Siapa sangka akhirnya Pak Raji memilih untuk menyusul putrinya yang lebih dulu pergi seminggu sebelumnya. Tubuh laki-laki tua itu ditemukan menggantung di tali bambu yang dikaitkan di langit-langit kamar, lewat tengah malam, oleh salah seorang warga kampung yang hendak mengabarkan padanya bahwa putranya, Sardo, telah meninggal di Rumah Sakit. Sebelumnya Sardo mengalami kecelakaan sewaktu menempuh perjalanan pulang dari kota kabupaten tempat ia bekerja. Pak Raji sendiri lah yang telah menyuruhnya pulang, lewat HP milik Jono, pemuda yang tinggal di rumah sebelah. Kedua jasad tak bernyawa tersebut dibaringkan bersama dalam satu ranjang di ruang tamu, sebelum akhirnya dimakamkan pada pagi harinya, di samping makam yang masih wangi oleh bunga tujuh rupa, makam putri Pak Raji sendiri, Riani.
Tiga hari setelah kematian Riani, mulai tersiar kabar bahwa arwah perempuan itu gentayangan. Ia beberapa kali menampakan diri di jalanan kampung. Tiga warga dengan penuh keyakinan menuturkannya bahwa jelas-jelas itu adalah arwah Riani. Berita itu menyebar dengan cepat ke tiap sudut kampung seperti air bah. Ketika mendengar kabar tersebut hati Raji serasa di sayat-sayat silet. Rinten, istrinya menangis dan memekik, membujuk suaminya untuk segera melakukan sesuatu. Raji hanya menghela nafas, tak tahu apa yang mesti dilakukan, itu adalah urusan kehidupan gaib seseorang dan tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu sampai Riani mendapatkan sendiri ketenangannya, ujarnya dalam hati
Mereka menyadari, dan seluruh warga kampung pun tahu bahwa kepergian Riani memang tidak wajar, tetapi mereka tidak menyangka Riani akan berubah menjadi hantu gentayangan. Raji telah melakukan segala apa yang mesti dilakukan agar arwah putrinya mendapatkan ketenangan; menyiramnya dengan air doa, menaburi bunga, meminta Pak Kyai untuk mendoakan. Namun ketika segala usaha tersebut tidak mampu memberi ketenangan pada putrinya di alam kubur, apa lagi yang mesti dilakukan? katanya kepada Rinten. Dalam hati ia hanya berharap semoga apa yang dituturkan oleh warga tentang putrinya adalah kebohongan belaka. Ia tahu, tidak ada yang lebih menarik bagi warga kampung selain menggunjingkan hal-hal yang tidak kasat mata.
Hari ke empat berita tentang arwah Riani semakin santer. Keadaan kampung ketika malam hari seperti kembali lagi ke jaman pendudukan Jepang. Di rumah Rinten semakin kesal dengan kepasifan suaminya itu. Akhirnya setelah tiga malam keadaan semakin kacau, Raji mendatangi Wahid, kyai paling terkemuka di kampung tersebut untuk meminta penjelasan. Tolonglah Pak Kyai, beri ketenangan untuk anakku, kata Raji sambil membungkuk-bungkuk di depan Kyai Wahid. Kita pasrahkan semuanya pada Gusti Allah, jawab kyai berusia 82 tahun tersebut. Kyai wahid masuk ke dalam kamar, dan kembali muncul setelah sepuluh menit kemudian dengan membawa air yang ditaruh dalam botol plastik. Siramlah air doa ini di atas makamnya, semoga Gusti Allah lekas memberinya tempat yang tenang, kata Kyai Wahid.
Malam harinya, kabar-kabar itu dibuktikan oleh Raji sendiri. Di dalam tidurnya, antara sadar dan tidak sadar ia melihat sosok putrinya berjalan memasuki kamar yang ia tempati, mengenakan pakaian yang terakhir ia pakai sewaktu meninggal. Raji dalam ketidak berdayaan hanya bisa menatap sosok putrinya itu. Ingin sekali ia berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ingin sekali ia bangkit dan berlari, namun seluruh tubuhnya terasa lumpuh. Saraf motoriknya mati seketika itu juga. Tiba-tiba ia merasakan lehernya begitu sempit, nafasnya tersumbat di tenggorokan. Raji meronta, tangannya menggapai-gapai di udara kosong. Putrinya datang malam itu untuk mencekiknya.
Sementara di kamar sebelah, Rinten gelisah dalam tidurnya. Terdengar beberapa kali suara desahan dari mulutnya, kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan seperti sedang berontak melepaskan diri dari satu mimpi buruk.
Kejadian itu berlangsung hanya beberapa detik, secara tiba-tiba cekikan itu terlepas begitu saja, seiring dengan sosok putrinya yang kemudian menghilang. Raji langsung beranjak dari tempat tidur dan duduk di ruang tamu. Tanpa sadar tubuhnya telah basah oleh keringat. Diisapnya rokok dalam-dalam untuk menenangkan pikiran sambil sesekali meraba lehernya.
Pintu di kamar istrinya terbuka, dan di keremangan ruangan ia melihat sosok tua Rinten melangkah menghampiri dirinya. Ia melihat wajah istrinya yang disinari bias cahaya dari dalam kamar mengilat oleh keringat. Sepasang suami istri itu kemudian duduk dengan diam.
“Apakah kamu bermimpi tadi?” tanya Raji. Rinten tahu apa yang sedang ditanyakan oleh suaminya itu, dan ia mengangguk, tanpa menoleh ke arah Raji.
Pukul 4 kurang seperempat pagi. Raji melangkah menuju ke ruang belakang, meninggalkan istrinya yang masih duduk terpaku merenungkan sesuatu. Beberapa saat kemudian Rinten mendengar suara ribut di balik langit-langit di atas kepalanya. Perempuan tua itu mendongak ke atas, memperkirakan apakah itu suara kaki suaminya atau suara tikus yang berlari. Suara ribut itu kemudian lenyap dan berganti suara gemericik air di kamar mandi. Tak lama kemudian suaminya muncul, tangan, wajah, serta rambutnya telah basah. Laki-laki itu masuk ke dalam kamar, di punggung dan rambutnya, yang tersinari oleh cahaya lampu listrik 5 watt dari dalam kamar, Rinten bisa melihat sarang laba-laba yang masih menempel.
Di dalam kamar Raji mengambil sesuatu dari pinggangnya dan meletakannya di atas kasur, mengganti pakaian dengan yang lebih bersih, mengenakan sarung, menggelar sajadah di atas ubin kemudian mematikan lampu kamar dan duduk sila di atas kain beludru bergambar ka’bah tersebut.
Sebelum Raji memusatkan pikiran, ia termenung sejenak, teringat pada beberapa tahun silam ketika terakhir kali ia melakukan hal seperti ini. Ia sempat berjanji tidak akan lagi bersinggungan dengan dunia mistik seperti ini, apapun keadaannya. Disamping karena letih harus selalu melayani kebutuhan-kebutuhan dunia gaibnya, juga karena kekalahannya, oleh jaman dan oleh seorang pemuda pendatang baru di kampung, Sudi namanya, laki-laki asal Banten yang menikah dengan anak perempuan Pak Karta.
Raji, penguasa tunggal dunia klenik saat itu, orang yang mampu menyembuhkan penyakit atau membunuh seseorang dari jarak jauh hanya dengan bantuan udara dan kegelapan. Namun tanpa disangkanya, Sudi memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi darinya. Mereka sempat beradu ilmu, duduk dalam gelap di kamar masing-masing dan saling mengirimkan bola-bola api tak tampak. Adu ilmu itu terus berlanjut sampai beberapa hari, hingga Sardo, yang saat itu masih berusia lima tahun hampir mati kena cekik oleh iblis kiriman Sudi. Istrinya, Rinten jatuh terkulai di atas kasur, suhu tubuhnya sangat tinggi dan mulutnya kerap mengigau. Akhirnya Raji mengaku kalah.
Beberapa bulan kemudian Sudi meninggalkan kampung bersama istrinya untuk bekerja di Jakarta. Tidak lama setelah itu, teknologi mulai merasuki kampung, dampak dari masuknya listrik. Radio, televisi, tape recorder, perusahaan rumah tangga yang semakin produktif karena bantuan listrik, penghasilan warga yang meningkat, jalan raya penghubung antar kota yang diaspal dengan baik dan dunia sekolah yang perlahan namun pasti menjadi bagian dari kehidupan pokok warga. Akhirnya orang-orang mulai beralih kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan dokter, seketika itu juga pernyataan-pernyataan ulama bahwa satu langkah menuju ke rumah dukun berakibat neraka mendapatkan pengakuan. Sejak itu Raji mulai meninggalkan profesinya sebagai pengobat, penjaga ataupun konsultan dalam hal dunia gaib dan beralih menjadi seorang tukang ojek, mendapatkan modal motor dari hasil kredit pada seorang rentenir.
Di pusatkannya seluruh pikiran, menutup kedua mata dan mengatur nafas. Ia merasakan udara dini hari itu berubah menjadi panas. Tubuhnya kembali berkeringat seperti beberapa menit lalu selepas ia dari mimpi buruk. Dari masjid terdengar sayup-sayup suara orang mengaji, hal yang biasa dilakukan ketika menjelang subuh. Suara itu perlahan-lahan mengecil di telinga Raji hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kini pria tua itu telah berada di satu hari yang terang benderang oleh sinar matahari, berdiri di ambang pintu kamar putrinya, Riani dan menyaksikan peristiwa yang tidak satu orang tua pun di dunia ini mampu menahan diri dari kebencian dan jijik yang luar biasa.
Pagi harinya, ia menyiramkan air yang dikasih oleh Kyai Wahid ke atas kuburan putrinya, dan bergegas meninggalkan area makam setelah semuanya selesai. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu Jono, pemuda 25 tahun yang bekerja sebagai pegawai kantor Kecamatan, menyuruhnya untuk mengirimkan pesan lewat HP kepada putranya, Sardo. Raji meninggalkan pemuda itu seletah pesan itu berhasil dikirimkan. Setengah jam kemudian Jono menghampiri Raji yang sedang duduk di ruang tamu bersama istrinya, menunjukkan balasan pesan yang dikirimkan oleh Sardo, nanti sore aku pulang, begitu bunyi pesan tersebut.
Siang itu, Raji terus mengurung diri di dalam rumahnya. Tenggelam selama berjam-jam dalam lamunan, bersama segelas kopi dan rokok. Rinten hanya terdiam melihat tatapan kosong suaminya itu, tidak perlu ia bertanya mengapa, karena Rinten tahu apa yang sedang dirasakan Raji. Rinten berharap air doa dari Kyai Wahid mampu menyelesaikan semua kepedihan ini.
Malam harinya Jono kembali mendatangi kediaman Raji. Dengan tergopoh-gopoh ia memasuki rumah itu dan mendapati Raji sedang duduk termangu di depan tungku. Rinten sedang berada di dalam kamar mandi saat itu. Dengan sangat berhati-hati, Jono membacakan SMS yang baru datang di HP-nya kepada Raji. Setelah pesan tersebut selesai dibacakan, Raji berubah menjadi tegang dengan wajah yang sangat pucat. Jono kemudian meninggalkan begitu saja sosok Raji yang mematung seolah sudah ditinggalkan oleh rohnya.
Kemudian terdengar jerit tangis di ruang tamu. Rinten yang baru saja keluar dari kamar mandi mendapatkan kabar serupa dari Jono. Perempuan itu hampir pingsan, jatuh terkulai di atas lantai. Dengan susah payah Jono membopongnya ke dalam kamar. Dalam hitungan menit rumah tersebut telah ramai dikunjungi oleh para warga. Kabar tentang kecelakaan yang dialami oleh Sardo merambat cepat di udara dan masuk ke telinga penduduk.
Sementara itu Raji sedang berada dalam perjalanan menuju Rumah Sakit tempat putranya dirawat. Raji meninggalkan rumahnya sesaat setelah Jono pergi, membiarkan istrinya tergeletak sendirian tak berdaya di atas kasur sebelum akhirnya penduduk datang.
Satu jam perjalanan yang ditempuh Raji dari kampungnya menuju kota Kabupaten. Sampai di Rumah sakit ia mendapati anaknya berada di ruang Unit Gawat Darurat. Hanya Sardo pasien yang ada di ruangan tersebut. Ranjang-ranjang yang berbaris di sampingnya kosong. Memandangi tubuh anaknya, Raji tak mampu lagi menahan tangis. Sejak pagi itu ia telah menanggung kepedihan yang amat sangat, dan ia mampu menahan air matanya. Baru sekaranglah air mata itu menetes.
Ketika pertama kali ia mendengar kabar bahwa putranya itu kecelakaan, diam-diam ia merasakan satu perasaan lain merasukinya. Kesedihannya pelan namun pasti tergantikan oleh perasaan itu, perasaan yang ia sendiri malu mengakuinya tetapi tak dapat dipungkirinya kalau itu membuatnya lega. Orang tua mana yang ketika mendengar anaknya kecelakaan justru mendapatkan perasaan lega di hatinya? Raji tahu itu sangat tidak pantas, namun kecelakaan itu memberinya harapan untuknya terlepas dari beban pikiran yang bercampur aduk menyesaki pikirannya seharian itu. Beban kebencian, kemarahan, rasa jijik sekaligus keprihatinan mengingat bagaimanapun juga Sardo adalah darah dagingnya sendiri. Orang tua itu berharap semoga anaknya mengalami luka parah dan segera dicabut nyawanya, dan Raji akan terbebas dari sebuah tanggung jawab.
Raji berdiri di samping ranjang yang ditempati oleh Sardo. Pemuda itu terbaring tak sadarkan diri. Keadaan Rumah Sakit begitu sepi. Hampir pukul 12 malam. Tidak ada tanda-tanda Sardo akan mengalami sekarat. Keadaan itu membuat gusar Raji. Sementara ia menduga sebentar lagi pasti para penduduk datang untuk menengok. Raji menghitung mundur mulai dari angka lima-- hanya sekadar untuk memberi kekuatan dalam hatinya, sambil menengok keadaan di luar ruangan. Melintas kemudian kejadian beberapa hari lalu, ketika ia menemukan anak gadisnya yang berusia 19 tahun meninggal dalam keadaan mengenaskan di atas kasur. Mulut dan hidungnya berbusa, tubuhnya terbaring di atas genangan darah yang keluar dari pergelangan tangannya.
Raji merapatkan tabir pembatas antar ruangan. Hitungan sudah mencapai angka tiga, Raji masih berharap malaikat maut datang menjemput anaknya. Sampai hitungan ke dua, keadaan masih tidak berubah. Ia tidak tahu lagi mesti bagaimana. Bayangan dalam terawang semedinya dini hari tadi terus mendesak pikirannya. Dalam bayangan itu ia melihat anak laki-lakinya sedang melakukan perbuatan bejat yang iblis sendiri pun tidak akan melakukannya. Seperti seorang kerasukan, Sardo menindih tubuh adiknya di atas kasur, menampar mukanya beberapa kali, menelanjanginya dan memperkosanya dengan kebrutalan hewani.
Raji menengok sekali lagi pada keadaan sekitar, kemudian dengan cepat mencabut segala selang yang masuk ke tubuh Sardo. Dengan sekuat tenaga Raji mencekik leher putranya itu. Sardo meronta, dan Raji semakin memperkuat cekikannya. Mata anak itu melotot ke arah Raji, dan orang tua itu membalasnya dengan tatapan yang tak kalah tajam. Ia tidak mau menanggung perasaan sesal terus menerus setelah ini, dan ia akan melawan rasa pedih di hatinya, menatap tajam-tajam wajah putranya yang sedang meregang nyawa. Mata anak itu semakin terbuka lebar, memandang ke arah Raji, mulutnya terbuka setengah dan lidahnya sedikit demi sedikit menjulur. Air mata Raji membanjir, ia lawan kesedihannya dengan kekejaman. Dan ia tak mau lari atau berpaling, semakin ia bersedih semakin ia membrutalkan diri. Akhirnya Raji merasakan tubuh anaknya melemas, kakinya yang kejang perlahan-lahan berhenti. Raji seakan melihat roh putranya keluar melayang lewat mulutnya yang menganga. Raji memastikan sekali lagi kalau anak itu benar-benar telah meninggal. Ia tutup mata anaknya dengan telapak tangan, setelah itu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Satu jam kemudian Pak Lurah Kardi ditemani oleh Jono dan tiga warga kampung lainnya sampai di Rumah Sakit. Kesedihan langsung menyambut ketika mereka melihat keadaan Sardo yang terbaring kaku tak bernyawa tanpa seorang pun di sampingnya.
“Cepat kabarkan ke penduduk.” perintah Pak Lurah. “Jangan pakai SMS, bodoh!” bentaknya kepada Jono ketika dilihatnya anak itu memencet tombol-tombol HP. Jono langsung memasukkan telefon selulernya ke dalam kantong dan bergegas keluar ruangan menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda motor.
Sesampainya di kampung, Jono langsung menuju tempat tinggal Raji dan mendapati rumah itu telah sepi, lampu di ruang tamu telah dimatikan. Pintu depan ternyata tidak terkunci dan Jono langsung masuk begitu saja. Seberkas cahaya dari dalam kamar menyinari salah satu sisi ruang tamu. Sayup-sayup Jono mendengar suara tangis namun juga diselingi tawa seorang wanita. Ia dapati sumber suara tersebut ternyata ada di dalam kamar, dan dari ambang pintu kamar Jono melihat Rinten sedang duduk di atas genangan air kencingnya sendiri, rambutnya acak-acakan dan pakaian di tubuhnya koyak. Perempuan itu menangis tersedu kemudian tertawa tanpa alasan, menatap sosok laki-laki yang menggantung kaku pada seutas tali bambu di dekat kepalanya.
Tiga hari setelah kematian Riani, mulai tersiar kabar bahwa arwah perempuan itu gentayangan. Ia beberapa kali menampakan diri di jalanan kampung. Tiga warga dengan penuh keyakinan menuturkannya bahwa jelas-jelas itu adalah arwah Riani. Berita itu menyebar dengan cepat ke tiap sudut kampung seperti air bah. Ketika mendengar kabar tersebut hati Raji serasa di sayat-sayat silet. Rinten, istrinya menangis dan memekik, membujuk suaminya untuk segera melakukan sesuatu. Raji hanya menghela nafas, tak tahu apa yang mesti dilakukan, itu adalah urusan kehidupan gaib seseorang dan tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu sampai Riani mendapatkan sendiri ketenangannya, ujarnya dalam hati
Mereka menyadari, dan seluruh warga kampung pun tahu bahwa kepergian Riani memang tidak wajar, tetapi mereka tidak menyangka Riani akan berubah menjadi hantu gentayangan. Raji telah melakukan segala apa yang mesti dilakukan agar arwah putrinya mendapatkan ketenangan; menyiramnya dengan air doa, menaburi bunga, meminta Pak Kyai untuk mendoakan. Namun ketika segala usaha tersebut tidak mampu memberi ketenangan pada putrinya di alam kubur, apa lagi yang mesti dilakukan? katanya kepada Rinten. Dalam hati ia hanya berharap semoga apa yang dituturkan oleh warga tentang putrinya adalah kebohongan belaka. Ia tahu, tidak ada yang lebih menarik bagi warga kampung selain menggunjingkan hal-hal yang tidak kasat mata.
Hari ke empat berita tentang arwah Riani semakin santer. Keadaan kampung ketika malam hari seperti kembali lagi ke jaman pendudukan Jepang. Di rumah Rinten semakin kesal dengan kepasifan suaminya itu. Akhirnya setelah tiga malam keadaan semakin kacau, Raji mendatangi Wahid, kyai paling terkemuka di kampung tersebut untuk meminta penjelasan. Tolonglah Pak Kyai, beri ketenangan untuk anakku, kata Raji sambil membungkuk-bungkuk di depan Kyai Wahid. Kita pasrahkan semuanya pada Gusti Allah, jawab kyai berusia 82 tahun tersebut. Kyai wahid masuk ke dalam kamar, dan kembali muncul setelah sepuluh menit kemudian dengan membawa air yang ditaruh dalam botol plastik. Siramlah air doa ini di atas makamnya, semoga Gusti Allah lekas memberinya tempat yang tenang, kata Kyai Wahid.
Malam harinya, kabar-kabar itu dibuktikan oleh Raji sendiri. Di dalam tidurnya, antara sadar dan tidak sadar ia melihat sosok putrinya berjalan memasuki kamar yang ia tempati, mengenakan pakaian yang terakhir ia pakai sewaktu meninggal. Raji dalam ketidak berdayaan hanya bisa menatap sosok putrinya itu. Ingin sekali ia berteriak, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ingin sekali ia bangkit dan berlari, namun seluruh tubuhnya terasa lumpuh. Saraf motoriknya mati seketika itu juga. Tiba-tiba ia merasakan lehernya begitu sempit, nafasnya tersumbat di tenggorokan. Raji meronta, tangannya menggapai-gapai di udara kosong. Putrinya datang malam itu untuk mencekiknya.
Sementara di kamar sebelah, Rinten gelisah dalam tidurnya. Terdengar beberapa kali suara desahan dari mulutnya, kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan seperti sedang berontak melepaskan diri dari satu mimpi buruk.
Kejadian itu berlangsung hanya beberapa detik, secara tiba-tiba cekikan itu terlepas begitu saja, seiring dengan sosok putrinya yang kemudian menghilang. Raji langsung beranjak dari tempat tidur dan duduk di ruang tamu. Tanpa sadar tubuhnya telah basah oleh keringat. Diisapnya rokok dalam-dalam untuk menenangkan pikiran sambil sesekali meraba lehernya.
Pintu di kamar istrinya terbuka, dan di keremangan ruangan ia melihat sosok tua Rinten melangkah menghampiri dirinya. Ia melihat wajah istrinya yang disinari bias cahaya dari dalam kamar mengilat oleh keringat. Sepasang suami istri itu kemudian duduk dengan diam.
“Apakah kamu bermimpi tadi?” tanya Raji. Rinten tahu apa yang sedang ditanyakan oleh suaminya itu, dan ia mengangguk, tanpa menoleh ke arah Raji.
Pukul 4 kurang seperempat pagi. Raji melangkah menuju ke ruang belakang, meninggalkan istrinya yang masih duduk terpaku merenungkan sesuatu. Beberapa saat kemudian Rinten mendengar suara ribut di balik langit-langit di atas kepalanya. Perempuan tua itu mendongak ke atas, memperkirakan apakah itu suara kaki suaminya atau suara tikus yang berlari. Suara ribut itu kemudian lenyap dan berganti suara gemericik air di kamar mandi. Tak lama kemudian suaminya muncul, tangan, wajah, serta rambutnya telah basah. Laki-laki itu masuk ke dalam kamar, di punggung dan rambutnya, yang tersinari oleh cahaya lampu listrik 5 watt dari dalam kamar, Rinten bisa melihat sarang laba-laba yang masih menempel.
Di dalam kamar Raji mengambil sesuatu dari pinggangnya dan meletakannya di atas kasur, mengganti pakaian dengan yang lebih bersih, mengenakan sarung, menggelar sajadah di atas ubin kemudian mematikan lampu kamar dan duduk sila di atas kain beludru bergambar ka’bah tersebut.
Sebelum Raji memusatkan pikiran, ia termenung sejenak, teringat pada beberapa tahun silam ketika terakhir kali ia melakukan hal seperti ini. Ia sempat berjanji tidak akan lagi bersinggungan dengan dunia mistik seperti ini, apapun keadaannya. Disamping karena letih harus selalu melayani kebutuhan-kebutuhan dunia gaibnya, juga karena kekalahannya, oleh jaman dan oleh seorang pemuda pendatang baru di kampung, Sudi namanya, laki-laki asal Banten yang menikah dengan anak perempuan Pak Karta.
Raji, penguasa tunggal dunia klenik saat itu, orang yang mampu menyembuhkan penyakit atau membunuh seseorang dari jarak jauh hanya dengan bantuan udara dan kegelapan. Namun tanpa disangkanya, Sudi memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi darinya. Mereka sempat beradu ilmu, duduk dalam gelap di kamar masing-masing dan saling mengirimkan bola-bola api tak tampak. Adu ilmu itu terus berlanjut sampai beberapa hari, hingga Sardo, yang saat itu masih berusia lima tahun hampir mati kena cekik oleh iblis kiriman Sudi. Istrinya, Rinten jatuh terkulai di atas kasur, suhu tubuhnya sangat tinggi dan mulutnya kerap mengigau. Akhirnya Raji mengaku kalah.
Beberapa bulan kemudian Sudi meninggalkan kampung bersama istrinya untuk bekerja di Jakarta. Tidak lama setelah itu, teknologi mulai merasuki kampung, dampak dari masuknya listrik. Radio, televisi, tape recorder, perusahaan rumah tangga yang semakin produktif karena bantuan listrik, penghasilan warga yang meningkat, jalan raya penghubung antar kota yang diaspal dengan baik dan dunia sekolah yang perlahan namun pasti menjadi bagian dari kehidupan pokok warga. Akhirnya orang-orang mulai beralih kepercayaan pada ilmu pengetahuan dan dokter, seketika itu juga pernyataan-pernyataan ulama bahwa satu langkah menuju ke rumah dukun berakibat neraka mendapatkan pengakuan. Sejak itu Raji mulai meninggalkan profesinya sebagai pengobat, penjaga ataupun konsultan dalam hal dunia gaib dan beralih menjadi seorang tukang ojek, mendapatkan modal motor dari hasil kredit pada seorang rentenir.
Di pusatkannya seluruh pikiran, menutup kedua mata dan mengatur nafas. Ia merasakan udara dini hari itu berubah menjadi panas. Tubuhnya kembali berkeringat seperti beberapa menit lalu selepas ia dari mimpi buruk. Dari masjid terdengar sayup-sayup suara orang mengaji, hal yang biasa dilakukan ketika menjelang subuh. Suara itu perlahan-lahan mengecil di telinga Raji hingga akhirnya hilang sama sekali.
Kini pria tua itu telah berada di satu hari yang terang benderang oleh sinar matahari, berdiri di ambang pintu kamar putrinya, Riani dan menyaksikan peristiwa yang tidak satu orang tua pun di dunia ini mampu menahan diri dari kebencian dan jijik yang luar biasa.
Pagi harinya, ia menyiramkan air yang dikasih oleh Kyai Wahid ke atas kuburan putrinya, dan bergegas meninggalkan area makam setelah semuanya selesai. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu Jono, pemuda 25 tahun yang bekerja sebagai pegawai kantor Kecamatan, menyuruhnya untuk mengirimkan pesan lewat HP kepada putranya, Sardo. Raji meninggalkan pemuda itu seletah pesan itu berhasil dikirimkan. Setengah jam kemudian Jono menghampiri Raji yang sedang duduk di ruang tamu bersama istrinya, menunjukkan balasan pesan yang dikirimkan oleh Sardo, nanti sore aku pulang, begitu bunyi pesan tersebut.
Siang itu, Raji terus mengurung diri di dalam rumahnya. Tenggelam selama berjam-jam dalam lamunan, bersama segelas kopi dan rokok. Rinten hanya terdiam melihat tatapan kosong suaminya itu, tidak perlu ia bertanya mengapa, karena Rinten tahu apa yang sedang dirasakan Raji. Rinten berharap air doa dari Kyai Wahid mampu menyelesaikan semua kepedihan ini.
Malam harinya Jono kembali mendatangi kediaman Raji. Dengan tergopoh-gopoh ia memasuki rumah itu dan mendapati Raji sedang duduk termangu di depan tungku. Rinten sedang berada di dalam kamar mandi saat itu. Dengan sangat berhati-hati, Jono membacakan SMS yang baru datang di HP-nya kepada Raji. Setelah pesan tersebut selesai dibacakan, Raji berubah menjadi tegang dengan wajah yang sangat pucat. Jono kemudian meninggalkan begitu saja sosok Raji yang mematung seolah sudah ditinggalkan oleh rohnya.
Kemudian terdengar jerit tangis di ruang tamu. Rinten yang baru saja keluar dari kamar mandi mendapatkan kabar serupa dari Jono. Perempuan itu hampir pingsan, jatuh terkulai di atas lantai. Dengan susah payah Jono membopongnya ke dalam kamar. Dalam hitungan menit rumah tersebut telah ramai dikunjungi oleh para warga. Kabar tentang kecelakaan yang dialami oleh Sardo merambat cepat di udara dan masuk ke telinga penduduk.
Sementara itu Raji sedang berada dalam perjalanan menuju Rumah Sakit tempat putranya dirawat. Raji meninggalkan rumahnya sesaat setelah Jono pergi, membiarkan istrinya tergeletak sendirian tak berdaya di atas kasur sebelum akhirnya penduduk datang.
Satu jam perjalanan yang ditempuh Raji dari kampungnya menuju kota Kabupaten. Sampai di Rumah sakit ia mendapati anaknya berada di ruang Unit Gawat Darurat. Hanya Sardo pasien yang ada di ruangan tersebut. Ranjang-ranjang yang berbaris di sampingnya kosong. Memandangi tubuh anaknya, Raji tak mampu lagi menahan tangis. Sejak pagi itu ia telah menanggung kepedihan yang amat sangat, dan ia mampu menahan air matanya. Baru sekaranglah air mata itu menetes.
Ketika pertama kali ia mendengar kabar bahwa putranya itu kecelakaan, diam-diam ia merasakan satu perasaan lain merasukinya. Kesedihannya pelan namun pasti tergantikan oleh perasaan itu, perasaan yang ia sendiri malu mengakuinya tetapi tak dapat dipungkirinya kalau itu membuatnya lega. Orang tua mana yang ketika mendengar anaknya kecelakaan justru mendapatkan perasaan lega di hatinya? Raji tahu itu sangat tidak pantas, namun kecelakaan itu memberinya harapan untuknya terlepas dari beban pikiran yang bercampur aduk menyesaki pikirannya seharian itu. Beban kebencian, kemarahan, rasa jijik sekaligus keprihatinan mengingat bagaimanapun juga Sardo adalah darah dagingnya sendiri. Orang tua itu berharap semoga anaknya mengalami luka parah dan segera dicabut nyawanya, dan Raji akan terbebas dari sebuah tanggung jawab.
Raji berdiri di samping ranjang yang ditempati oleh Sardo. Pemuda itu terbaring tak sadarkan diri. Keadaan Rumah Sakit begitu sepi. Hampir pukul 12 malam. Tidak ada tanda-tanda Sardo akan mengalami sekarat. Keadaan itu membuat gusar Raji. Sementara ia menduga sebentar lagi pasti para penduduk datang untuk menengok. Raji menghitung mundur mulai dari angka lima-- hanya sekadar untuk memberi kekuatan dalam hatinya, sambil menengok keadaan di luar ruangan. Melintas kemudian kejadian beberapa hari lalu, ketika ia menemukan anak gadisnya yang berusia 19 tahun meninggal dalam keadaan mengenaskan di atas kasur. Mulut dan hidungnya berbusa, tubuhnya terbaring di atas genangan darah yang keluar dari pergelangan tangannya.
Raji merapatkan tabir pembatas antar ruangan. Hitungan sudah mencapai angka tiga, Raji masih berharap malaikat maut datang menjemput anaknya. Sampai hitungan ke dua, keadaan masih tidak berubah. Ia tidak tahu lagi mesti bagaimana. Bayangan dalam terawang semedinya dini hari tadi terus mendesak pikirannya. Dalam bayangan itu ia melihat anak laki-lakinya sedang melakukan perbuatan bejat yang iblis sendiri pun tidak akan melakukannya. Seperti seorang kerasukan, Sardo menindih tubuh adiknya di atas kasur, menampar mukanya beberapa kali, menelanjanginya dan memperkosanya dengan kebrutalan hewani.
Raji menengok sekali lagi pada keadaan sekitar, kemudian dengan cepat mencabut segala selang yang masuk ke tubuh Sardo. Dengan sekuat tenaga Raji mencekik leher putranya itu. Sardo meronta, dan Raji semakin memperkuat cekikannya. Mata anak itu melotot ke arah Raji, dan orang tua itu membalasnya dengan tatapan yang tak kalah tajam. Ia tidak mau menanggung perasaan sesal terus menerus setelah ini, dan ia akan melawan rasa pedih di hatinya, menatap tajam-tajam wajah putranya yang sedang meregang nyawa. Mata anak itu semakin terbuka lebar, memandang ke arah Raji, mulutnya terbuka setengah dan lidahnya sedikit demi sedikit menjulur. Air mata Raji membanjir, ia lawan kesedihannya dengan kekejaman. Dan ia tak mau lari atau berpaling, semakin ia bersedih semakin ia membrutalkan diri. Akhirnya Raji merasakan tubuh anaknya melemas, kakinya yang kejang perlahan-lahan berhenti. Raji seakan melihat roh putranya keluar melayang lewat mulutnya yang menganga. Raji memastikan sekali lagi kalau anak itu benar-benar telah meninggal. Ia tutup mata anaknya dengan telapak tangan, setelah itu pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Satu jam kemudian Pak Lurah Kardi ditemani oleh Jono dan tiga warga kampung lainnya sampai di Rumah Sakit. Kesedihan langsung menyambut ketika mereka melihat keadaan Sardo yang terbaring kaku tak bernyawa tanpa seorang pun di sampingnya.
“Cepat kabarkan ke penduduk.” perintah Pak Lurah. “Jangan pakai SMS, bodoh!” bentaknya kepada Jono ketika dilihatnya anak itu memencet tombol-tombol HP. Jono langsung memasukkan telefon selulernya ke dalam kantong dan bergegas keluar ruangan menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda motor.
Sesampainya di kampung, Jono langsung menuju tempat tinggal Raji dan mendapati rumah itu telah sepi, lampu di ruang tamu telah dimatikan. Pintu depan ternyata tidak terkunci dan Jono langsung masuk begitu saja. Seberkas cahaya dari dalam kamar menyinari salah satu sisi ruang tamu. Sayup-sayup Jono mendengar suara tangis namun juga diselingi tawa seorang wanita. Ia dapati sumber suara tersebut ternyata ada di dalam kamar, dan dari ambang pintu kamar Jono melihat Rinten sedang duduk di atas genangan air kencingnya sendiri, rambutnya acak-acakan dan pakaian di tubuhnya koyak. Perempuan itu menangis tersedu kemudian tertawa tanpa alasan, menatap sosok laki-laki yang menggantung kaku pada seutas tali bambu di dekat kepalanya.
Jakarta, 2010
0 comments: