Mimpi Buruk

By | Tuesday, January 03, 2012 Leave a Comment
The New Yorker, 16 November 2009

Pasien pertama yang datang pagi hari itu di klinik khusus gangguan tidur 'Maimonides Sleep Arts & Sciences', Alberquerque' adalah seorang perempuan berusia 42 tahun, pegawai asisten administrasi bernama Toni. Mengenakan jins, sepatu kets hitam dan kaos warna gelap bercorak bunga. Rambut ikalnya menutupi dahi. Matanya lebar dan sayu. Muka tirusnya memberi kesan seperti tokoh dalam film-diam. Toni telah mengidap mimpi buruk sejak kecil, dan akhir-akhir ini penyakit itu kian memburuk. Ayahnya minggat ketika ia masih bayi, kemudian meninggal ketika Toni berusia 12. Ibunya, satu-satunya orang yang dekat dengannya, meninggal setahun yang lalu, di atas tempat tidur Toni; dia pindah ke apartemen Toni setelah positif mengidap penyakit kangker. Anak semata wayang, dan Toni tidak menikah juga tidak mengadopsi anak. Belakangan mimpi-mimpi buruknya berputar pada diri ibunya, dengan frekuensi yang sangat menyedihkan. Dalam mimpinya itu ibunya hidup lagi, tetapi mengalami penderitaan seperti saat sekaratnya dulu di atas tempat tidur: putus asa disebabkan morfin, matanya kosong dan mulutnya kering menganga. Ibunya sering mencoba mengatakan sesuatu padanya, dan menatapnya penuh permohonan, tapi Toni tidak mampu mengatakan apa-apa. Mimpi-mimpi buruk itu menyelimuti Toni dengan kesedihan yang amat sangat. Bahkan kadang ia terbangun di dalam awan ketakutan yang dingin. Ia mendapati dirinya selalu memandangi jam dinding, menghitung detaknya, hingga menit-menit akhir ia harus terbangun untuk pergi bekerja.

Selain itu Toni juga mengidap apnea, kondisi di mana pernafasannya sering tersendat saat ia tidur, mengakibatkan waktu istirahatnya berkurang. Apnea itulah yang membawanya ke Maimonides, beberapa bulan lalu. Petugas klinik mengevaluasi tidurnya dan memakaikan masker agar pernafasannya tetap terjaga. Hingga kemudian dokter yang menangani klinik, Barry Krakow, mengejutkan Toni dengan mengatakan bahwa mimpi-mimp buruknya juga bisa ditangani. Toni menjadi sangat berminat untuk mencoba: ia telah bersama mimpi-mimpi itu sepanjang hidupnya, tamu tak diundang yang tidak mampu ia usir.

Banyak terapis ataupun dokter yang juga kaget oleh pernyataan bahwa mimpi buruk bisa diobati secara langsung. Dalam kajian psikologi, mimpi buruk secara umum di golongkan sebagai fenomena sekunder – disebabkan oleh resah, depresi, atau gangguan pasca trauma. Dengan melakukan perawatan pada pokok permasalahan, mimpi-mimpi buruk itu akan sirna. Tapi sekitar 20 tahun yang lalu Krakow tertarik dengan ide yang berlawanan, bahwa mimpi buruk sebagai masalah tersendiri. Sama halnya dengan orang yang percaya bahwa mimpi-mimpi mengandung makna tersembunyi, Krakow mengatakan bahwa harus diakui, ada keuntungan yang didapat dari mimpi-mimpi buruk seorang yang sedang mengalami trauma: skenario untuk mendatangi kembali ketakutan paling dasar yang menyebabkan mimpi buruk. (Menurut Samuel Coleridge, mimpi buruk kronis adalah penderitaan di malam hari yang kesengsaraannya berlanjut hingga berhari-hari kemudian.) frekuensi munculnya mimpi buruk seseorang dipercaya bahwa alam bawah sadar mereka sedang melakukan pengungkapan. Tapi bagaimana jika kau mampu mengarahkan seseorang untuk menuliskan kembali masalah mimpinya?

Pada tahun 2001, Krakow mempublikasikan penelitiannya di Jurnal Ikatan Dokter Amerika yang melibatkan 168 perempuan korban perkosaan atau pelecehan seksual lainnya, yang mana juga penderita mimpi buruk. Sebagian mimpi-mimpi mereka menampilkan kembali bentuk kejahatan itu, tapi banyak juga yang tidak. Mimpi-mimpi buruk itu ternyata jarang menampilkan secara persis insiden yang terjadi dalam kehidupan nyata; mimpi-mimpi pasca trauma yang paling mendekati kejadian nyata pun melakukan hal yang sama, bahkan sering kali mengalami perubahan karakter atau seting kejadian. Teori Krakow menyatakan bahwa meskipun mimpi buruk seseorang kemungkinan awal dipicu oleh kekerasan, hal itu terus berlangsung lama dikarenakan oleh kebiasaan – “perilaku yang dipelajari”. (Ia menyebutnya sebagai kondisi “kebiasaan bermimpi.”) Mungkin para wanita itu mampu mengubah mimpi-mimpi buruk mereka menjadi bagus, atau setidaknya lebih baik, dengan latihan yang lebih menyenangkan sepanjang hari.


Para peserta  diperintahkan melakukan latihan yang disebut dengan imagery-rehearsal therapy (IRT). Mereka mendengarkan music santai, menutup mata dan menghabiskan kira-kira sepuluh menit untuk mengingat hari-hari ketika sedang berada di pantai. Mereka juga disuruh menuliskan salah satu mimpi buruk yang pernah dialaminya dan diperintahkan untuk menggantinya dengan apa saja yang mereka inginkan. Setalh itu menuliskan kembali versi baru dari mimpi mereka secara penuh, dan diminta melakukannya selama kira-kira lima sampai limabelas menit setiap hari. Karakter yang mengancam - seorang pemerkosa misalnya - dapat diubah menjadi seorang yang baik hati; pesawat yang meledak diganti dengan pendaratan yang anggun di landasan rata; air yang dalam tempat si pemimpi tenggelam diganti dengan kolam cetek tempat yang biasa dipakai anak-anak bermain.

Wanita-wanita itu menjaga aturan tersebut selama 6 bulan, sembari tetap melakukan konsultasi secara teratur dengan dokter. Pada akhir latihan, mereka diberi hasil evaluasi. Mereka yang telah sempurna melakukan IRT merasakan gangguan tidur berkurang secara signifikan, insomnia membaik dan stress pasca trauma juga berkurang. Sejak itu penelitian dilakukan pada berbagai macam subjek, termasuk murid sekolah dasar dan veteran perang yang mengalami stress pasca perang, dan hasilnya sama.  Di University of Pittsburgh School of Medicine, Pentagon memberikan dana guna kelanjutan penelitian tentang penanganan mimpi buruk dan IRT untuk tentara yang kembali dari medan perang Irak dan Afghanistan. Anne Germain, periset asal Kanada yang memimpin penelitian mengatakan, “Ini sangat menarik bagiku, bagaimana seseorang mampu mengubah mimpi buruknya menjadi indah. Aku percaya sepenuhnya bahwa setiap orang tahu apa yang diinginkan. Sebagian akan mengubah karakter, sebagian lagi akan memasukkan cara baru dalam melindungi dirinya. Salah satu keuntungannya adalah memberi kebebasan pada pasien untuk mengubah mimpi buruknya sesuai denga kepercayaan (identitas) masing-masing.”

Toni telah menuliskan mimpi-mimpinya selama dua minggu ini. “Ubah mimpi buruk dengan mimpi,” adalah catatan pendek yang ditulis oleh Krakow di buku catatannya. Toni mengatkaan pada Linda Trujillo, seorang pengajar kesehatan yang menuliskan kisahnya, pada intinya melatih diri memanggil gambaran yang menyenangkan sebelum tidur. Kebanyakan imajinasinya seputar Irlandia, tempat dia berkunjung akhir-akhir ini bersama seorang teman; pedesaan yang hijau dan hujan. “Segalanya sangat cantik serta damai di sana,” katanya.”Seperti mimpi indah masa kecilku, langit yang teduh dan aku berada di pantai yang dikelilingi oleh tebing.”

Bersambung




Newer Post Older Post Home

0 comments: