Bung Karno Arek Suroboyo
Dalam kalimat geram, acap saya berucap, “Kesintingan apa lagi ini… menyebut Bung Karno lahir di Blitar?!” Bahkan, meski begitu banyak literatur yang menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya, toh Kementerian Pendidikan tidak mengubah “kesintingan” tadi.
Tidak heran jika di sejumlah kelas setingkat SMU, acap terjadi perdebatan konyol antara sang guru dengan murid. Manakala guru menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar, sejumlah siswa kritis dan doyan membaca buku, kontan menyangkal, “Bukan pak Guru! Bung Karno tidak lahir di Blitar, tetapi di Surabaya.”
Dan apa yang terjadi? Guru yang malas membaca dan tidak benar-benar mendalami sejarah, serta merta marah dan dengan ngototnya menyebut Blitar sebagai kota kelahiran Bung Karno. Bahkan di salah satu sekolah di Surabaya sendiri, peristiwa seperti terlukis di atas, sungguh-sungguh terjadi. Perdebatan guru-murid tentang tempat kelahiran Bung Karno itu berhenti, manakala guru memberi ultimatum dan mengintimidasi sang murid.
Ending dari peristiwa debat tadi, mungkin begini… sang guru berkata dalam hati, “Guru kok dilawan!”… sementara sang murid termenung sambil menerawang, “bagaimana saya akan jadi manusia cerdas, kalau dididik oleh guru yang bodoh?!”
Bung Karno lahir di Surabaya. Titik. Bung Karno ternyata arek Suroboyo. Final. Tanggal 6 Juni 2011, Gang Pandean IV di bilangan Peneleh, Surabaya, riuh-rendah di depan rumah bernomor 40. Ya, atas dasar penelusuran, penelitian, kajian mendalam rekan-rekan Soekarno Institut Surabaya, ditemukanlah rumah tempat Putra Sang Fajar dilahirkan.
Sebelumnya, lebih tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru menenggelamkan segala sesuatu menyangkut Bung Karno. Jangankan tentang jasa-jasa dan pemikiran-pemikirannya, bahkan tempat di mana ia dilahirkan pun sedia disesatkan. Literatur yang digunakan di sekolah-sekolah, disebutkan Bung Karno lahir di Blitar. Ini adalah pembenar atas keputusan Soeharto yang memakamkan Bung Karno di Blitar.
Padahal, alasan di balik pemakaman Bung Karno di Blitar, semata karena pemerintah Orde Baru memang sedia menjauhkan jazad Bung Karno dari pusat kekuasaan. Padahal, jelas-jelas dalam testimoninya, Bung Karno menghendaki dimakamkan di Bogor. Begitulah, dengan kuasanya, Soeharto memutuskan mengubur jazad proklamator nun jauh di Blitar sana. Kemudian, memperkuatnya dengan alasan karena Bung Karno kelahiran Blitar.
Kengawuran sejarah yang berlangsung demikian lama, tanpa siapa pun kuasa meluruskannya. Elan reformasi digunakan oleh elemen Sukarnois untuk meluruskan sejarah tadi. Berbagai literatur dan bukti-bukti sejarah pun mulai diteliti. Jauh sebelum penelitian yang perisnya dilakukan sejak tahun 2002 itu, sejatinya sudah banyak publikasi yang menunjukkan bahwa tempat kelahiran Bung Karno adalah di Surabaya.
Pertama, buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia tulisan Cindy Adams. Jelas menyebutkan tuturan Bung Karno, bahwa ia lahir di Surabaya. Kedua, biograf Lambert Giebels dalam bukunya “Soekarno, Biografi Politik 1901 – 1950″ menyebutkan Bung Karno lahir di Jalan Pasar Besar, Surabaya. Dalam buku yang sama, Giebels juga menyebut tempat kelahiran Bung Karno di Gang Lawang Seketeng, suatu jalan masuk di kampung di seberang Kali Mas. Data terakhir dikutip dari “Soerabaja, Beeld van een stad, hal 24).
Nah, atas data-data itu pula, kemudian dilakukan penelusuran, hingga ditemukanlah rumah tempat Bung Karno dilahirkan, yaitu di Jalan Pandean IV, di sebuah rumah yang sekarang bernomor 40. Lokasinya memang dekat Kali Mas, dekat Lawang Seketeng.
Apa artinya? Artinya, semua literatur yang ditulis sebelum tahun 1966, semua menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya. Sebaliknya, semua literatur yang ditulis pasca 1967, bersamaan naiknya rezim Orde Baru, pemutarbalikkan sejarah pun terjadi.
Menelusuri Jejak Kelahiran Bung Karno
Hampir semua rumah peninggalan Belanda di kawasan Jalan Pandean, Surabaya masih asli. Antara satu rumah dan rumah lainnya nyaris tak ada berbeda, bentuk, model, dan coraknya bergaya kolonial. Sejak dulu, tidak ada yang spesial di kampung itu. Namun akhir - akhir ini, warga dikejutkan dengan penelitian yang menggemparkan.
Tidak hanya bagi warga setempat, masyarakat Indonesia pun dibuat tercengang dengan penemuan bahwa rumah kelahiran Soekarno, Presiden pertama RI yang juga Sang Proklamator, berada di sebuah gang sempit yang berukuran tidak lebih dari tiga meter di Kota Pahlawan, Surabaya. Bukan di Blitar sebagaimana yang diketahui masyarakat Indonesia selama ini.
Bung Karno dilahirkan di Surabaya, tepatnya di sebuah rumah kontrakan Jalan Lawang Seketeng, sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40. Ayahnya Raden Soekemi seorang guru sekolah rakyat dan ibunya Ida Ayu Rai seorang perempuan bangsawan Bali.
"Setelah kami lakukan penelitian dan melalui kajian cukup lama, ternyata rumah kelahiran Soekarno bukan di Blitar, melainkan di Surabaya," ujar Ketua Umum "Soekarno Institute", Peter A Rohi.
Ukuran bangunan rumah itu 6x14 meter. Terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga bersantai, dan dua kamar. Di belakang ada dapur yang terdapat juga sebuah tangga kayu untuk naik ke lantai dua. Di lantai atas tersebut, hanya digunakan untuk menjemur pakaian.
"Dari dulu, ya seperti ini. Kami tidak mengubahnya, atau merenovasi," ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini.
Ia mengaku menempati bangunan itu sejak 1990. Ketika itu, ia ikut kedua orangtuanya. Kakak Djamilah dan suaminya, H. Zaenal Arifin juga menetap rumah itu.
Kemudian, 1998 Djamilah menikahi Choiri. Setelah kedua orang tua Djamilah meninggal, mereka hanya tinggal berempat.
"Kami tidak menyangka bahwa rumah ini adalah tempat kelahiran Bung Karno. Sebuah kebanggaan dan anugerah karena kami tinggal di rumah tokoh kelas dunia. Tidak hanya presiden, tapi seorang yang patut menjadi teladan bangsa Indonesia," tutur Choiri, suami Djamilah.
"Kami sudah melalui kajian dan penelitian panjang sejak masa reformasi. Bahkan penelitian juga kami lakukan di Belanda. Buku-buku sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa di Surabaya inilah Bung Karno dilahirkan. Syukurlah sekarang bisa diresmikan," ujar Peter A. Rohi.
"Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika Serikat. Masak Presiden Indonesia tidak ada prasastinya? Kami memasangnya di rumah kelahiran Soekarno," katanya, menambahkan.
Pasang Prasasti
Dijelaskan Peter, pemasangan prasasti digelar 6 Juni 2011 karena disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901. Peter menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan bahwa Soekarno lahir di Blitar. Padahal, kata dia, berbagai buku-buku sejarah dan arsip nasional ditegaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya.
Ia berani menunjukkan puluhan koleksi buku sejarah yang menuliskan kelahiran Soekarno. Di antaranya, buku berjudul "Soekarno Bapak Indonesia Merdeka" karya Bob Hering, "Ayah Bunda Bung Karno" karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, "Kamus Politik" karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950.
Lainnya, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1955, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1985, dan "Im Yang Tjoe" tahun 1933 yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul "Soekarno Sebagi Manoesia" pada tahun 2008.
"Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya," tuturnya. Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah keliru.
"Dulu pascatragedi G30S/PKI, semua buku sejarah ditarik dan diganti di Pusat Sejarah ABRI pimpinan Nugroho Notosusanto. Tapi saya heran, kenapa ada pergantian kota kelahiran Soekarno? Semoga pemerintah ke depan sudah mengakui bahwa lahirnya presiden pertama Indonesia ada di Surabaya," papar Peter.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga mengaku sangat yakin bahwa Bung Karno bukan dilahirkan di Blitar. Pihaknya juga telah mengirim surat ke Pemerintah Pusat untuk meluruskan persoalan ini dan optimistis pemerintah mengakuinya.
"Kami masih menunggu respon dari Pemerintah Pusat. Tapi tahun 2010, walikota Surabaya saat itu, Bambang DH, sudah menandatangani prasasti sekaligus mengirimkan surat ke pemerintah pusat," tutur Tri Rismaharini.
Jadi Museum
Menurut Risma, pihaknya sudah menemui keluarga pemilik rumah, Choiri, agar bersedia menjualnya dan akan dijadikan museum atau tempat cagar budaya.
"Saya sudah memberikan tugas kepada Dinas Pariwisata Kota Surabaya untuk negosiasi harga dengan pemilik rumah. Nantinya rumah kelahiran Bung Karno akan dijadikan museum dan untuk kawasan sejarah," ujar Tri Rismaharini ketika ditemui di sela pemasangan prasasti dan peresmian rumah kelahiran Bung Karno, Senin (6/6).
Sayang, orang nomor satu di Surabaya tersebut enggan menyebutkan anggaran yang dikeluarkan. "Harga masih negosiasi. Saya sudah minta ke Bu Wiwik (Kepala Dinas Pariwisata) untuk mengalokasikan dana dari Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) Kota Surabaya. Lebih bagus lagi kalau masih ada barang-barang aslinya, agar bisa menceritakan ke anak-anak bahwa di Surabaya Bapak Proklamator dilahirkan," tutur Risma.
Sementara itu, keluarga Bung Karno, Prof. Haryono Sigit, mengakui bahwa orangtua Bung Karno pernah tinggal di rumah itu. Ia juga menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk mengelola rumah tersebut. "Mau diapakan rumah itu, bukan wewenang saya. Saya serahkan ke Pemkot," tukas mantan Rektor ITS Surabaya tersebut.
Direktur Utama Surabaya Herritage, Freddy H Istanto mengatakan, jika nantinya rumah kelahiran Soekarno dijadikan museum maka yang harus diperhatikan adalah sistem pengelolaannya.
Choiri, selaku pemilik rumah mengatakan, secara prinsip pihaknya tidak mempermasalahkan dan siap menjual rumahnya ke Pemkot Surabaya. Terkait harga, ia mengaku masih melakukan negosiasi untuk menentukan harga yang pas. "Tapi kami masih banyak saudara kok di Surabaya, sambil mencari rumah, kami mungkin tinggal di rumah saudara dulu," timpal Djamilah.
Sisi Lain Sukarno, Sukarno Tanpa Ahmad
Sumber:
- Roso Daras
- Antara
- Historia
Dalam kalimat geram, acap saya berucap, “Kesintingan apa lagi ini… menyebut Bung Karno lahir di Blitar?!” Bahkan, meski begitu banyak literatur yang menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya, toh Kementerian Pendidikan tidak mengubah “kesintingan” tadi.
Tidak heran jika di sejumlah kelas setingkat SMU, acap terjadi perdebatan konyol antara sang guru dengan murid. Manakala guru menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar, sejumlah siswa kritis dan doyan membaca buku, kontan menyangkal, “Bukan pak Guru! Bung Karno tidak lahir di Blitar, tetapi di Surabaya.”
Dan apa yang terjadi? Guru yang malas membaca dan tidak benar-benar mendalami sejarah, serta merta marah dan dengan ngototnya menyebut Blitar sebagai kota kelahiran Bung Karno. Bahkan di salah satu sekolah di Surabaya sendiri, peristiwa seperti terlukis di atas, sungguh-sungguh terjadi. Perdebatan guru-murid tentang tempat kelahiran Bung Karno itu berhenti, manakala guru memberi ultimatum dan mengintimidasi sang murid.
Ending dari peristiwa debat tadi, mungkin begini… sang guru berkata dalam hati, “Guru kok dilawan!”… sementara sang murid termenung sambil menerawang, “bagaimana saya akan jadi manusia cerdas, kalau dididik oleh guru yang bodoh?!”
Bung Karno lahir di Surabaya. Titik. Bung Karno ternyata arek Suroboyo. Final. Tanggal 6 Juni 2011, Gang Pandean IV di bilangan Peneleh, Surabaya, riuh-rendah di depan rumah bernomor 40. Ya, atas dasar penelusuran, penelitian, kajian mendalam rekan-rekan Soekarno Institut Surabaya, ditemukanlah rumah tempat Putra Sang Fajar dilahirkan.
Sebelumnya, lebih tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru menenggelamkan segala sesuatu menyangkut Bung Karno. Jangankan tentang jasa-jasa dan pemikiran-pemikirannya, bahkan tempat di mana ia dilahirkan pun sedia disesatkan. Literatur yang digunakan di sekolah-sekolah, disebutkan Bung Karno lahir di Blitar. Ini adalah pembenar atas keputusan Soeharto yang memakamkan Bung Karno di Blitar.
Padahal, alasan di balik pemakaman Bung Karno di Blitar, semata karena pemerintah Orde Baru memang sedia menjauhkan jazad Bung Karno dari pusat kekuasaan. Padahal, jelas-jelas dalam testimoninya, Bung Karno menghendaki dimakamkan di Bogor. Begitulah, dengan kuasanya, Soeharto memutuskan mengubur jazad proklamator nun jauh di Blitar sana. Kemudian, memperkuatnya dengan alasan karena Bung Karno kelahiran Blitar.
Kengawuran sejarah yang berlangsung demikian lama, tanpa siapa pun kuasa meluruskannya. Elan reformasi digunakan oleh elemen Sukarnois untuk meluruskan sejarah tadi. Berbagai literatur dan bukti-bukti sejarah pun mulai diteliti. Jauh sebelum penelitian yang perisnya dilakukan sejak tahun 2002 itu, sejatinya sudah banyak publikasi yang menunjukkan bahwa tempat kelahiran Bung Karno adalah di Surabaya.
Pertama, buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia tulisan Cindy Adams. Jelas menyebutkan tuturan Bung Karno, bahwa ia lahir di Surabaya. Kedua, biograf Lambert Giebels dalam bukunya “Soekarno, Biografi Politik 1901 – 1950″ menyebutkan Bung Karno lahir di Jalan Pasar Besar, Surabaya. Dalam buku yang sama, Giebels juga menyebut tempat kelahiran Bung Karno di Gang Lawang Seketeng, suatu jalan masuk di kampung di seberang Kali Mas. Data terakhir dikutip dari “Soerabaja, Beeld van een stad, hal 24).
Nah, atas data-data itu pula, kemudian dilakukan penelusuran, hingga ditemukanlah rumah tempat Bung Karno dilahirkan, yaitu di Jalan Pandean IV, di sebuah rumah yang sekarang bernomor 40. Lokasinya memang dekat Kali Mas, dekat Lawang Seketeng.
Apa artinya? Artinya, semua literatur yang ditulis sebelum tahun 1966, semua menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya. Sebaliknya, semua literatur yang ditulis pasca 1967, bersamaan naiknya rezim Orde Baru, pemutarbalikkan sejarah pun terjadi.
Menelusuri Jejak Kelahiran Bung Karno
Hampir semua rumah peninggalan Belanda di kawasan Jalan Pandean, Surabaya masih asli. Antara satu rumah dan rumah lainnya nyaris tak ada berbeda, bentuk, model, dan coraknya bergaya kolonial. Sejak dulu, tidak ada yang spesial di kampung itu. Namun akhir - akhir ini, warga dikejutkan dengan penelitian yang menggemparkan.
Tidak hanya bagi warga setempat, masyarakat Indonesia pun dibuat tercengang dengan penemuan bahwa rumah kelahiran Soekarno, Presiden pertama RI yang juga Sang Proklamator, berada di sebuah gang sempit yang berukuran tidak lebih dari tiga meter di Kota Pahlawan, Surabaya. Bukan di Blitar sebagaimana yang diketahui masyarakat Indonesia selama ini.
Bung Karno dilahirkan di Surabaya, tepatnya di sebuah rumah kontrakan Jalan Lawang Seketeng, sekarang berubah menjadi Jalan Pandean IV/40. Ayahnya Raden Soekemi seorang guru sekolah rakyat dan ibunya Ida Ayu Rai seorang perempuan bangsawan Bali.
"Setelah kami lakukan penelitian dan melalui kajian cukup lama, ternyata rumah kelahiran Soekarno bukan di Blitar, melainkan di Surabaya," ujar Ketua Umum "Soekarno Institute", Peter A Rohi.
Ukuran bangunan rumah itu 6x14 meter. Terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tengah yang biasa ditempati keluarga bersantai, dan dua kamar. Di belakang ada dapur yang terdapat juga sebuah tangga kayu untuk naik ke lantai dua. Di lantai atas tersebut, hanya digunakan untuk menjemur pakaian.
"Dari dulu, ya seperti ini. Kami tidak mengubahnya, atau merenovasi," ujar Siti Djamilah, pemilik rumah saat ini.
Ia mengaku menempati bangunan itu sejak 1990. Ketika itu, ia ikut kedua orangtuanya. Kakak Djamilah dan suaminya, H. Zaenal Arifin juga menetap rumah itu.
Kemudian, 1998 Djamilah menikahi Choiri. Setelah kedua orang tua Djamilah meninggal, mereka hanya tinggal berempat.
"Kami tidak menyangka bahwa rumah ini adalah tempat kelahiran Bung Karno. Sebuah kebanggaan dan anugerah karena kami tinggal di rumah tokoh kelas dunia. Tidak hanya presiden, tapi seorang yang patut menjadi teladan bangsa Indonesia," tutur Choiri, suami Djamilah.
"Kami sudah melalui kajian dan penelitian panjang sejak masa reformasi. Bahkan penelitian juga kami lakukan di Belanda. Buku-buku sejarah masa lalu juga membuktikan bahwa di Surabaya inilah Bung Karno dilahirkan. Syukurlah sekarang bisa diresmikan," ujar Peter A. Rohi.
"Di Jakarta ada prasasti Barack Obama, padahal dia Presiden Amerika Serikat. Masak Presiden Indonesia tidak ada prasastinya? Kami memasangnya di rumah kelahiran Soekarno," katanya, menambahkan.
Pasang Prasasti
Dijelaskan Peter, pemasangan prasasti digelar 6 Juni 2011 karena disamakan dengan tanggal kelahiran Soekarno, yakni 6 Juni 1901. Peter menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan bahwa Soekarno lahir di Blitar. Padahal, kata dia, berbagai buku-buku sejarah dan arsip nasional ditegaskan bahwa Soekarno dilahirkan di Surabaya.
Ia berani menunjukkan puluhan koleksi buku sejarah yang menuliskan kelahiran Soekarno. Di antaranya, buku berjudul "Soekarno Bapak Indonesia Merdeka" karya Bob Hering, "Ayah Bunda Bung Karno" karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, "Kamus Politik" karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950.
Lainnya, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1955, "Ensiklopedia Indonesia" tahun 1985, dan "Im Yang Tjoe" tahun 1933 yang sudah ditulis kembali oleh Peter A Rohi dengan judul "Soekarno Sebagi Manoesia" pada tahun 2008.
"Bahkan mantan Kepala Perpustakaan Blitar sudah mengakui bahwa Soekarno tidak dilahirkan di Blitar, melainkan di Surabaya," tuturnya. Pihaknya berharap, ke depan masyarakat Indonesia lebih mengetahui dan mengakui bahwa kota kelahiran Soekarno yang selama ini dikenal adalah keliru.
"Dulu pascatragedi G30S/PKI, semua buku sejarah ditarik dan diganti di Pusat Sejarah ABRI pimpinan Nugroho Notosusanto. Tapi saya heran, kenapa ada pergantian kota kelahiran Soekarno? Semoga pemerintah ke depan sudah mengakui bahwa lahirnya presiden pertama Indonesia ada di Surabaya," papar Peter.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga mengaku sangat yakin bahwa Bung Karno bukan dilahirkan di Blitar. Pihaknya juga telah mengirim surat ke Pemerintah Pusat untuk meluruskan persoalan ini dan optimistis pemerintah mengakuinya.
"Kami masih menunggu respon dari Pemerintah Pusat. Tapi tahun 2010, walikota Surabaya saat itu, Bambang DH, sudah menandatangani prasasti sekaligus mengirimkan surat ke pemerintah pusat," tutur Tri Rismaharini.
Jadi Museum
Menurut Risma, pihaknya sudah menemui keluarga pemilik rumah, Choiri, agar bersedia menjualnya dan akan dijadikan museum atau tempat cagar budaya.
"Saya sudah memberikan tugas kepada Dinas Pariwisata Kota Surabaya untuk negosiasi harga dengan pemilik rumah. Nantinya rumah kelahiran Bung Karno akan dijadikan museum dan untuk kawasan sejarah," ujar Tri Rismaharini ketika ditemui di sela pemasangan prasasti dan peresmian rumah kelahiran Bung Karno, Senin (6/6).
Sayang, orang nomor satu di Surabaya tersebut enggan menyebutkan anggaran yang dikeluarkan. "Harga masih negosiasi. Saya sudah minta ke Bu Wiwik (Kepala Dinas Pariwisata) untuk mengalokasikan dana dari Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) Kota Surabaya. Lebih bagus lagi kalau masih ada barang-barang aslinya, agar bisa menceritakan ke anak-anak bahwa di Surabaya Bapak Proklamator dilahirkan," tutur Risma.
Sementara itu, keluarga Bung Karno, Prof. Haryono Sigit, mengakui bahwa orangtua Bung Karno pernah tinggal di rumah itu. Ia juga menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk mengelola rumah tersebut. "Mau diapakan rumah itu, bukan wewenang saya. Saya serahkan ke Pemkot," tukas mantan Rektor ITS Surabaya tersebut.
Direktur Utama Surabaya Herritage, Freddy H Istanto mengatakan, jika nantinya rumah kelahiran Soekarno dijadikan museum maka yang harus diperhatikan adalah sistem pengelolaannya.
Choiri, selaku pemilik rumah mengatakan, secara prinsip pihaknya tidak mempermasalahkan dan siap menjual rumahnya ke Pemkot Surabaya. Terkait harga, ia mengaku masih melakukan negosiasi untuk menentukan harga yang pas. "Tapi kami masih banyak saudara kok di Surabaya, sambil mencari rumah, kami mungkin tinggal di rumah saudara dulu," timpal Djamilah.
Sisi Lain Sukarno, Sukarno Tanpa Ahmad
PADA 14 Mei 2003, Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono mewakili Presiden Megawati Sukarnoputri meresmikan pemancangan patok pembangunan gedung pembelajaran unit 6 Al-Zaytun, Indramayu. Gedung yang belum selesai dibangun ini diberi nama “DR. Ir. Ahmad Soekarno.”
Ahmad (kadang-kadang dieja Achmad, Achmed, Ahmad, dan Ahmed) artinya terpuji. Sukarno tak suka tambahan nama itu. Tapi nama itu dikenal di Timur Tengah. Mesir mengabadikannya menjadi nama jalan, Ahmed Sokarno St., yang menuju pusat kota dan pusat kebudayaan di Tahrir Square. Maroko juga membuat nama jalan di ibukotanya, Rabat, dengan “sharia Al-Rais Ahmed Sukarno” yang diubah menjadi “Rue Soekarno”.
Bahkan, di Timur Tengah, Indonesia disebut “Negeri Ahmad Sukarno”. Ini pengalaman Azyumardi Azra, direktur Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, ketika berkunjung ke sana yang dia tuangkan dalam rubrik Resonansi di Republika, 29 Juli 2010. Ketika bertemu dengan Ustaz Abd al-Karim, pensiunan guru besar di sebuah universitas terkemuka di Mesir, pertanyaan yang muncul adalah apakah Azyumardi Azra berasal dari Negeri Ahmad Soekarno (min al-biladi Ahmad Sukarno).
Penambahan nama Ahmad menarik perhatian Steven Drakeley, dosen senior Asian and International Studies School of Humanities and Languages University of Western Sydney. Dia mempresentasikan papernya yang menarik, berjudul “In Search of Achmad Sukarno”, dalam Conference of the Asian Studies Association of Australia di Wollongong, 26-29 Juni 2006.
Menurut Steven, ada dua alasan penggunaan nama Ahmad. Pertama, seperti dijelaskan Willard A. Hanna, doktor lulusan Universitas Michigan dan ahli Asia Tenggara, dalam Eight Nation Makers, Ahmad ditambahkan oleh wartawan Barat karena budaya penamaan mereka yang membubuhkan “nama pertama” dan “nama keluarga”.
Di masa revolusi, suratkabar macam The Straits Time di Singapura sudah menyebut nama Ahmad Sukarno. Misalnya, berita soal peti jenazah dalam pesawat RI-002 –diterbangkan oleh Bob Freeberg, pilot Amerika Serikat yang bersimpati pada perjuangan Indonesia– yang mesti mendarat di Singapura untuk mengisi bahan bakar. Koran itu memuat berita, sebagaimana dikutip dari Irna H.N. Hadi Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: “… Achmad yang jenazahnya akan diterbangkan ke Sumatra itu adalah jenazah Achmad Sukarno, yang menamakan dirinya Presiden Republik Indonesia. Suaranya dalam pidato sudah lama tidak terdengar. Ia tewas sebagai korban asosiasi, dan mayatnya sekarang dilarikan….”
Dalam bukunya A Magic Gecko, Horst Henry Geerken juga menyebut kesalahan penulisan nama ini di media Barat. “Seperti banyak orang Jawa, dia hanya memiliki satu nama: Soekarno. Sebuah kantor berita Amerika, walaupun korespondennya di Jakarta, telah menjelaskan, mereka menciptakan begitu saja nama depan ini,” tulis Geerken, yang bekerja sebagai insinyur residen AEG-Telefunken di Indonesia selama 18 tahun dari 1963 hingga 1981. “Di Indonesia, nama Ahmed sama sekali tidak dikenal dalam kaitannya dengan Soekarno. Jadi saya hanya akan menggunakan nama tunggal yang benar tersebut.”
Kemungkinan kedua, nama Ahmad sengaja ditambahkan oleh nasionalis Indonesia selama revolusi dengan tujuan memfasilitasi dukungan dari negara-negara Islam di Timur Tengah. Klaim ini secara eksplisit dibuat oleh M. Zein Hassan, seorang mahasiswa Indonesia di Mesir, dalam memoarnya Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri: Perpanjangan Pemuda/Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah. Zein mencatat bahwa usaha-usaha di mana dia terlibat mencari dukungan untuk Indonesia terbentur oleh kurangnya kesadaran bahwa Sukarno adalah seorang Muslim. Tapi kendala ini dengan mudah hilang hanya dengan menambahkan nama Ahmad pada Sukarno. Ini pernah dilakukannya ketika Zein menjadi ketua Panitia Pusat Pembela Kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah (Central Committee of Defenders of Indonesian Independence in the Middle East) di Kairo, Mesir.
Dalam kasus lain, identitas agama menjadi kunci masuk diplomasi. Ketika Agus Salim, A.R. Baswedan, Nazir Pamoentjak, dan Rasjidi melakukan kunjungan ke Mesir pada 10 April 1947, petugas imigrasi meragukan paspor mereka yang hanya berupa secarik kertas dengan keterangan bahwa delegasi ini datang dari Republik Indonesia, sebuah negara baru di Asia. Baru setelah tahu kalau mereka Muslim, petugas mempersilakan, “Ahlan wa Sahlan!”
Jika klaim Zein benar, “sangat mungkin wartawan Barat menggunakan ‘Ahmad’ dengan merujuk pada sumber-sumber dari Timur Tengah pada akhir 1940-an,” tulis Steven.
Sejauh mana penggunaan Ahmad di Indonesia? Pada 1994, Steven menemukan sebuah buku di sebuah kios buku bekas di Yogyakarta berjudul Perdjalanan PJM Presiden Ir. Dr Hadji Achmad Sukarno ke Amerika dan Eropah (1956) yang disusun Winoto Danoeasmoro. Lalu pada 2001, di perpustakaan Muhammadiyah Yogyakarta, Steven juga menemukan sebuah buku kecil yang dibuat Muhammadiyah untuk memperingati pemberian penghargaan “Bintang Muhammadiyah” kepada Sukarno pada April 1965. Dalam buku itu, Sukarno disebut sebagai “Dr. Ir. H. Ahmad Soekarno”. Piagam penyerahan medali ditandatangani, atas nama Pimpinan Pusat Muhammadiyah, K.H.A. Badawi sebagai ketua dan M. Djindar Tamimy sebagai sekretaris. “Semua ini menunjukkan bahwa pimpinan Muhammadiyah percaya ‘Ahmad’ itu benar,” tulis Steven.
Bukti tambahan menunjuk ke arah ini adalah peristiwa 28 Oktober 1963 ketika Sukarno menyampaikan pidato memperingati Sumpah Pemuda di Stadion Senayan, Jakarta. Muljadi Djojomartono, tokoh Muhammadiyah terkemuka, memperkenalkan Sukarno kepada orang-banyak sebagai Haji Ahmad Soekarno.
Sukarno sendiri secara terbuka membantah bahwa namanya adalah Ahmad. Dia bersikeras namanya hanya Sukarno. Di awal pidatonya, Sukarno berkomentar sedikit kesal: “Lho, kapan saya ini dapat nama Ahmad? Menurut ingatan saya, bapak saya almarhum dan ibu saya hanya memberikan nama Sukarno... Tapi ya… Muljadi ingin memuji saya dengan memanggil saya Ahmad, karena nama Ahmad adalah nama yang benar-benar sangat terhormat. Tapi, sementara saya menyampaikan terima kasih dan merasa tergerak untuk memiliki dan menambahkan nama ini, saya ulangi bahwa nama saya hanya Sukarno.”
Dalam Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams, Sukarno juga dengan ketus mengatakan: “Sukarno adalah nama saya riil, dan hanya itu. Beberapa wartawan bodoh pernah menulis nama pertama saya Achmed. Konyol. Saya hanya Sukarno.” Anehnya, dalam edisi revisinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007), tak ditemukan lagi perkataan Sukarno itu.
Steven melihat kemungkinan Sukarno pernah menggunakan Ahmad selama hidupnya. “Nama Ahmad mungkin diperolehnya selama remaja di Surabaya. Dia terinspirasi Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kemungkinan lain, Sukarno mengambil nama Ahmad ketika dia berada di bawah pengaruh Ahmad Hassan dari Persatuan Islam. Sukarno melakukan korespondensi dengan Hassan awal 1930-an. Sukarno tentu belajar dan berpikir secara mendalam tentang Islam pada periode ini. Dia menyatakan bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya; dia benar-benar memeluk Islam,” tulis Steven. “Atau mungkin Sukarno juga menambahkan Ahmad pada namanya selama pengasingannya di Bengkulu, di mana dia bergaul dalam lingkungan masyarakat Muhammadiyah.”
Namun sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Cold War Shadow: United States Policy Toward Indonesia, 1953-1963 meyakini sampai Sukarno meninggal, nama resminya hanya Sukarno. “Dia tak senang ketika tahu orang-orang di media Barat dan banyak literatur menyebutnya Achmed Sukarno, hanya karena di Barat tidak biasa seseorang memiliki satu nama”.
Apa lacur, nama Ahmad Sukarno sudah kadung kondang di Barat maupun di Timur Tengah.
Sumber:
- Roso Daras
- Antara
- Historia
0 comments: