“Jenderal Wilem terbunuh.” Seorang pemuda dengan tergopoh-gopoh mengabarkan.
Kami semua yang ada di bukit Jejeg tercengang, menatap ke arahnya dengan kekhawatiran yang sama. Itu adalah berita baik, tapi juga sekaligus pertanda malapetaka.
50 lebih laki-laki yang berkumpul di situ sontak berdiri. Senjata api di pundak, serta golok di pinggang. Pimpinan meneriakkan komando, dan dengan setengah berlari kami menuruni bukit.
Kekhawatiran kami terbukti. Sesampainya di kampung, separuh wilayah telah berubah menjadi lautan api. Pembantaian karena amarah para prajurit atas kematian pimpinan mereka berlangsung tanpa ampun. Bau hangus daging dan kayu, hawa panas dari nyala api, jerit perempuan dan anak-anak serta letusan tembakan yang memilukan, bercampur aduk di jiwaku, mengendap di dalamnya hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.
Pertempuran pecah antara kami, gerombolan pemberontak, bergabung dengan sebagian warga kampung, melawan prajurit-prajurit Belanda. Hingga dini hari, setelah semuanya reda, gerombolan kami hanya menyisakan 10 orang yang benar-benar bisa dikatakan waras, 5 orang lainnya bermandikan darah sendiri dan tewas dalam perjalanan menuju bukit, sisanya tewas di tempat. Sementara itu ratusan rumah penduduk menjadi abu. Tak terhitung lagi jumlah korban dari para warga, begitu juga dari tentara Belanda. Peristiwa itu terjadi pada malam Selasa Wage, dan terus nangkring di benak penduduk yang selamat, sepanjang hidup mereka.
Pada sore harinya, semua mulai terbuka lebih terang. Jenderal Weimar Willem, pimpinan pasukan di Bumijawa tewas di tangan seorang laki-laki berusia 50 tahun, dalam sebuah duel. Yang membuatku terkejut adalah laki-laki 50 tahun itu tak lain ayah dari teman-teman kami, Saima, bernama Bardi.
* * *
“Tidak perlu meludah di muka untuk melakukan penghinaan. Kehidupan kami sudah menegaskan hal itu.” kata ibuku saat kutemui ia untuk pertama kalinya di daerah Bogor setelah masa pengasingan 30 tahunku. “Aku tidak jauh dari tempat Bardi berdiri, ketika Jenderal tua itu memakinya dari atas kereta. Lusinan orang mendengarnya. Tapi tidak ada yang menyangka akan seperti itu jadinya. Dan tidak ada yang tahu juga pastinya bagaimana Bardi bisa masuk ke rumah megah itu. Desas desus, ia menyamar, dengan bantuan si jongos Waring. Tapi Waring sendiri pun tewas dalam kerusuhan itu.”
Sejak peristiwa di malam Selasa naas itu, tidak ada satu pun penduduk yang mau kembali ke rumah. Mereka memilih pergi ke tempat yang jauh, menjalani hidup baru bersama sanak famili mereka. Begitu juga dengan ibuku. Ia membawa serta adik perempuanku, keluar kampung bersama ratusan warga, termasuk Saima dan ibunya. Dan sejak itu tidak ada lagi pertemuanku dengan mereka selama 30 tahun.
Ayahku meninggal dalam kerusuhan itu. Peluru menembus kepala dan dadanya. Sebelum mengungsi, ibuku sempat memeluk ayah di saat-saat terakhir hidupnya. Aku mendapati jasad ayahku esok harinya di antara puing-puing rumah. Hanya gelang perak di tangan kiri yang menandakan bahwa ia benar-benar ayahku. Seluruh tubuhnya gosong. Tidak sempat kubawa jasadnya untuk dikuburkan, karena terdengar teriakan mengarah padaku dari tentara Belanda di seberang sungai.
Jam malam diberlakukan setelah kerap terjadi pemberontakan ke markas tentara Belanda di malam hari. Aku, sebagai remaja 18 tahun saat itu, memilih untuk melebur bersama para pemberontak. Meskipun dengan jujur aku akui, kemauanku ikut dalam gerombolan pemberontak hanya karena satu masalah yang bisa dikatakan sepele.
* * *
“Peristiwa itu adalah dosa terbesar dalam hidupku.” Joannes bercerita pada pertemuan kami di Leiden, 3 bulan sebelum aku berhasil bertemu ibu untuk pertama kalinya di Bogor. “ Semua tahu, malapetaka itu akulah penyebabnya. Dan tidak kusangka, begitu pemberaninya ayah Saima. Ia dengan ayahku berkelahi, seperti yang semua orang tahu, sebagaimana laki-laki.”
“Aku dan dua adikku dipulangkan ke Belanda, ke tempat orang tua kami, dua minggu kemudian. Dan ibuku dikembalikan ke orang tuanya di Banyumas. Aku tidak pernah tahu lagi kabarnya sejak itu. Aku pun tidak tahu siapa kiranya yang menggantikan kedudukan ayah di wilayah itu. Aku sama sekali tidak mau memikirkan tentang Bumijawa setelah kepulanganku ke Belanda, meskipun wajahmu, wajah Saima, wajah para penduduk kerap muncul menjelang tidurku.
“Bagaimana kabar Saima sekarang?” Joannes bertanya tanpa benar-benar membutuhkan jawaban.
* * *
“Kemarau menyusutkan tubuhnya sepuluh kali lipat dari yang seharusnya.” ucap Rinten, ibu Saima, di teras rumahnya di Semarang. Setelah pertemuanku dengan ibu dan adik perempuanku di Bogor, aku mendapatkan alamat Saima dari mereka. Satu minggu kemudian aku mencari alamat itu. “Selalu begitu ketika kemarau tiba. Tubuhnya loyo, kelihatan sangat tua dan keriput.”
“Kami hanya bercerita tentang obat, sekali-kalinya, beberapa tahun lalu. Tidak ada hari yang lebih membahagiakan selain itu. Aku mengira bahwa kehidupan putriku telah pulih. Tapi nyatanya tidak. Percakapan tentang obat itu tidak lebih lama dari lima menit. Ia bicara sambil memandangi iklan obat di sebuah koran. Namun ketika dengan senang aku menanggapinya, ia malah mengalihkan pembicaraan. Dan melempar begitu saja koran itu ke atas meja. Setelah itu tidak pernah ada lagi pembicaraan tentang itu. Kemarau datang dan pergi, tubuhnya semakin kurus menyedihkan.” Ia berbicara seperti mendesah. Matanya mengembara muram.
“Hingga satu hari aku mengatakan,’kau membutuhkan laki-laki, Saima. Kau membutuhkannya sebagai obat. Kadangkala racun hanya bisa diobati oleh racun. Mau tidak mau kau mesti meminumnya. Karena itulah kehidupanmu’. Tidak ada tanggapan.
“Kamu tahu, kata-kata yang keluar dari mulut Saima bisa dihitung dengan jari setelah peristiwa kerusuhan itu. Aku bicara apa adanya, Nak. Ia menghabiskan seluruh waktunya dengan jarum dan kain, di depan jendela. Tidak pernah sekalipun ia keluar rumah. Rasa bersalah karena menganggap kematian ayahnya disebabkan olehnya terus mengganggu jiwanya.”
Ketika aku menemuinya, memang benar apa yang dikatakan perempuan tua itu. Saima tengah duduk di depan jendela lantai dua. Ia menengok ketika kusapa. Usianya tentu sudah mencapai 47, satu tahun lebih muda dariku. Wajahnya memang kelihatan jauh lebih tua dan tubuhnya lebih renta dari usia sebenarnya. Tapi kecantikan yang ia miliki seolah abadi. Dan aku berani yakin, bahwa ia lebih cantik di usianya sekarang dibanding masa remajanya dulu. Kecantikan yang membuatku memilih tinggal di bukit bersama gerombolan pemberontak, karena aku tahu ia mencintai Joannes dan Joannes mencintainya.
Pada akhirnya aku harus menanggung kecewa. Aku berharap pada pertemuan ini, ia bisa melihat helaian rambutnya, sorot matanya, senyumnya di mataku, yang terus kusimpan selama berpuluh tahun dalam sepiku di pulau Buru, di antara salju di Moskwa, atau di aliran sungai Rhein. Ia hanya berpaling sejenak ke arahku, tanpa senyum, tanpa sepatah kata, dan kembali menunduk, melanjutkan pekerjaan menyulamnya.
Setelah pertemuan itu, aku menghubungi Joannes.
“Kalau kau ingin menemui Saima, aku tahu tempatnya.” kataku lewat telefon.
22 hari kemudian, Rinten meninggal. Dan pada bulan November yang dingin, satu setengah bulan setelah pertemuanku dengan Saima, telefon dari Joannes masuk, mengabarkan bahwa ia telah melihat Saima, di balik jendela rumahnya di lantai dua.
0 comments: