Aku Adalah Sebuah Gitar

By | Thursday, August 23, 2012 Leave a Comment
Sebelum aku menghilang untuk selama-lamanya dari muka bumi ini, ijinkan aku bercerita tentang siapa diriku sebenarnya. Angin sore, rumput hijau, burung-burung, dengarkanlah kisahku ini. Kisah panjang dalam perjalanan hidupku yang sangat mengagumkan. Terima kasih tuhan yang telah melahirkanku dan memperjalankan tubuhku pada peristiwa-peristiwa dahsyat di dunia.

Aku dilahirkan pada hari dimana panas matahari begitu menyengat di satu daerah di Fullerton, California, Amerika Serikat. Aku adalah generasi ketiga ditarik dari garis silsilah pertama keluarga Stratocaster. Menurut catatan, generasi pertamaku lahir tahun 1955. Ia disebut-sebut sebagai pembawa revolusi, yang nantinya menjadi nenek moyang dari begitu banyak keturunan yang beraneka ragam dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Pada hari itu, di hari pertama aku lahir ke dunia, cahaya matahari membanjiri ruangan lewat jendela yang terbuka dan merasuk ke pori-pori kulitku. Pertama kali aku lahir aku langsung dipakaikan baju yang memiliki tiga warna bersusunan, pertama warna hitam pada bagian paling tepi baju, kemudian warna merah dan terakhir warna coklat cerah. Itulah pakaian kebanggaanku dan aku lekatkan terus ditubuhku sampai sekarang meski kau bisa lihat kini pakaianku sudah koyak di sana sini. Di samping itu aku juga memiliki kulit kuning yang mulus seperti gading di bagian tengkuk sedangkan di bagian depan leherku berwarna kecoklatan.. Namaku Fender dan margaku Stratocaster hingga orang-orang selalu memanggilku dengan Fender Stratocaster, nama itu tertulis indah di jidatku. Di pinggangku dilekatkan sebuah plat besi yang sudah dicap sebuah huruf F serta deretan nomor yang menunjukkan nomor seri kelahiranku.

Pada hari itu, seorang laki-laki yang telah menolong dalam proses kelahiranku kemudian meletakkan tubuhku di atas pangkuannya, saat itulah untuk pertama kalinya aku menangis. Tahukah kamu apa yang kudengar dari mereka tentang tangisanku? mereka bilang, tangisanku sangat merdu dan sempurna. Aku bisa mendengar suaraku dari sebuah kotak pengeras suara -yang beberapa bulan kemudian aku ketahui namanya amplifier-. Kemudian, pria itu memencet sebuah tombol dan memutar knop-knop setelah itu digarukinya aku hingga teriakanku pecah menggema melingkupi ruangan. Lama sekali pria itu mendudukan aku dipangkuannya, hingga aku sungguh menikmati suaraku yang serak itu. Setelah ia puas menikmati teriakanku, ia memasukkan tubuhku ke dalam selimut kardus, sejak itu aku menjalani hari-hari sepi dan gelap selama berbulan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain merenung dan tertidur, ketika pikiranku telah letih dan jenuh.

Sampai pada satu hari aku dikeluarkan dari 'sangkar'ku. Saat itu aku sedang tertidur, dan aku terbangun oleh guncangan karena sentuhan tangan manusia. Aku menggeliat, dan terdengar gemeretak tulang yang begitu nikmat. Hawa udara langsung merayap di kulit. Sementara itu pikiranku bertanya-tanya, dimanakah aku sekarang ini. Kusapu seisi ruangan dengan pandangan yang masih silau karena lama sekali yang kulihat hanya kegelapan. Betapa girangnya hatiku setelah kudapati di dalam ruangan itu sudah menanti teman-temanku yang lain. Aku dibopong dan diletakkan diatas paha seorang pria. Pria itu mengelusku sebentar kemudian langsung menggaruk tubuhku, seketika itu terdengarlah teriakan penuh suka cita dari suaraku yang dimasukkan ke dalam boks amplifier. Aku menyapa semua yang ada di situ. Aku menyapa Tanteku, si kuning yang cantik, yang lahir dari generasi ke dua dari silsilah keluarga Stratocaster. Aku menyapa seorang kakek. Ya kakek, badannya besar dan warna pakaiannya merah semu, di jidatnya tertulis 'Gibson'. Dan ada juga pamanku dari keluarga Telecaster, tertulis indah di jidatnya 'Fender Telecaster', memakai pakaian kesayangannya yang berwarna coklat,”Hai paman, apa kabar?”, begitu elegan dan tampannya ia. Ada juga si cantik nan anggun keturunan langsung dari generasi nenek moyang bangsaku, yang memiliki suara paling jernih seperti burung-burung kecil di pagi hari, paling favorit meyanyikan lagu klasik dan kau tidak perlu menggunakan boks amplifier untuk bisa mendengar kemerduan suaranya.

Di dalam lemari yang pintunya terbuka, aku melihat tumpukan saudara-saudaraku yang masih terbungkus selimut kardus. Apakah aku juga akan dimasukkan ke dalam selimut kardus itu lagi seperti dulu bersama saudara-saudaraku itu? Aargh..! suaraku meraung keras di dalam boks amplifier itu, aku tidak mau lagi masuk ke dalam kardus yang sunyi sepi itu, aku ingin bercengkrama terus bersama saudara-saudara dan teman-temanku! Beberapa menit kemudian pria itu mengangkat tubuhku kembali dan menempatkan di atas sebuah tempat duduk. Sungguh gembira aku saat itu, ternyata aku tidak dimasukkan ke dalam selimut kardus. Aku didudukkan di samping kakek 'Gibson' yang bertubuh gemuk, dan disebelahnya ada paman Telecaster, di sebelahnya lagi ada tanteku, si kuning cantik. Andai saja yang di dalam lemari ikut duduk bersama kami, pasti meriah sekali suasananya. Kupandangi sepuasnya selembar poster yang melekat di tembok bergambarkan seorang pria tua kulit hitam memakai topi warna putih sedang memangku kakek Gibson. Di bawah poster itu tertulis dengan huruf besar sebuah nama,’John Lee Hooker’.

Di ruangan itu ada sebuah pintu yang menghubungkan ruangan yang lain di sebelahnya. Dari pintu itulah, yang keadaannnya selalu terbuka, aku selalu mendengar nyanyian-nyanyian merdu yang kadang menyayat kelam dan kadang meriah penuh gairah. Suara-suara dari saudara-saudaraku yang mengiringi tiap vokalis dalam lagu itu begitu merdu, dan aku selalu ikut bernyanyi di dalam hati. Ruangan itu ditempati oleh seorang laki-laki berambut keriting berwarna coklat dan berjambang lebat serta badannya tinggi dan agak gendut. Jemarinya gemuk namun lembut kala menggenggamku. Selama aku di ruangan itu, baru dua kali ia memangkuku dan mengajakku bernyanyi, pertama adalah saat baru pertama kali aku dibawa ke ruangan ini, ketika ia hendak mencoba kemerduanku bernyanyi dan yang kedua kali adalah beberapa hari kemudian, aku dipangkuannya dan menyanyikan lagu yang sering kudengar dari dalam kamarnya. Suara laki-laki itu serak seserak suaraku di dalam boks ampli. Gairah dalam jiwaku muncul seketika itu mengiringi melodi suaranya. Saat itu ia melagukan sebuah syair yang sangat indah,

I’m a voodoo chile
Lord I’m a coodoo chile

Yeah
I’m not saying
The night I was born
Lord, the moon turned a fire red
I said the night I was born

The moon turned a fire red[1]

Aku benar-benar hanyut oleh suaranya, aku terus berteriak dan bernyanyi. Aku bisa melihat saudara-saudaraku yang sedang duduk tersenyum ke arahku, dan aku tahu di dalam hati mereka ikut bernyanyi.

Ternyata rumah yang aku tempati itu adalah sebuah toko musik dan laki-laki gemuk itu adalah pemiliknya. Aku mengetahuinya setelah aku dibopong keluar ruangan, dan baru kali itu aku tahu selama ini aku tinggal di lantai ke dua rumah itu, kudapati di dalam ruangan lantai pertama berkumpul banyak sekali saudara-saudaraku, berdiri di pojok ruangan dan beberapa lagi di dalam etalase kaca, ada juga yang bergelantungan di dinding dan sebagian lagi masih terbungkus selimut kardus terbaring di dalam lemari berpintu kaca. Kusapa mereka satu persatu, ada si cantik Violin, ada si misterius Mandolin, ada saudara-saudaraku yang sedarah maupun yang beda keturunan, berpakaian warna-warni, ada sosok perkasa, Drum, serta ada juga kotak-kotak hitam amplifier. Di dalam ruangan itu, diusapnya aku dengan lap kain bersih berwarna biru, kemudian dimasukkan ke dalam etalase. Saudaraku dari keturunan keluarga Gibson, sosok anggun berwibawa dengan pakaian berwarna merah yang tadinya menempati tempatnya di dalam etalase itu, di bopong oleh laki-laki itu, dan giliran aku menggantikan posisinya di situ. Betapa bangganya aku, aku semakin yakin bahwa penampilanku tak kalah menarik dengan suara yang kumiliki. Setiap hari aku berdiri di situ, memandangi trotoar yang ramai oleh pejalan kaki dan jalan raya yang selalu disibukkan oleh kendaraan. Seringkali aku bertatapan mata dengan seorang anak kecil yang berdiri memandangiku lama sambil bermimpi diriku berada dalam pelukannya. Aku sungguh menikmati hari-hariku saat itu. Dari situlah kemudian aku tahu saat itu aku tinggal di sebuah kota besar bernama New York, Amerika Serikat. Setiap waktu aku selalu ikut bernyanyi bersama lagu-lagu blues ataupun rock yang diputar di radio atau tape recorder.

Tapi rupanya itu hanya berjalan sebentar. Kemudian seseorang datang membawaku dan memasukkan aku ke dalam ‘kandang’ yang tertutup rapat, hingga aku tidak mampu melihat apa-apa lagi. Aku hanya bisa mendengar suara seperti mesin kendaraan, dan selama aku didalamnya, tubuhku bergoyang serta terguncang. Aku mengira saat itu aku sedang berada di dalam suatu kendaraan. Hingga beberapa lama kemudian suara mesin kendaraan itu berhenti, aku merasakan seperti terbang bersama ‘kandang hitam’ku. Di sebuah ruangan, kandang itu dibuka, dan mataku langsung menangkap tubuh gemuk drum, saudara sepupu bas yang mengenakan pakaian berwarna kuning cerah bernama Fender, si merah Gibson, si coklat Telecaster dan si cantik keyboard. Dugaanku, pasti aku akan diajak bernyanyi bersama mereka. Dan ternyata dugaanku benar, malam harinya aku bersama si kuning Fender Bass, si gemuk drum, dan si cantik keyboard bernyanyi mengiringi suara serak nan seksi dari seorang vokalis cewek berambut kelabu. Sejak itu, hampir setiap hari aku diajak mereka bernyanyi, kadang bergantian dengan paman Telecaster. Satu minggu kemudian aku baru tahu nama vokalis perempuan itu, yang membuatku sempat tak percaya adalah ternyata penyanyi cewek itu seorang artis terkenal. Aku mengetahuinya ketika kami diajak bernyanyi di sebuah panggung yang sangat besar di tanah lapang yang sangat luas, dengan ribuan manusia menonton di depan panggung. Konser terbesar yang takkan bisa kulupa sepanjang hidupku, dan memang terbukti, hingga sekarang aku hidup, itu adalah konser terbesar dalam sejarah musik dunia.

Kisahnya begini, menjelang malam aku melihat tubuh si gemuk drum diangkut satu persatu dan dimasukkan ke dalam sebuah mobil, kemudian giliran si Fender Bass, si cantik keyboard dan paman Telecaster juga aku. Kami dimasukkan ke dalam kandangnya masing-masing. Di dalam mobil aku bisa mendengar suara para pemusik itu bercerita dan tertawa di antara deru mesin kendaraan. Hingga beberapa lama kemudian mobil itu berhenti dan aku kembali merasakan tubuhku melayang bersama kandang yang kutempati. Pagi hari kami sudah sampai tujuan, dan langsung diajak melebur bersama lautan manusia di tengah lapangan. Di depanku berdiri sebuah panggung megah dengan suara yang meraung-raung membahana. Petang harinya, aku sudah berdiri di atas panggung megah itu. Suaraku terdengar megah dan garang saat check sound.

Meski akhirnya aku hanya duduk di bangku cadangan di belakang boks ampli besar, dan yang menjadi pengiring utama Vokalis di depan adalah saudaraku yang lain, tetapi aku masih bisa merasakan hatiku melonjak-lonjak histeris, ribuan pasang mata menatap ke arah kami. Tidak semua mendapatkan anugerah besar ini, dan aku sangat bersyukur aku mendapatkan kesempatan itu.

Saat itulah suara penonton bergemuruh menyebut nama vokalis cewek itu,”Janis Joplin!” Tubuhku gemetar, aku begitu takut tapi juga begitu senang. Senang dan bangga. Alam sudah tertutupi gelap sepenuhnya saat kami mulai bernyanyi. Aku menari, mengalun bersama suara serak Janis Joplin. sambil sesekali melonjak dan berteriak.

I need you to come on, come on, come on, come on and take it,
Take another little piece of my heart now, baby. (break a…)
Break another little bit of my heart, darling, yeah. (have a)
Have another little piece of my heart now, baby,
You know you got it (waaaaahhh)

Take a…Take another little piece of my heart now, baby. (break a…)
Break another little bit of my heart, and darling, yeah yeah (have a)
Have another little piece of my heart now, baby,
You know you got it, child, if it makes you feel good[2]

Kau mungkin tidak percaya dengan kisahku ini, bahkan akupun sering tidak percaya akan anugerah itu. Tetapi percayalah, aku sedang bicara jujur, bahwa aku pernah menjadi bagian dari perayaan besar musik dunia, Woodstock Festival. Usia semuda itu aku berada di panggung raksasa di depan lautan manusia. Aku masih ingat betul beberapa nama yang tampil di panggung hari itu, bahkan suara MC pun masih mengiang di telingaku saat ini. Ada si bewok Quill yang ganteng, yang memukul-mukul kaleng, ada si kumis pirang Joe Mc Donald dengan ikat kepalanya, ada si ganteng John Sebastian, dengan suaranya yang hangat. Ada Santana, CCR dan masih banyak lagi. Sementara si Joplin sedang teler, aku duduk dipangkuan pria temannya Joplin, duduk di lapangan, tenggelam dalam gemuruh tepuk tangan penonton.

Setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi kemudian karena aku kembali masuk ke dalam selimutku hingga waktu yang sangat lama. Aku kembali memasuki dunia sepi dan gelap.

[1] Voodoo Chile, Jimy Hendrix

[2] Pieces of my heart, Janis Joplin

Newer Post Older Post Home

0 comments: