Masterpiece Sukarno dan SBY

By | Friday, April 27, 2012 Leave a Comment
Di Bawah Bendera Revolusi
Sumber Gambar: Wildmortal.blogspot
Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (DBBR), Sukarno menerbitkan semua karyanya agar dijadikan bahan renungan mengapa kita berbangsa. Di Buku DBBR ini Sukarno membaginya menjadi dua jilid, jilid pertama adalah benih-benih pemikiran Sukarno dalam merenungi bagaimana sebuah bangsa terbentuk, bagaimana sejarah masyarakat tercipta, bagaimana terciptanya akumulasi kapital sekaligus ruang penindasan bagi rakyat jelata terjadi, Sukarno meneliti kenapa rakyat tertindas, lalu bagaimana peran negara dalam ‘Pembebasan Masyarakat’. Bagaimana sebuah Negara harus memiliki dasar-dasarnya.

Dalam jilid I : Sukarno bercerita tentang Nasionalis, Agama dan Marxisme, ia mencari benang merahnya, Sukarno meneliti daya hidup hubungan tiga hal ini dalam pikiran dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Lalu di dalam jilid I juga dijabarkan pidato Pleidoi pembelaan Sukarno yang ia susun dalam tulisan “Indonesia Menggugat”. Dalam tulisan yang ia tulis pada tahun 1932 itu, ia menulis di Penjara Sukamiskin dengan beralaskan kaleng tempat buang air, dan sel sempit, ia menulis terus dalam ruang sempit tentang sejarah fakta-fakta Indonesia terpenjara dalam ruang lingkup besar atas nama Kapital, dan atas nama legitimasi Politik Internasional yang melegalkan “Penjajahan”. Sukarno ingin membebaskan penjajahan sepenuhnya.

Lalu Sukarno juga menulis “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”. Sukarno di sini menjabarkan tentang konsepsi demokrasi, apa substansi demokrasi terhadap sejarah perkembangan masyarakat.

Selanjutnya Sukarno juga menulis tentang “Fasisme vs Indonesia”; Bagaimana Indonesia harus melawan unsur-unsur fasisme negara, menulis tentang kenangan 50 tahun meninggalnya Karl Marx di tahun 1933, ia menguraikan arti penting Karl Marx dalam mencerahkan masyarakat Indonesia.

Kemudian dalam buku kedua, diterbitkan tulisan-tulisan Sukarno tentang sebuah Panduan Revolusi. Pidato-pidatonya sejak 1945 sampai dengan tahun 1964. “Penemuan Kembali Revolusi Kita” adalah landasan paling awal pemikiran Sukarno tentang jiwa sebuah bangsa yang bergolak, bangsa yang sedang membentuk dirinya, disini Sukarno menggambarkan dengan amat indah, bahwa Indonesia tak ubahnya seperti sebuah drama, seperti sebuah teater besar dalam gerak dan tari, air dan api. Sukarno menciptakan bahasa-bahasa yang indah seperti “Berdansa dengan Maut”, Genta Suara Revolusi, Vivere Pericolos = Tahun-tahun menyerempet bahaya.

Sukarno menggambarkan jalannya sejarah Indonesia dan perkembangannya adalah situasi bertema dramatik, menggetarkan dan penuh cinta. Sukarno adalah pecinta bangsanya, ia terobsesi dengan bangsanya, ia amat jatuh cinta dengan Indonesia dan orang-orangnya.

Seperti yang ia ucapkan kepada banyak orang di tahun 1962, “Aku mencintai bangsa ini, jatuh cinta berkali-kali, berkali-kali dan berkali-kali. Indonesiaku”

kover album SBY
Sumber gambar: RollingStone Indonesia
Kini mari kita ke Presiden SBY. Presiden SBY meluncurkan buku “Tembang Untuk Bangsaku, Bahasa Musik SBY” yang nggak jelas mau-nya apa. Kalaupun SBY dianggap mengerti sastra, sastra jenis apa, mungkin sastra penyair Salon yang mengusapi rembulan dengan Bir di tangan. Lagu-lagu SBY amat bermutu rendah, kalau bisa dianggap memalukan. Tak satu-pun rakyat hapal menyanyikan lagu-lagu SBY.

Bung Karno yang suaranya cempreng, kalau nyanyi sekalipun di dalam pidato-pidatonya selalu kemudian dihapal rakyatnya, tapi tidak bagi SBY. Rakyat tak ada yang tahu apa lagu SBY, ia udah modalin album segala, datengin ahli musik dan produser handal, tapi tak satupun rakyat hapal.

Dalam pikiran-pikiran Sukarno Indonesia dibawa ke dalam situasi peradaban, diarahkan dalam alam cita-cita dan perwujudan cita-cita, bersama SBY, Indonesia dibawa ke sebuah negeri Auto Pilot, Negeri tanpa Kepemimpinan, Negeri tanpa Keteladanan. Dia teriak “Katakan Tidak Pada Korupsi” Justru anak buahnya sendiri yang rakus makan anggaran.

Ketika SBY bernyanyi “Kuyakin Sampai Disana” SBY yakin saja tapi tidak bergerak sama sekali. Ia hanya meyakini, tapi tidak maju-maju. SBY mengajak rakyat bernyanyi soal rindu, bercerita tentang bangsanya soal lagu, tapi andai lagu-lagu SBY hidup di jaman Harmoko, maka lagu ini sudah disingkirkan karena tak sesuai dengan semangat jaman “Tak ada tempat untuk lagu-lagu cengeng”.

Karya terbesar Sukarno adalah sebuah bangsa yang memiliki kebanggaannya. Karya terbesar SBY adalah “lagu tentang rindu”. Perkara bayi-bayi lapar dan kurang gizi, anak sekolah menyeberang jembatan yang sudah hancur, perkara bangsa kita dipermalukan Malaysia, perkara Freeport secara de facto milik asing tak peduli, SBY tetap akan berlagu “Lagu tentang Rindu” Aku seorang biduan, biduan pujaan, pujaan tua muda.

Oleh: Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto

Newer Post Older Post Home

0 comments: