul Releasing Our Potential, dikeluarkan lima tahun setelah survei di Inggris. Tujuannya untuk mencapai perubahan kultural: komunikasi, interaksi, serta pemahaman yang lebih baik antara komunitas saintifik, industri, dan departemen pemerintahan. Salah satu caranya: memperbaiki keterampilan ilmuwan dalam berkomunikasi dengan publik. Tahun berikutnya, 1994, aktivitas "sains, rekayasa, dan teknologi" yang disponsori pemerintah berlangsung setiap minggu, dan sains pun perlahan menjadi perhatian publik. Perdebatan antar-ilmuwan mengenai isu tertentu bisa menjadi sejenis talk show yang menarik bayaran bagi peminatnya dan dipadati pengunjung.

Di Amerika, kalangan yang prihatin berusaha memacu ketertinggalan anak-anak muda Amerika dalam sains dan matematika. Bagaimana menjadikan sains dan matematika tidak berhenti sebagai mata pelajaran yang wajib dikuasai, tapi menjadi bagian dari hidup keseharian yang menyenangkan. Dan Cina kini tengah berusaha keras mendongkrak tingkat literasi sains warganya agar mampu mengimbangi pertumbuhan cepat jumlah doktor mereka.

Mengapa Inggris dan Amerika berusaha keras memacu kembali tingkat "literasi sains" masyarakatnya? Mengapa pemerintah Cina bekerja keras mengatasi ketertinggalannya? 

Ada keyakinan, seperti disebutkan dalam Royal Society Report yang terbit pada 1985 tentang "The Public Understanding of Science", bahwa pemahaman publik tentang sains memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan bangsa. Ekonomi yang kuat hampir sepenuhnya bergantung pada industri yang berbasis sains dan teknologi. Sains dan teknologi, karena itu, menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan kebijakan publik. Seberapa bagus kebijakan publik ini dibuat bergantung pada seberapa bagus pemahaman pembuat kebijakan publik memahami sains dan teknologi.

Tapi sebuah kebijakan publik tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Di sebuah negeri demokrasi, suara publik semestinya didengarkan. Menjadi krusial bahwa warga individu, seperti halnya pengambil keputusan, mengakui dan memahami aspek-aspek saintifik dari isu-isu publik. Di tengah pertarungan kelompok-kelompok kepentingan dalam isu-isu kontroversial, seperti kekuatan nuklir dan hujan asam, bahkan di Indonesia soal tembakau dan rokok, warga perlu mengetahui latar belakangnya dengan tepat dan menyuarakan pendapatnya.

Indonesia dalam posisi yang kritis dalam isu literasi sains. Ketika penguasaan sains dan teknologi menjadi faktor dominan dalam kompetisi antarbangsa, literasi baca tidaklah memadai untuk membuat kita cukup mampu ikut berbicara. Untuk mencapai tingkat literasi sains, sehingga orang menyadari, berminat, dan terlibat dalam membentuk opini mengenai isu-isu sains, kita mesti melewati tahapan pemahaman lebih dulu tentang kontennya, prosesnya, serta faktor sosial yang mengkonstruksi sains dan teknologi.

Memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai sains dan teknologi membuka kemungkinan bersikap lebih tepat dalam menanggapi isu-isu kontroversial dan menekan kemungkinan terombang-ambing oleh kebisingan suara berbagai kelompok kepentingan (ingat kasus "pasal tembakau" beberapa waktu lalu). Betapapun, isu-isu sains dan teknologi sulit dilepaskan dari kepentingan serta permainan politik dan ekonomi. Bagi publik non-ilmuwan, memahami sains dan teknologi dengan lebih baik membuka kemungkinan partisipasi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan dan menghindari untuk menjadi korban benturan kepentingan.


Oleh: Dian R. Basuki,
PENGAMAT MASALAH SAINS


Sumber: Koran Tempo





Satu-satunya teori asli yang ditemukan oleh orang Jawa adalah, hidup cuma mampir minum.

Kalian tahu, satu saat ketika bosan minum air putih melulu, ingin minum yang lebih berasa. Ketika sudah mendapatkannya, kalian tidak puas hanya dengan minum, perlu cemilan. Ketika ada cemilan, butuh ruangan yang memadai. Maka dibangunlah rumah yang bagus atau setidaknya mampir di kafe. Dan itu butuh biaya tidak sedikit. Mesti ada kerja keras. Bila perlu, korupsi pun jadi. 

Yg tidak mampu, mesti nerimo minum ala kadarnya di tempat yang biasa saja. Dengan tetap mengajarkan pada anak-anaknya bahwa hidup cuma mampir minum, tidak perlu sekolah, tidak perlu berlebihan. Maka, jadilah anak-anak mereka seorang peminum, yang meminum apa saja yang bisa diombe. Tidak ada anggur ciu pun jadi.

Semua berawal dari hidup sekadar mampir ngombe.
Pukul 04 lewat dini hari, suara itu datang lagi seperti biasanya. Suara yang keluar dari pengeras masjid di sebelah rumah. Suaranya tua, sederhana dan apa adanya. Di tengah-tengah sepinya suasana menjelang shubuh itu, suara seraknya bukannya mengganggu, tapi justru ikut larut dalam keheningannya, pelan dan tidak menggugah. Hanya mengingatkan seperti suara seorang ibu yang pelan-pelan membangunkan anaknya.

Dia laki-laki tua yang tinggal persis di samping rumahku. Di usia senjanya, kehidupan yang tergambar jelas dalam garis-garis keriput di wajahnya serasa telah mati. Hari ini, besok dan besok seterusnya sudah tidak ada bedanya lagi di matanya. Mimpi-mimpi yang yang selalu menghinggapi setiap ruang imajinasi manusia, sudah terkubur lenyap bersama masa lalunya, atau barangkali saja dia adalah salah satu tipe manusia yang tidak suka bermimpi. Kepentingannya hidup di dunia ini hanyalah bekerja menghidupi anak istri dan beribadah.

Dia adalah sosok manusia yang terlupakan oleh jaman. Bahkan sebagian yang lain menyebutnya sebagai contoh kegagalan suatu sistem yang mengakibatkan kemelaratan. Tapi bagi dirinya, dia tidak pernah merasa miskin. Semua yang didapatnya adalah rejeki yang sudah digariskan oleh Tuhan.

Ketika keadaan politik berkecamuk, krisis dunia yang menggemparkan atau kekhawatiran sebagian orang tentang globalisasi dan nasib bangsa, di raut wajahnya selalu memancarkan ketenangan. Dia menjalani hidup seperti biasa apa adanya, bekerja, bersosialisasi dan beribadah.

Bukannya dia tidak mencintai bangsa ini, bukannya dia acuh tak acuh terhadap nasib negara kedepan, hanya ia berpikir," Siapalah aku, aku tidak tahu menahu tentang politik, aku tidak ngerti tentang perekonomian. Biarlah mereka yang bertugas menjalankan tanggung jawabnya masing-masing."

Kecintaannya pada bangsa dan negara ini ia wujudkan bukan lewat dunia politik, tetapi lewat sebuah karya sederhana, melayani kebutuhan masyarakat yang datang berbelanja ke pasar.

Dia adalah salah satu diantara berjuta-juta masyarakat miskin ibu kota yang terlupakan, namun kadangkala menjadi rebutan, rebutan oleh kepentingan kekuasaan. Bukannya ia tidak menyadari hal itu, ia sadar sepenuhnya bahwa orang-orang seperti dirinya hanyalah sekedar menjadi objek bagi pemenuhan nafsu penggila jabatan. Tetapi ia diam."Biarlah, semua itu ada balasannya nanti." Katanya tenang.

Ketika sarjana-sarjana ekonomi mengeluhkan tentang kemerosotan perekonomian makro, tentang suku bunga, tentang krisis keuangan dsb, mereka lupa kalau orang-orang seperti si bapak itulah pondasi sebenarnya kekuatan ekonomi bangsa ini. Si bapak dan berjuta-juta masyarakat bawah di seluruh Indonesia itulah yang setiap harinya berjuang untuk negara mempertahankan gerak laju ekonomi.

Tetapi memang sudah menjadi hukumnya, pondasi selalu tidak nampak oleh mata.

Pagi ini kembali aku dengar suaranya dari pengeras masjid di sebelah rumah. Tidak ada kepentingan apapun si bapak itu melakukannya setiap pagi menjelang shubuh. Dia hanya menginginkan manusia untuk ingat kepada Tuhannya, itu saja.

Mungkin karena alasan orang-orang seperti si bapak tua itulah Tuhan masih mengasihani negeri ini, memepertahankannya dari kehancuran.

Sampai selesai saya tulis artikel ini, suara itu masih terdengar, tua dan sederhana.


Sabda
Saudaraku, tentu Anda paham betul apa yang dimaksud dengan "sabda". Sabda adalah rangkaian kata yang diucapkan secara lisan, yang di dalamnya mengandung sejumlah nilai sakral, jika dibandingkan dengan kalimat-kalimat dalam percakapan sehari-hari.

Nilai kesakralan dari sabda itu - biasanya - terletak dari siapa yang mengucapkan. Satu kalimat yang sama, jika diucapkan oleh seorang priyagung, tentu akan berbeda nilai sakralitasnya jika dibandingkan dengan jika diucapkan oleh orang biasa.

Tentu Anda ingat, kalimat:  I'll shall return... menjadi sangat sakral dan terkenal karena diucapkan oleh seorang Jenderal McArthur, pada saat yang tepat dan akhirnya memiliki nilai sejarah yang tinggi.

Atau juga kalimat yang diucapkan oleh astronot Apollo 13: Houston, we have a problem.... Menjadi begitu terkenal karena diucapkan pada saat detik-detik yang menegangkan, dan menjadi pocapan khas Amerika yang kini umum diucapkan ketika seseorang tertimpa masalah yang berat.

Lantas bagaimana dengan sabda? Sabda tak hanya semata karena kandungan isinya, tetapi lebih dari itu, sabda memiliki dimensi lain yang patut diperhitungkan. Di Jawa, ada satu konsep yang dikenal dengan sabda pandhita ratu, yang artinya adalah sabda orang besar (pemimpin) yang tidak boleh disepelekan.

Ditinjau dari pihak yang bersabda, pepatah itu menunjuk pada satu konsep "menyatunya kata dan perbuatan". Artinya, sesuatu yang disabdakan tidak boleh menyimpang dari apa yang dilakukan (datan kena wola-wali). Sementara dari perspektif pihak lain, bahwa sabda itu adalah sesuatu yang harus dipenuhi, tidak boleh dibantah, dan harus ditaati.

Seorang pemimpin harus bisa dipegang kata-katanya, tidak boleh mencla-mencle, dan harus sesuai antara kata dan perbuatan. Harus sesuai antara kalimat dengan kelakuan, harus kena digondheli tembunge. Singkatnya, seorang pendeta, ratu, atau pemimpin tidak boleh sekadar bermanis kata (lelamisan) hanya mengumbar janji tanpa isi, serta menerapkan prinsip "Psikologi untuk Anda" (bukan untuk saya !).

Dalam perspektif yang lain, sabda juga bisa dimaknai sebagai janji yang harus ditunaikan. Ketika seorang pemimpin bersabda, di dalamnya - sekaligus - mengandung sebuah janji yang harus ditunaikan. Jika tidak, maka derajatnya akan jatuh tak berbeda dengan manusia jamak. Padahal, selaku pemimpin, ia bukanlah manusia biasa, ia manusia luar biasa yang dituntut untuk "lebih" dibandingkan manusia biasa.

Bagaimana dengan janji para pemimpin negeri ini yang sudah terlalu kerap kita dengar, dan sekaligus juga terlalu sering mereka ingkari? Di sinilah letak salah satu kelemahan mendasar dari bangsa ini. Kita adalah bangsa yang demikian mudah lupa (lalen). Bangsa yang mudah terheran-heran (gumunan), dan juga bangsa yang mudah silau dengan gebyar (blerengan). Ketiganya menyatu menjadikan peristiwa-peristiwa besar segera tenggelam akibat munculnya peristiwa baru.

Lihatlah, betapa bangsa ini demikian mudah lupa dengan apa yang telah mengharu-biru rasa keadilan. Betapa mudah lalai dengan janji-janji para pemimpinnya yang tak kunjung ditunaikan. Betapa gampang lengah dengan serangkaian berita pengalih perhatian. Kita menjadi lupa, bahkan untuk sekadar menagih janji, sekaligus juga lupa bahwa kita memiliki pemimpin yang juga pelupa.

Tentang kekuasaan, tentang memperebutkan suara rakyat, adalah satu hal. Sedangkan janji-janji dan upaya pemenuhan ala kadarnya, adalah hal yang lain. Kausalitas keduanya sengaja disamarkan, dengan memanfaatkan sifat lupa, seraya memupuk perilaku julig (tricky) yang mementingkan diri sendiri, kelompok dan atau golongannya.

"Saya prihatin..." itulah sabda yang terlalu sering kita dengar dari pemimpin tertinggi di negeri ini. Sadarkan beliau, bahwa apa yang diucapkan itu adalah cermin dari kualitas kediriannya? Sadarkan beliau bahwa sabda itu adalah janji yang memerlukan langkah nyata, yang tidak sekadar berhenti dalam sebuah sikap keprihatinan?

Sampai di sini, saya jadi teringat satire yang dilontarkan almarhum Ki Wasitodiningrat, empu gamelan dari Yogyakarta yang menyindir dengan keras pemerintah kolonial Jepang, yang hingga kini tetap relevan ditujukan kepada rezim penguasa: Ela elo.... endi buktine, ela-elo....endi nyatane......***

Yogyakarta, 11 Mei 2011.

Sumber: Politikana