Rumah, Kopi dan Pembaca Tertawa

By | Tuesday, January 17, 2012 Leave a Comment
Seandainya Yusi Avianto Pareanom tidak menjadi penulis, mungkin ia akan menjadi petugas intelijen. Sikapnya dalam menjunjung tinggi detail dan energi yang tak pernah pupus dalam mengorek informasi mungkin hanya bisa disaingi oleh Bareskrim Polri. Ini tampak bukan hanya pada cerita-cerita yang ia buat, tapi juga pada kritikan-kritikannya terhadap suatu karya. Hal pertama yang ia fokuskan adalah seberapa akurat informasi yang ada dalam suatu karya, dan seberapa detail seorang penulis menghadirkan sebuah deskripsi, seolah bagi Yusi kesalahan kecil informasi berakibat pada kehancuran negara dan ketidakmampuan seorang penulis memberi penjelasan akan menyebabkan orang lain tersesat ke neraka. Namun bukan berhenti di situ saja, ia juga lihai menyajikan semuanya itu pada waktu dan tempat yang pas, serta dengan ukuran yang tidak sembarangan. Hal ini bisa dilihat pada cerpen berjudul Rumah Kopi Singa Tertawa. Saking lihainya ia, hingga membuat keningku berkerut dua belas ketika membaca cerpen itu untuk pertama kalinya di Koran Tempo edisi 10 April 2011 lalu. ‘Apa yang diinginkan penulis terhadap pembaca?’ adalah pertanyaan yang muncul di kepala seusai membaca cerita tersebut.

Rumah Kopi Singa Tertawa adalah cerpen yang sangat berbeda dengan cerpen-cerpen yang pernah aku baca di koran Minggu dalam negeri. Sebagai seorang yang menganggap detail adalah segalanya, jelas-jelas dalam cerita tersebut penulis sengaja menyimpan untuk dirinya sendiri segala macam informasi baik berupa penjelasan tentang setting maupun karakter, bahkan tidak ada nama tokoh yang tertulis di sana. Hanya tiga hal yang dibocorkan penulis untuk sekadar memberi bingkai dalam berimajinasi, yaitu kata ‘cappuccino, ‘meja’ dan ‘rumah kopi’. Dari situ pembaca bisa menarik kesimpulan, oh, cerita berlangsung mungkin di sebuah tempat minum. Namun seperti apa bentuk tempat itu, terang atau redup, seberapa luas, semua itu dibebaskan kepada pembaca untuk membayangkannya sendiri. Hal yang kemudian dirasakan oleh pembaca, oleh aku maksudnya, adalah, seperti seorang yang dalam posisi salah alamat. Kau mungkin pernah berada pada satu ruangan di mana tidak ada satu orang pun yang kau kenali di sana. Awalnya kau hanya berdiri di pintu, menengok kanan kiri dengan ragu, kemudian berjalan pelan-pelan melewati meja-meja yang tengah ditempati oleh lebih dari satu orang, hingga obrolan-obrolan mereka bisa kau dengar dengan jelas. Tapi tetap saja, mereka bukan orang yang kau kenal, dan kau tidak tahu arah pembicaran orang-orang itu. Itulah kesan yang ada dalam cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa. Bahkan lebih absurd lagi, Rumah Kopi Singa Tertawa seperti sebuah mimpi dan ketika kau terbangun, yang tersisa di ingatan hanyalah obrolan orang-orang berwajah samar.

‘Apa yang diinginkan penulis terhadap pembaca?’ Pada akhirnya aku pikir, tidak ada apa-apa, selain ingin membuktikan bahwa sebuah cerita bisa ditulis dengan cara yang lain sama sekali. Seperti yang sering Yusi katakan pada para penulis muda, ‘jangan takut bereksperimen’. Rumah Kopi Singa Tertawa, dan cerpen-cerpen lain yang ditulisnya adalah hasil dari eksperimennya. Yusi membuktikan bahwa ucapannya itu bukan sekadar di bibir saja. Mengingat kita tahu, tidak mudah melakukan itu semua. Terutama yang dibutuhkan adalah semangat yang terjaga untuk mencara bahan baru sebanyak-
banyaknya demi uci coba, dan, kemampuan untuk membebaskan diri dari kenyamanan. Kata-kata itu juga yang sering Yusi ucapkan untuk membekali para penulis muda dalam berkarya.

Aku mengenal Yusi 3 tahun lalu, dan sampai sekarang belum pernah kulihat wajah seriusnya. Ada sebetulnya kesempatan untuk itu, salah satunya pada pembacaaan cerpen ‘Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih’ di acara biennale sastra Salihara Oktober 2011 lalu. Tapi sayang sekali, kesempatan untuk melihat muka seriusnya kulewatkan begitu saja. Kesempatan kedua datang pada pembacaan karya-karyanya – saat itu bersama orang yang juga tergolong ‘serius adalah barang mahal’; A.s Laksana - di Coffee War, Desember lalu, pun kulewatkan juga. Kesempatan langka yang tidak bisa dimaafkan seumur hidup. Keseriusan Yusi lebih suka diungkapkan dengan cara ndagel, hingga ia bisa terlepas dari sikap menggurui dan menghakimi. Sifatnya yang seperti itu bukan hanya terlihat pada karya-karyanya yang ia tulis, tapi juga pada hasil terjemahannya.

Satu kali ia menyodorkan sebuah cerpen karya J.D Salinger berjudul ‘This Sandwich Has No Mayonnaise’. Dengan lucu cerdas ia menerjemahkannya menjadi, ‘Roti Tangkup Ini Tak Bermayones’. Aku kira ini ajaib sekali. Di saat diksi-diksi asing mengalir deras ke dalam bahasa Indonesia sehari-hari, justru Yusi menerjemahkan kata ‘sandwich’ menjadi ‘roti tangkup’. Tentu saja aku tidak bisa membayangkan seandainya bukan Yusi yang menerjemahkannya, kemungkinan besar kata ‘sandwich’ akan tetap apa adanya, dengan detail huruf yang juga seperti aslinya. Tapi itulah Yusi. Dengan watak mbeling-nya, ia berani melakukan itu. Bukan itu saja, dalam cerpen tersebut ada satu kalimat yang mendeskripsikan hujan dengan kata favoritnya: aduhai, lengkapnya: ‘Hujan makin aduhai saja menghajar atap kanvas’ Jangkrik! Saking penasarannya aku kirim pesan ke Yusi lewat facebook untuk minta teks aslinya, sekadar ingin tahu seperti apa bentuk kalimat tersebut dalam bahasa aslinya.

Dalam hal serius seperti itupun ia seperti menganggapnya sebagai lelucon, tapi tanpa mengurangi kualitas karya yang diterjemahkannya, malah menjadikannya unik.

Keunikan-keunikan lain sudah bisa terlihat dari judul karya-karyanya. Dosa Besar No. 14, Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai, Hukum Murphy di Karang Api, Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih, juga Rumah Kopi Singa Tertawa, yang judul dan isinya memang mengundang tanya dan tawa itu. Maka dari itu, kita patut bersyukur pada tuhan YME, yang telah menakdirkan Yusi Avianto Pareanom untuk mengumpulkan cerpen-cerpennya yang terserak dan menerbitkannya dalam sebuah buku.

Jika kau tergolong orang yang menganut kepercayaan buku adalah jendela ilmu, boleh kaucoba jendela yang satu itu. Selain tawa, bisa mendapat banyak pengetahuan juga di dalamnya. Bukankah menyenangkan sekali jika kita bisa belajar, berimajinasi dan tertawa sekaligus, sambil duduk di teras rumah menikmati kopi di sore hari? Dan akhirnya Rumah Kopi Singa Tertawa bisa kita tafsirkan sebagai rumah, kopi dan kita tertawa.







Newer Post Older Post Home

0 comments: