Dari sekian banyak tulisan A.s Laksana, ini adalah yang paling aku favoritkan. Artikel yang muncul di Jawa Pos pada sekitar bulan September 2010 lalu tersebut tercipta saat para anggota DPR, secara berjamaah, dan blak-blakan, menampilkan kebodohan-kebodohannya di muka publik. Jelas sekali ada kemarahan dalam tulisan ini, yang menohok dalam-dalam ke diri pembaca. Bukan hanya untuk para wakil rakyat itu, tetapi juga untuk seluruh penghuni negara kesatuan Indonesia. A.s Laksana mengumpamakan DPR sebagai suatu penyakit, dan masyarakat digambarkan sebagai sekumpulan anasir yang pemalas, lebih memilih diam ketika dicurangi, dan pengkhayal - bahkan oleh tanpa tedeng aling-aling penulis menyebutnya tolol. Tanpa banyak kata, silahkan menikmati tulisan tersebut: Menunggu Datangnya Anjing, oleh A.S Laksana.
* * *
J ika anda mengandaikan DPR adalah sebentuk simptom bagi negeri ini, saya
kira anda akan kesulitan merumuskan ia simptom apa. Kadang-kadang ia
terasa seperti migren di kepala bagian kiri, kadang-kadang terasa
seperti penyakit tempo dulu gondongan, atau sering ia muncul
dalam bentuk sembelit. Ketika ia muncul ke permukaan sebagai migren,
anda membahas bagaimana migren bisa terjadi dan bagaimana cara
mengatasinya. Pada hari berikutnya ia menampilkan diri sebagai stroke
ringan. Namun ketika anda kejar hal-hal yang berkaitan dengan stroke dan
cara mengusirnya, keesokannya ia sudah bergeser menjadi tumor ganas.
Mungkin anda akan kelelahan menguber-uber simptom yang berpindah-pindah
tersebut.
Sekarang ini saya tidak tahu ia menampilkan diri sebagai simptom apa. Maksud saya, agak susah menentukan apakah kegemaran pelesiran bisa kita samakan dengan simptom sembelit atau masuk angin biasa saja atau gegar otak. Dan perilaku simptomatik semacam itu muncul hanya beberapa hari setelah mereka minta maaf di hari lebaran.
Di hari lebaran itu, saya mendapatkan pesan-pesan singkat, puisi-puisi permintaan maaf lahir batin, dari beberapa anggota DPR yang secara pribadi saya kenal. Saya tahu itu satu pesan singkat yang dipancarluaskan ke semua nomor telepon yang tersimpan di database handphone mereka. Itu hanya rutin hari raya, sebab saya kira mereka tidak pernah benar-benar merasa bersalah. Belum seminggu permintaan maaf itu, mereka sudah membuat orang-orang ribut membicarakan mereka karena terlalu bergairah melakukan perlawatan atau pelesiran. Ini headline pertama yang saya baca setelah beberapa hari tanpa koran karena loper langganan saya mudik.
Maka, itu simptom apa dan bagaimana mengatasinya?
Anda tahu bahwa cara efektif untuk menyingkirkan simptom adalah membereskan akar masalahnya. Penting bagi anda untuk mencari tahu apa yang melandasi simptom tersebut. Saya curiga jangan-jangan akar masalahnya tersembunyi begitu rupa sehingga sulit bagi kita untuk menemukannya, sementara jenis simptomnya sendiri berpindah-pindah.
Pada cerita-cerita zaman dulu, jika sebuah negeri mengidap penyakit-penyakit semacam ini, atau apa pun jenisnya, penyelesaiannya tidak terlalu sulit. Simpel saja, Tuhan akan melakukan penyelamatan atau membuat penghancuran. Jika terjadi pada seseorang, juga tak akan terlalu menjadi masalah. Anda bisa memahami beberapa pola untuk menyembuhkan penyakit atau mengakhiri penderitaan. Biasanya akan datang peri dengan tongkat sakti; sekali ia mengayunkan tongkatnya maka segala masalah beres. Atau anda hanya membutuhkan ciuman seorang perempuan cantik. Atau anda bisa mengadakan sayembara.
Dayang Sumbi, misalnya, mengadakan sayembara ketika ia menghadapi “masalah berat” karena taropongnya--salah satu bagian dari alat tenun--jatuh ke kolong rumah. Tampaknya ia terlalu malas meluangkan waktu barang beberapa menit untuk mengambil alat itu. Ia lebih suka membuat sayembara: barangsiapa bisa mengambilkan taropongnya, kalau lelaki akan ia jadikan suami, kalau perempuan akan ia jadikan saudara. Masalahnya dengan taropong beres ketika datang seekor anjing mengambilkan benda itu. Dan itu anjing laki-laki. Maka, perempuan cantik yang awet muda itu kawin dengan si anjing pemenang sayembara.
Tetapi kita hidup di zaman ketika peri-peri sudah menyingkir dan sayembara bukan lagi penyelesaian. Kendati demikian keajaiban sesekali masih terjadi. Anda mungkin pernah mendengar cerita tentang pasien kanker yang menyembuhkan dirinya sendiri ketika menurut dokter usianya tinggal beberapa waktu lagi.
Konon ada motivasi di sana. Ada hasrat yang menyala untuk melanjutkan kehidupan dan menjadi lebih baik. Maka hal-hal itulah yang melahirkan mukjizat kesembuhan.
Becermin dari sana, saya penasaran apakah mungkin ada motivasi atau hasrat menyala yang bisa menyembuhkan negeri ini. Kalau ada, seperti apa bentuknya dan oleh siapa? Sampai sekarang masih gelap bagi saya untuk menduga-duga kemungkinan yang bisa memunculkan keajaiban. Terlalu banyak perilaku simptomatik di negeri ini sehingga kita nyaris tidak bisa menebak apa penyakit sebenarnya. Dan lebih dari itu, apa akar masalahnya.
Anda bisa mengatakan bahwa kita kekurangan bakat-bakat kepemimpinan sembari memberikan sejumlah alasan. Itu bisa menjadi spekulasi yang masuk akal. Anda bisa mengatakan bahwa di sini terlalu banyak ketamakan. Ada pragmatisme yang gila-gilaan sehingga setiap bentuk otoritas selalu diperlakukan seperti jalan tol untuk mengeruk pelbagai keuntungan. Itu juga bisa merupakan analisis yang mudah diterima. Anda bisa menggonggong dan berspekulasi apa pun tentang pengelolaan negeri ini, kafilah kekuasaan akan tetap berjalan begitu-begitu saja.
Dalam versi saya, negeri ini kekurangan cerita yang baik. Setiap hari kita hanya menjumpai cerita-cerita buruk yang membikin kita sesak nafas, atau jengkel, atau memendam kemarahan. Ini cerita-cerita yang tidak menyehatkan.
Kita memerlukan cerita-cerita yang menyembuhkan. Dalam mitologi Yunani, ada seorang pemuda yang berkelana dengan tujuan menemui orang-orang yang menderita oleh penyakit, oleh perang, oleh bencana, oleh kelaparan, atau oleh penyebab-penyebab lainnya. Kepada orang-orang yang menderita, ia menuturkan cerita-cerita yang bisa meringankan penderitaan--sebab di sana ada inspirasi yang bisa membebaskan orang dari rasa sakit.
Tentu ada inspirasi juga dalam cerita-cerita yang buruk. Ada implikasi di dalam setiap cerita, baik atau buruk cerita itu. Bedanya, dalam cerita-cerita yang buruk kita kemungkinan besar hanya akan mendapatkan inspirasi yang buruk. Tidak mungkin kita mendapatkan inspirasi yang baik dari cerita tentang DPR yang senang piknik misalnya. Tidak mungkin kita mendapatkan inspirasi untuk kebaikan pada cerita-cerita tentang kegagalan menegakkan hukum. Dari cerita-cerita tersebut, Anda hanya akan mendapatkan kesengsaraan dan ujung-ujungnya kemarahan. Hanya kemarahan yang merupakan respons terbaik bagi cerita-cerita yang menguras kesabaran itu.
Apa pesan tersirat dari cerita penusukan jemaat HKBP? Atau dari cerita tentang jembatan yang ambles, tanpa gempa tanpa bencana? Keburukan bisa terjadi sewaktu-waktu, bahkan dalam situasi yang adem-adem saja, pada bulan ketika orang saling memaafkan lahir dan batin.
Dengan cerita-cerita buruk yang terus menyerbu kita setiap hari, dari mana kita bisa mendapatkan inspirasi? Kita memerlukan kekuatan kekuatan pendorong dari dalam diri sendiri; kita memerlukan motivasi untuk memberantas akar masalah. Seorang teman mengatakan bahwa hanya diperlukan sedikit kewarasan untuk bangkit membereskan diri.
Saya setuju sekali dengan itu. Satu-satunya orang yang tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri adalah orang yang mengalami kerusakan otak. Ia tidak bisa lagi menggunakan otaknya, mungkin karena ada kelumpuhan dalam organ terpenting itu. Bisa kerusakan fisiologis, bisa kerusakan psikologis.
Jenis lain yang gagal mengatasi masalah adalah orang yang ketololannya sebegitu rupa sehingga tidak mampu mencerna apa pun dan gagal memperlajari apa pun. Tidak ada pengetahuan, tidak ada kecakapan baru yang bisa dipelajari oleh orang yang sangat tolol. Nah, saya tidak mampu membayangkan bahwa negeri ini serupa dengan orang yang tidak mampu menggunakan otaknya untuk menggerakkan perubahan.
Urusan DPR suka pelesir akan menjadi masalah sepele ketika kita bisa memberi tahu mereka bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan selain pelesir. Tetapi ketika otak tidak mampu mencerna saran atau kata-kata atau apalagi analisis, maka segalanya akan menjadi hal yang sia-sia belaka. Mungkin yang terjadi benar-benar kerusakan otak. Saya kira penting di waktu-waktu mendatang untuk menguji kondisi otak seseorang dalam fit and proper test untuk setiap jabatan publik.
Kalau memang tidak ada yang fit and proper, dan kita semalas Dayang Sumbi untuk mengatasi masalah sendiri, saya kira tak ada jalan lain kecuali menyelenggarakan sayembara: Barang siapa bisa menyembuhkan penyakit negeri ini, kalau laki-laki akan dijadikan suami, kalau perempuan akan dijadikan saudara kandung. Kalaupun yang bisa menyembuhkan adalah seekor anjing, tak apalah. Seekor anjing cukup baik bagi bangsa yang tak bisa membangkitkan diri sendiri.
* * *
Sekarang ini saya tidak tahu ia menampilkan diri sebagai simptom apa. Maksud saya, agak susah menentukan apakah kegemaran pelesiran bisa kita samakan dengan simptom sembelit atau masuk angin biasa saja atau gegar otak. Dan perilaku simptomatik semacam itu muncul hanya beberapa hari setelah mereka minta maaf di hari lebaran.
Di hari lebaran itu, saya mendapatkan pesan-pesan singkat, puisi-puisi permintaan maaf lahir batin, dari beberapa anggota DPR yang secara pribadi saya kenal. Saya tahu itu satu pesan singkat yang dipancarluaskan ke semua nomor telepon yang tersimpan di database handphone mereka. Itu hanya rutin hari raya, sebab saya kira mereka tidak pernah benar-benar merasa bersalah. Belum seminggu permintaan maaf itu, mereka sudah membuat orang-orang ribut membicarakan mereka karena terlalu bergairah melakukan perlawatan atau pelesiran. Ini headline pertama yang saya baca setelah beberapa hari tanpa koran karena loper langganan saya mudik.
Maka, itu simptom apa dan bagaimana mengatasinya?
Anda tahu bahwa cara efektif untuk menyingkirkan simptom adalah membereskan akar masalahnya. Penting bagi anda untuk mencari tahu apa yang melandasi simptom tersebut. Saya curiga jangan-jangan akar masalahnya tersembunyi begitu rupa sehingga sulit bagi kita untuk menemukannya, sementara jenis simptomnya sendiri berpindah-pindah.
Pada cerita-cerita zaman dulu, jika sebuah negeri mengidap penyakit-penyakit semacam ini, atau apa pun jenisnya, penyelesaiannya tidak terlalu sulit. Simpel saja, Tuhan akan melakukan penyelamatan atau membuat penghancuran. Jika terjadi pada seseorang, juga tak akan terlalu menjadi masalah. Anda bisa memahami beberapa pola untuk menyembuhkan penyakit atau mengakhiri penderitaan. Biasanya akan datang peri dengan tongkat sakti; sekali ia mengayunkan tongkatnya maka segala masalah beres. Atau anda hanya membutuhkan ciuman seorang perempuan cantik. Atau anda bisa mengadakan sayembara.
Dayang Sumbi, misalnya, mengadakan sayembara ketika ia menghadapi “masalah berat” karena taropongnya--salah satu bagian dari alat tenun--jatuh ke kolong rumah. Tampaknya ia terlalu malas meluangkan waktu barang beberapa menit untuk mengambil alat itu. Ia lebih suka membuat sayembara: barangsiapa bisa mengambilkan taropongnya, kalau lelaki akan ia jadikan suami, kalau perempuan akan ia jadikan saudara. Masalahnya dengan taropong beres ketika datang seekor anjing mengambilkan benda itu. Dan itu anjing laki-laki. Maka, perempuan cantik yang awet muda itu kawin dengan si anjing pemenang sayembara.
Tetapi kita hidup di zaman ketika peri-peri sudah menyingkir dan sayembara bukan lagi penyelesaian. Kendati demikian keajaiban sesekali masih terjadi. Anda mungkin pernah mendengar cerita tentang pasien kanker yang menyembuhkan dirinya sendiri ketika menurut dokter usianya tinggal beberapa waktu lagi.
Konon ada motivasi di sana. Ada hasrat yang menyala untuk melanjutkan kehidupan dan menjadi lebih baik. Maka hal-hal itulah yang melahirkan mukjizat kesembuhan.
Becermin dari sana, saya penasaran apakah mungkin ada motivasi atau hasrat menyala yang bisa menyembuhkan negeri ini. Kalau ada, seperti apa bentuknya dan oleh siapa? Sampai sekarang masih gelap bagi saya untuk menduga-duga kemungkinan yang bisa memunculkan keajaiban. Terlalu banyak perilaku simptomatik di negeri ini sehingga kita nyaris tidak bisa menebak apa penyakit sebenarnya. Dan lebih dari itu, apa akar masalahnya.
Anda bisa mengatakan bahwa kita kekurangan bakat-bakat kepemimpinan sembari memberikan sejumlah alasan. Itu bisa menjadi spekulasi yang masuk akal. Anda bisa mengatakan bahwa di sini terlalu banyak ketamakan. Ada pragmatisme yang gila-gilaan sehingga setiap bentuk otoritas selalu diperlakukan seperti jalan tol untuk mengeruk pelbagai keuntungan. Itu juga bisa merupakan analisis yang mudah diterima. Anda bisa menggonggong dan berspekulasi apa pun tentang pengelolaan negeri ini, kafilah kekuasaan akan tetap berjalan begitu-begitu saja.
Dalam versi saya, negeri ini kekurangan cerita yang baik. Setiap hari kita hanya menjumpai cerita-cerita buruk yang membikin kita sesak nafas, atau jengkel, atau memendam kemarahan. Ini cerita-cerita yang tidak menyehatkan.
Kita memerlukan cerita-cerita yang menyembuhkan. Dalam mitologi Yunani, ada seorang pemuda yang berkelana dengan tujuan menemui orang-orang yang menderita oleh penyakit, oleh perang, oleh bencana, oleh kelaparan, atau oleh penyebab-penyebab lainnya. Kepada orang-orang yang menderita, ia menuturkan cerita-cerita yang bisa meringankan penderitaan--sebab di sana ada inspirasi yang bisa membebaskan orang dari rasa sakit.
Tentu ada inspirasi juga dalam cerita-cerita yang buruk. Ada implikasi di dalam setiap cerita, baik atau buruk cerita itu. Bedanya, dalam cerita-cerita yang buruk kita kemungkinan besar hanya akan mendapatkan inspirasi yang buruk. Tidak mungkin kita mendapatkan inspirasi yang baik dari cerita tentang DPR yang senang piknik misalnya. Tidak mungkin kita mendapatkan inspirasi untuk kebaikan pada cerita-cerita tentang kegagalan menegakkan hukum. Dari cerita-cerita tersebut, Anda hanya akan mendapatkan kesengsaraan dan ujung-ujungnya kemarahan. Hanya kemarahan yang merupakan respons terbaik bagi cerita-cerita yang menguras kesabaran itu.
Apa pesan tersirat dari cerita penusukan jemaat HKBP? Atau dari cerita tentang jembatan yang ambles, tanpa gempa tanpa bencana? Keburukan bisa terjadi sewaktu-waktu, bahkan dalam situasi yang adem-adem saja, pada bulan ketika orang saling memaafkan lahir dan batin.
Dengan cerita-cerita buruk yang terus menyerbu kita setiap hari, dari mana kita bisa mendapatkan inspirasi? Kita memerlukan kekuatan kekuatan pendorong dari dalam diri sendiri; kita memerlukan motivasi untuk memberantas akar masalah. Seorang teman mengatakan bahwa hanya diperlukan sedikit kewarasan untuk bangkit membereskan diri.
Saya setuju sekali dengan itu. Satu-satunya orang yang tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri adalah orang yang mengalami kerusakan otak. Ia tidak bisa lagi menggunakan otaknya, mungkin karena ada kelumpuhan dalam organ terpenting itu. Bisa kerusakan fisiologis, bisa kerusakan psikologis.
Jenis lain yang gagal mengatasi masalah adalah orang yang ketololannya sebegitu rupa sehingga tidak mampu mencerna apa pun dan gagal memperlajari apa pun. Tidak ada pengetahuan, tidak ada kecakapan baru yang bisa dipelajari oleh orang yang sangat tolol. Nah, saya tidak mampu membayangkan bahwa negeri ini serupa dengan orang yang tidak mampu menggunakan otaknya untuk menggerakkan perubahan.
Urusan DPR suka pelesir akan menjadi masalah sepele ketika kita bisa memberi tahu mereka bahwa ada banyak hal yang bisa dilakukan selain pelesir. Tetapi ketika otak tidak mampu mencerna saran atau kata-kata atau apalagi analisis, maka segalanya akan menjadi hal yang sia-sia belaka. Mungkin yang terjadi benar-benar kerusakan otak. Saya kira penting di waktu-waktu mendatang untuk menguji kondisi otak seseorang dalam fit and proper test untuk setiap jabatan publik.
Kalau memang tidak ada yang fit and proper, dan kita semalas Dayang Sumbi untuk mengatasi masalah sendiri, saya kira tak ada jalan lain kecuali menyelenggarakan sayembara: Barang siapa bisa menyembuhkan penyakit negeri ini, kalau laki-laki akan dijadikan suami, kalau perempuan akan dijadikan saudara kandung. Kalaupun yang bisa menyembuhkan adalah seekor anjing, tak apalah. Seekor anjing cukup baik bagi bangsa yang tak bisa membangkitkan diri sendiri.
0 comments: