Aku Adalah Sebuah Gitar [Give Peace A Chance]

By | Thursday, August 23, 2012
Hingga suatu hari selimutku terbuka, dan aku sudah berada di tempat lain. Seorang anak muda berambut panjang kecoklatan mengangkat tubuhku dan memangku di atas pahanya. Dengan mata nanar kucoba mengenali seisi ruangan. Selembar poster yang melekat di dinding, kasur yang tergelar di atas ranjang, sebuah meja dengan radio tergeletak di atasnya serta tumpukan buku-buku. Anak muda bertubuh tinggi dan berkulit putih itulah yang akhirnya menjadi temanku selanjutnya, Namanya Joe. Kami tinggal di dalam sebuah rumah yang letaknya di sebuah kota bernama Kent, Ohio, Amerika Serikat bersama orang tua dan seorang adik perempuan. Dan kamar yang kami tempati berada di lantai dua. Di tembok ujung teras kamar terdapat sebuah jendela kaca yang lurus berhadapan dengan pintu kamar. Lewat jendela kaca itulah aku bisa melihat hijau pepohonan dan suasana damai di jalan depan rumah. Di dekat jendela itu pula kami sering menghabiskan waktu dengan bernyanyi, saling menukar jiwa bahagia serta sedih kami. Sampai berbulan-bulan lamanya hingga tiba-tiba saja suatu hari kota yang baru kutinggali itu mengalami peristiwa mencekam.

Malam itu keadaan kamar cukup sepi dan remang karena hanya diterangi oleh lampu kecil yang selalu terkantuk. Kulihat anak muda itu sudah terlelap, tengkurap di atas kasur seperti cacing raksasa. Baru saja aku hendak memejamkan mata tiba-tiba terdengar suara keributan di luar. Aku tersentak begitu juga Joe. Ia langsung bangkit dan beranjak keluar kamar. Dari pintu yang terbuka, aku bisa melihat tubuh Joe terpaku di depan jendela, menatap ke jalanan di luar rumah. Sementara suara-suara di luar semakin riuh seperti sedang ada kerusuhan, aku merasakan hawa udara tiba-tiba menjadi bertambah panas. Cahaya-cahaya kuning kemudian terlihat berkilatan lewat jendela. Aroma sesuatu yang terbakar tiba-tiba begitu menyengat hidung, aku berpikir apakah sedang terjadi kebakaran di luar sana? Dari dalam kamar aku bisa melihat wajah Joe sangat pucat dan gemetar. Keributan di luar rumah terus berlanjut, aku ketakutan dan pikiranku penuh tanda tanya. Tiba-tiba sebuah benda keras membentur tembok persis di samping jendela kaca. Joe tersentak hingga hampir terpental ke belakang, kemudian ia berjalan cepat menuruni tangga menuju lantai bawah. Beberapa lama kemudian keributan mereda, dan suasana menjadi lebih tenang. Hampir semalaman aku tidak bisa tidur, meski keributan di luar sudah reda sama sekali. Hingga ketika menjelang pagi, mataku baru bisa tertutup.

Siang harinya aku terbangun oleh cahaya matahari yang menembus kaca jendela dan masuk ke kamar lewat pintu yang terbuka. Joe tidak sedang berada di dalam kamar, aku sendirian saat itu. Dari radio dan televisi-yang kudengar lamat-lamat dari lantai bawah-memberitakan bahwa semalam telah terjadi kerusuhan oleh kelompok yang tidak dikenal.

Di kota itulah aku mengalami salah satu peristiwa terkenal di dunia, yaitu dimana anak-anak muda pemberani dan idelis berani menantang maut, melawan senjata yang ditodongkan ke arah mereka. Peristiwa itu dalam sejarah dunia dicatat sebagai Kent State Massacre. Aku terjun bersama mereka, di tengah-tengah mereka. Ceritanya siang itu Joe membawaku keluar rumah. Saat itulah pertama kalinya aku jalan di tengah keramaian kota, melihat langsung gedung-gedung kota besar dan hiruk pikuk pejalan kaki serta suara bising kendaraan di jalan raya. Kehidupan kembali pulih setelah dilanda peristiwa mencekam semalam. Matahari saat itu begitu ramah, langit kelihatan biru dan bersih. Hatiku melonjak-lonjak bagai merpati, aku merasa bagai anak kecil yang pertama kali melihat syurga. Aku bernyanyi sendiri dalam hati di tengah kebisingan dan semilir angin di kota. Aku bernyanyi sepanjang jalan.

Kemudian aku dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan yang tidak begitu besar, seorang anak muda seumuran Joe langsung menyambut kami. Di bopong dan dielusnya aku oleh anak muda itu, kemudian aku dibaringkan di atas kasur, sementara mataku terpaku pada poster-poster yang melekat di dinding. Dari perbincangan kedua anak muda itu aku menjadi tahu kalau anak muda itu adalah teman satu kuliah dengan Joe bernama Christ dan ruangan ini adalah asrama yang ditempatinya. Begitu sejuknya udara di dalam ruangan itu hingga tak beberapa lama kemudian aku kembali terlelap tidak sadarkan diri. Malam harinya aku terbangun oleh dingin yang merayap di kulit dan suara-suara bising di sekitarku, dan tersadar diriku sedang berada di pangkuan Joe saat itu. Kusapu sekeliling, ternyata aku tengah berada di dalam sekumpulan manusia di sebuah tempat mirip taman. Banyak sekali manusia di tempat itu, sedang duduk di atas rerumputan, di terangi oleh lampu-lampu taman. Tapi di depan kami, dibalik cahaya temaram terlihat barisan manusia berseragam dengan memegang senjata, aku tidak tahu sama sekali apa yang sedang terjadi. Beberapa lama kemudian tiba-tiba terdengar suara teriakan dari ujung sebelah kanan bersamaan dengan letusan-letusan dari barisan manusia berseragam itu. Benda-benda terbang dibarengi asap putih yang mengekor, kemudian pecah saat membentur tanah membentuk gumpalan-gumpalan asap yang menyelimuti taman. Kumpulan manusia-manusia di dalam taman itu koyak seketika. Mereka berpencar menyelamatkan diri sambil sesekali melemparkan batu-batu ke arah orang-orang berseragam itu. Sementara aku dipeluk oleh Joe, melintasi pepohonan tinggi di dalam taman itu, hingga berhenti di sebuah jalan. Di jalanan itu, kembali kami berbaur dengan manusia-manusia yang berada di dalam taman tadi. Aku bisa melihat sebuah gedung indah tidak jauh dari tempatku berada. Seorang anak muda menggoreskan kata-kata dengan cat di atas aspal jalan,’Flowers Are Better Than bullet’. Di situlah aku menjadi sedikit tahu apa yang sedang terjadi. Ternyata mereka sedang melakukan demonstrasi, mereka adalah mahasiswa dari sebuah universitas di kota ini, dan taman yang tadi kami tempati adalah taman pelataran kampus, sedangkan barisan manusia bersergam itu adalah para pasukan keamanan yang menjaga mahasiswa..

Kemudian seorang anak muda berambut hitam panjang mendatangi kami, di tangan anak muda itu tercangking sebuah boks amplifier kecil. Diletakkannya boks pengeras suara itu di dekat kami, tak lama kemudian aku bernyanyi, bersama mereka, diiringi ketukan perkusi dan tepuk tangan dari seluruh anak muda di tempat itu.

Ev'rybody's talkin' 'bout
Bagism, Shagism, Dragism, Madism, Ragism, Tagism
This-ism, that-ism, ism ism ism
All we are saying is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance

(C'mon)
Ev'rybody's talkin' 'bout
Minister, Sinister, Banisters and Canisters,
Bishops, Fishops, Rabbis, and Pop Eyes, Bye bye, Bye byes
All we are saying is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance

(Let me tell you now)
Ev'rybody's talkin' 'bout
Revolution, Evolution, Masturbation, Flagellation, Regulation,
Integrations, mediations, United Nations, congratulations
All we are saying is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance

Ev'rybody's talkin' 'bout
John and Yoko, Timmy Leary, Rosemary,
Tommy Smothers, Bobby Dylan, Tommy Cooper,
Derek Taylor, Norman Mailer, Alan Ginsberg, Hare Krishna
Hare Hare Krishna
All we are saying is give peace a chance
All we are saying is give peace a chance[1]

Namun beberapa menit kemudian kerusuhan pecah kembali, dan kali ini lebih mengerikan. Pasukan berseragam itu mengejar kami sambil menembakkan sesuatu yang asapnya membuat mata pedih. Kami kembali terkoyak, lari pontang panting ke arah gedung-gedung besar. Para pasukan terus mengejar dengan benda tajam mengkilat di tangan. Anak-anak muda peserta demonstran mencoba menyerang dengan lemparan batu, dan pasukan itu terus memburu dengan tembakannya. Tubuhku yang tengah berada dalam pelukan Joe, terguncang dan beberapa kali menghantam batang-batang pohon dan tembok gedung. Tangan Joe gemetar memeluk tubuhku, merapatkan dirinya di pojok sebuah gedung bersama beberapa mahasiswa lainnya. Hingga keadaan berubah tenang, kami semua melangkah kembali menuju taman, dan terlihat di kejauhan barisan pasukan yang berjaga-jaga semakin banyak.

Besoknya ketika aku terbangun dari tidur, kudapati tubuhku terbaring di atas kasur di dalam kamar asrama Christ. Tidak ada siapa-siapa di kamar saat itu selain aku sendiri. Hari rupanya sudah siang dan keadaan cukup sepi, hanya suara gemeresak dari radio kecil yang diletakkan di atas meja. Suara laki-laki terdengar sedang menyerukan sebuah berita, sementara di belakangnya terdengar riuh keributan manusia seperti yang terjadi semalam. Berjam-jam aku kesepian di dalam kamar itu, hingga ketika cahaya dari jendela mulai meredup, Joe datang. Sampai di dekatku, dia langsung memeluk tubuhku erat-erat. Aku tersentak oleh hangat cairan berwarna merah yang melekat di kemejanya. Kemudian aku mengiringinya menyanyikan sebuah lagu yang sangat sendu dan menyayat. Suara anak muda itu serak, dan di sela-sela nyanyiannya, ia menangis. Setetes cairan hangat dari mata jatuh di atas tubuhku, dan kulihat mata itu merah berair.

How many times must a man look up
Before he can see the sky?
Yes, 'n' how many ears must one man have
Before he can hear people cry?
Yes, 'n' how many deaths will it take till he knows
That too many people have died?
The answer, my friend, is blowin' in the wind,
The answer is blowin' in the wind.[2]


Beberapa hari kemudian aku baru tahu apa yang sedang terjadi padanya. Sebuah surat kabar tergeletak di sampingku di satu siang dan kulihat sebuah foto tercetak di atasnya, gambar Joe berdiri di samping tubuh Christ yang bersimbah darah tergeletak di jalan.

Hari-hari berikutnya matahari kembali tertutup oleh peti pembaringanku. Bayangan wajah-wajah anak muda masih tergambar jelas di benak, suara-suara letusan dan teriakkan serta tangisan dari para demonstran itu masih saja mengiang seolah diluar tempat pembaringanku sekarang ini tengah terjadi lagi kerusuhan seperti kemarin itu.

[1] Give peace a chance, John Lennon

[2] Blowin’ in the wind, Bob Dylan.


Bersambung...


Newer Post Older Post Home