Ia bernama Musthafa.
Perusahaan angkutan antar kota membutuhkan pion-pion sebagai ujung tombak pejualan tiket dan sebagai pion yang hampir mendekati petak terakhir ia bukanlah sembarang pion namun pion yang dilindungi oleh ratu. Tetapi bagaimanapun juga dalam percaturan bisnis besar pion tidak akan pernah menjadi ratu, ia akan dibiarkan berdiri selamanya di satu petak sebelum petak terakhir atau membiarkannya termakan lawan ketika hampir mencapai perubahan karena satu ratu sudah cukup.
Begitulah ia selama bertahun-tahun hidupnya menjual tiket bus antar kota yang kadang hasil penjualan itu dihabiskannya dalam satu malam di samping deretan kartu remi di atas koran-koran bekas tapi kadang juga malah semakin bertambah banyak. Tergantung nasibnya di putaran kartu-kartu remi tersebut.
Ia pulang ke rumah ketika istri dan anak-anaknya hampir lupa akan keberadaannya di muka bumi dan membawa uang haram dan halal yang bercampur secara harmonis di dalam kantong celananya dan sebagian lagi di dalam dompetnya; uang yang tidak akan pernah di tunjukkan pada anak istrinya karena bagaimanapun juga laki-laki mesti memiliki simpanan untuk menjaga kewibawaan. Seperti halnya uang, begitu juga wanita. Ia memiliki tiga istri dan ia mampu mempersatukan ketiganya dalam kehidupan damai seharmonis uang haram dan halal di kantongnya.
Tiap istri menempati rumah mereka masing-masing, istri pertama menempati rumah warisan orang tua Musthafa yang sudah meninggal, istri ke dua menempati rumah yang dibangun di atas tanah waris dan hasil penjualan tanah orang tua Musthafa sedangkan istri ke tiga menempati rumah kontrakan. Jarak antar ketiga rumah tersebut sekitar sepuluh sampai lima belas kilometer. Musthafa mengubah ruang tamu di tiap rumah istri-istrinya menjadi toko mebel kecil-kecilan, mendapatkan modal dari warisan ayahnya. Masing-masing istri bertindak sebagai pelayan sekaligus manajer sekaligus pemilik. Adanya toko-toko mebel tersebut meskipun kecil sudah lebih dari cukup untuk menciptakan ketenangan pikiran Musthafa dalam hal kebutuhan lahiriah istri dan anak-anaknya.
Musthafa selalu setia menjenguk istri-istrinya ketika dia rasa wanita-wanita itu sudah mulai tidak setia.
Sore hari ia berangkat ke kantor agen bus antar kota di terminal, menjual tiket-tiket dengan harga 25-30 persen lebih tinggi dari harga tiket semestinya. Mengejar target terjauh, itulah yang menurut kabar dilakukan oleh orang-orang di negeri seberang, tapi baginya target terjauh adalah duduk berlama-lama di atas koran perjudian. Agen tiket buka pukul lima sore, bus datang pukul enam dan berangkat pukul tujuh, bus ke dua datang pukul tujuh dan berangkat pukul delapan. Pukul sembilan kantor agen tutup, saatnya minum kopi sejenak dan menyuruh anak muda di bawah kakinya untuk membeli beberapa botol bir dan membawanya ke pojok terminal, menggelar koran bekas bersama tiga orang temannya dan mengatur kartu remi.
Dunia berputar seperti kartu remi, selalu sama dan mudah ditebak.
Pengabdian bertahun-tahun dirinya pada lembaran-lembaran tiket bus dan kartu remi telah memberikan berkilo-kilo kebijaksanaan mengendap di dalam perut; seperti halnya hidup semua itu adalah permainan. Kulitnya sudah seperti seng; kebal dari rasa sakit akibat kekalahan, bisa-bisa ular kehidupan kental mengalir bersama darah Arab hingga ia sudah tidak begitu merasakan lagi sakit dan pahit pada saat hari-hari naas, hanya saja kadang-kadang terasa seperti gigitan nyamuk, yang beberapa kali garuk hilang dengan sendirinya. Atau mungkin dia sendiri sudah lupa bagaimana bentuk rasa pahit dan sakit itu karena terlalu lama menimbun dalam dirinya. Namun apapun ceritanya, perjudian telah memberinya pelajaran penting tentang hidup, ia terhindar dari sifat dendam.
Perjudian menjadikan Musthafa murah hati.
Hari ini istrinya menangis karena kerinduan yang tak tertahankan padanya hingga berubah menjadi kebencian dan kecurigaan tetapi Musthafa menganggapnya seperti gurauan di atas lapak perjudian dan dengan pengalaman mengocok kartu remi serta kecurangan-kecurangan dalam dunia haram ia mengubah tangisan sedih sang istri dengan mudahnya semudah ia menyulap kartu remi demi kemenangan. Tangisan itu berakhir dengan indah di atas ranjang.
Besoknya istri yang termuda menangis karena mendapati kabar burung bahwa Musthafa akan menikah lagi untuk yang keempat kalinya. Musthafa tahu apa yang sedang terjadi dan tahu apa yang mesti dilakukan, dan senyum di bibir tipisnya; yang memperlihatkan gigi panjangnya mengubah kembali dunia menjadi kebahagiaan.
Besoknya lagi anak dari istri keduanya jatuh sakit dan mesti dirawat di rumah sakit namun Musthafa cukup mendekapnya dan membiarkan bayi itu merasakan kehangatan dari perutnya yang lembek, keesokan hari si Bayi terbangun seolah tidak terjadi apa-apa.
Begitu mudah dan sederhana cinta dalam kehidupannya.
Sore ini ia mendapatkan hasil lumayan banyak dari penjualan tiket dan habis hanya dalam waktu semalam di atas koran bekas di sudut terminal. Ia mendapati hari dengan sinar matahari yang begitu cerah namun kantong celananya kosong. Sebungkus rokok dari teman yang memenangkan judi dan segelas kopi gratis dari warung terminal dan istri-istri yang hidup tenang mengurus anak di rumah mengantarkannya pada kedamaian istirahat pagi -- pagi dan siang adalah waktu istirahat baginya.
Cukup itu saja bentuk kebahagiaannya di dunia. Murah.
Di televisi yang terpasang di tempat-tempat umum dalam terminal menyiarkan berita tentang demonstrasi, kerusuhan di pasar antara pedagang kaki lima dan petugas ketertiban yang selalu mengusahakan ketertiban dengan caranya yang tidak pernah tertib, penggusuran, korupsi dan kebusukan para politikus serta harta melimpah ruah seperti tumbuh dengan sendirinya dari pohon di belakang rumah mereka yang mewah, Musthafa bersama para calo dan pedagang dan penumpang hanya mencibir. Ia (Musthafa) tidak pernah memimpikan atau setidaknya menyadari bahwa ia hanya memiliki satu muka dan faham itu bukan modal yang cukup untuk memimpikan harta seperti mereka lagipula ia tidak pernah kuat untuk duduk di atas arena perjudian selama satu bulan penuh tanpa istirahat; waktu yang cukup untuk menghabiskan harta hasil korupsi pejabat tingkat daerah.
Mengocok kembali kartu remi ketika permainan selesai. Sesederhana itu saja persepsi kehidupannya.
Hari ini salah seorang temannya berulang tahun. Ia merayakan bersama Musthafa dan kawan-kawan judinya. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari pesta karena tiap malam mereka selalu berpesta hanya saja malam ini botol-botol bir begitu melimpah seperti cukup untuk merendam tubuh sepuluh orang. Mereka mabuk sambil berjudi atau berjudi sambil mabuk, sama saja, sampai angin dingin merayapi kulit, pukul dua dini hari. Seorang teman yang malam itu menjadi bos bagi perayaan ulang tahunnya mengajak mereka jalan mencari ‘lubang’ untuk kehangatan. Mereka pun pergi, kecuali Musthafa.
Tiga lobang sudah cukup bagiku, katanya.
Tiga lobang cukup. Kata-kata itu menciptakan tawa dari teman-temannya setelah beberapa hari kemudian Musthafa kedapatan bersama seorang perempuan berusia sekitar 30 tahunan. Tiga hari ia absen dari dunia perjudian, awalnya para lawan judi Musthafa menganggap itu hal yang biasa karena Musthafa mesti ‘setor’ pada istri-istrinya. Tetapi seorang pedagang asongan menuturkan bahwa ia melihat si Arab itu berjalan di malam hari bersama seorang wanita, memasuki hotel. Berita itu kemudian menjadi headline di arena perputaran kartu remi meskipun tidak lama. Hal-hal seperti itu adalah lumrah, hanya karena bualannya tentang lubang tiga itu saja lah maka beritanya menjadi sedikit lebih menarik.
Malam ke malam Musthafa semakin tenggelam dalam kehangatan ‘lubang’ barunya itu.
Kesukaan tiap-tiap orang berbeda, ada yang suka berjudi tapi tidak suka mabuk dan tidak suka perempuan, ada lagi yang suka mabuk namun tidak suka perempuan dan judi, ada juga yang hanya suka perempuan dan tidak suka mabuk serta berjudi. itu hal yang lumrah. Kesukaan adalah tempat duduk di dalam bus, tiap-tiap penumpang bebas memilih dan bergeser kalau memiliki kesempatan. Begitu kata seorang penjual asongan.
Pukul tujuh tiga puluh malam, seorang kenek angkutan umum tergopoh gopoh menjumpainya di kantor agen, mengabarkan bahwa istri ke duanya mengalami kecelakaan karena tertabrak truk di jalan depan rumahnya dan sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit. Musthafa berlari, menumpang angkutan umum menuju rumah sakit sambil mengutuki hari dan perempuan sundal itu yang menurut anggapannya menjadi sebab malapetaka. Sesampainya di Rumah Sakit ia merasakan aroma malaikat maut bercampur dengan aroma obat-obatan yang menyengat. Dengan sekuat tenaga ia menepiskan firasat itu, tapi apa daya memang itulah kenyataannya. Dunia tiba-tiba berubah hampa, istri ke duanya meninggal.
0 comments: