Tentara Tanpa Tanda Jasa (I)

By | Tuesday, May 15, 2012
Sumber tulisan: NewYorker
Judul Asli: Invisible Army
Penulis: Sarah Stillman
Sumber gambar: NewYorker
Waktu makan siang di Suva, Fiji, pada hari yang lambat di akhir musim wisata bulan September 2007, ketika empat orang laki-laki muncul di ambang pintu Rever Beauty Salon tempat Vinnie Tuivaga bekerja sebagai piñata rambut. Mereka mengenakan sepatu bersemir dan kaos Hawai cerah. Lalu berbincang bersama Vinnie tentang suatu pekerjaan yang, menurut Vinnie, adalah ‘buah dari ketaatannya pada tuhan selama bertahun-tahun.’ Apakah ia ingin memeperoleh penghasilan lima kali lebih banyak di hotel mewah di Dubai, tempat yang terkenal dengan istilah Kota Emas? Apakah ia ingin mendapat pelanggan Arab yang kaya, perempuan-perempuan yang berani bayar upah secara gila-gilaan untuk urusan potong dan mewarnai?

“Aku akan membicarakannya dengan suamiku dulu,” jawab Vinnie, dengan tenang walaupun detak jantungnya memburu. Vinnie, 45 tahun, tidak pernah bekerja di luar negeri. Tapi ia kerap memimpikannya saat mendengarkan khotbah pendeta di gereja setempat. Dengan tinggi sekitar 1.8 meter dan berat 100 kg lebih, Vinnie bergerak dengan gaya pengidap artritis, meski begitu ia tetap menjaga panampilan. Ia memakai celana panjang longgar kemilau dan topi warna emas di atas rambut hitamnya yang mengelabu. Membawa tas kecil dari kulit imitasi yang berisi pulas mata warna perak. Ia bisa melihat dirinya bekerja di salah satu kota kosmopolitan dunia. Tawaran itu bisa jadi perubahan besar dalam hidupnya, kesempatan mengirimkan putrinya ke sekolah kedokteran dan membayar biaya sekolah menengah putra bungsunya.

Minggu berikutnya, di sebuah salon dekat perempatan jalan, Lydia Qeraniu (32 tahun), mendapat tawaran yang sama. Wanita cekatan dengan senyum genit dan sosok yang membuat pria-pria Fiji berteriak “uro, uro!” – bahas slang dari cantik – Lydia dicemaskan oleh prospek kariernya di Dubai. Begitu juga dengan perempuan-perempuan perawat kecantikan lainnya di hotel-hotel sepanjang pantai Fiji.

Pesawat Korea yang menuju Dubai akan meninggalkan bandara internasional Nadi dalam beberapa hari ke depan. Wanita-wanita itu mesti menyerahkan CV dan passport yang disertai hasil tes medis, dan membayar komisi sebesar 500 dolar kepada perusahan perekrut tenaga kerja setempat yang disebut Meridian Services Agency.

Segera saja, lebih dari 50 perempuan berbaris di luar kantor Meridian untuk memperebutkan posisi yang akan membayar mereka sebanyak 3800 dolar sebulan – sepuluh kali lipat lebih banyak dari pendapatan per-kapita pertahun masyarakat Fiji. 10 wanita kemudian dipilih, Vinnie dan Lydia termasuk di dalamnya.

Vinnie mengangkat tangannya dan menyanyikan lagu gospel kesukaannya: “We’re gonna make it, we’re gonna make it. With Jesus on our side, things will work out fine.” Lydia bergegas pulang ke rumah untuk memberitahu suaminya dan berbicara pada anak laki-lakinya yang lima tahun.”Mama akan baik-baik saja,” kenangnya.”Dubai, sebuah negara kaya. Hanya hal-hal baik yang akan terjadi.”

Pagi hari bulan Oktober 2007, para perawat kecantikan itu melakukan penerbangannya ke Emirat. Mereka membawa penuh kosmetik, foto-foto keluarga, injil, sarung bermotif bunga, dan chamba, baju halus tradisional Fiji yang dipadu dengan rok bermotif. Lebih dari separuhnya adalah wanita-wanita yang meninggalkan suami beserta anak-anaknya. Pada keberangkatan yang terburu-buru itu, tidak satupun dari mereka yang mengecek lampiran dokumen perjalanan mereka: visa yang mereka gunakan ke Emirat bukanlah yang mengizinkan mereka bekerja, tetapi sekadar perjalanan 30 hari yang melarang segala macam pekerjaan baik dibayar maupun tidak; perpindahan mereka tercantum sebagai ‘koordinator penjualan.’ Dan Dubai hanyalah titik transit. Mereka tengah menuju ke markas militer Amerika Serikat di Irak.

Lydia dan Vinnie tidak sadar dirinya sedang direkrut untuk ‘tentara tak terlihat’ milik Pentagon: lebih dari 70 ribu tukang masak, bagian kebersihan, pekerja bangunan, pelayan masakan cepat saji, tukang listrik, dan perawat kecantikan dari negara-negara miskin di seluruh dunia melayani urusan tentara Amerika di Irak dan Afghanistan. Tukang cuci pakaian tentara asal Filipina, pengantar daging  dan tenda-tiup militer asal Kenya, tukang listrik asal Bosnia dan pelayan es mocha asal India. Biro pelayanan tentara dan angkatan udara AAFES (Army and Air Force Exchange Service) berada di balik sebagian besar jasa yang mengiklanan dirinya ‘berasa seperti di rumah,’ yang dapat ditemui di markas-markas utama militer Amerika, termasuk toko-toko permata, toko-toko cenderamata yang menjual catur berbentuk onta dan Taliban, salon kecantikan di mana para tentara bisa pijat dan pedicure, serta restoran cepat saji semacam Taco Bell, Subway, Pizza Hut hingga Cinnabon. (Moto AAFES adalah ‘kita ada di mana kamu berada.’)

Ekspansi para kontraktor tentara-khusus memang cukup terkenal. Tetapi jumlah yang dipersenjatai hanya sekitar 16 persen dari seluruh tentara sewaan itu. Mayoritas – lebih dari 60 persen dari total yang ada di Irak – bukan disewa untuk persenjataan, melainkan menyewa ‘tangan-tangan’ mereka. Para pekerja itu, khususnya yang datang dari Asia Selatan dan Afrika, sering tinggal bersama di markas terntara Amerika yang dikelilingi kawat duri, makan di ruangan yang sempit, dan menjadi host di pesta dansa membawakan lagu-lagu balad romantis Nepal dan lagu-lagu gereja Uganda. Sejumlah besar dari mereka dipekerjakan oleh subkontraktor (kontraktor-kontraktor kecil yang bernaung di bawah pemborong utama) ‘tidak jelas,’ yang dibiayai oleh pembayar pajak masyarakat Amerika, tapi kerap beroperasi di luar hukum.

Pekerja-pekerja asing untuk perang, dalam bahasa militer di kenal sebagai ‘warga negara ketiga – third-country nationals,’ atau T.C.N. Banyak dari mereka menceritakan bahwa uang gajinya dirampok, terluka tanpa adanya kompensasi, korban pelecehan seksual dan terjebak dalam kondisi yang tidak jauh beda dengan perjanjian perbudakan oleh majikan-majikan subkontraktor mereka. Sebelumnya, catatan-catatan yang tak dirilis milik satu perusahaan kontraktor, ratusan wawancara, dan dokumen-dokumen pemerintah yang aku dapatkan sepanjang penelitian selama setahun banyak yang membuktikan tuduhan-tuduhan tersebut, juga mengungkap hal-hal lainnya untuk diperhatikan.

Meluasnya penganiayaan mengakibatkan rangkaian kerusuhan di kamp subkontraktor Pentagon, hingga melibatkan seribu pekerja.

Di tengah-tengah penarikan pasukan Amerika di Irak dan Afghanistan, T.C.N telah menjadi bagian utuh dari strategi jangka panjang pemerintahan Obama, sebagai salah satu cara untuk mengganti tugas pasukan Amerika di wilayah tersebut. Namun beberapa pejabat tinggi militer Amerika melihat adanya kelemahan dari hal itu. Mereka menentang, sebagaimana Jenderal Stanley McChrystal lakukan sebelum ditarik dari Afghanistan musim panas lalu, bahwa meningkatnya logistik militer yang tak beraturan oleh T.C.N bisa mengacaukan tujuan militer Amerika. Kekhawatiran lain atas penganiayaan terhadap para pekerja asing telah menjadi ‘pelecehan terhadap hak asasi manusia yang tidak bisa ditoleransi,’ sebagaimana diungkapkan bekas Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat yang juga menjadi wakil ketua komisi untuk urusan perang, Christopher Shays.

Meluasnya jasa pelayanan di masa perang – pertama kali diuji coba pada masa Clinton di Somalia dan Balkan – dirancang untuk mengurangi biaya yang memungkinkan para prajurit tetap focus pada perang. Kendati begitu, pada prakteknya, privatisasi militer justru melahirkan rantai yang membelit dari subkontrak asing yang kerap menyerbu keuntungan dan kecurangan. Komisi untuk urusan perang selanjutnya mengingatkan bahaya akan subkontraktor yang buruk dalam perencanaan, kurang terstruktur, dan kurang pengawasan. Dan secara khusus juga memperingatkan akan ketergantungan militer terhadap subkontraktor asing yang tidak bisa dipertanggungjawabkan pada pemerintah Amerika.

Proses alih daya (outsourcing) ini dimulai pada kesatuan-kesatuan utama pemerintah, dalam hal ini Pentagon, yang menyerahkan kontrak logistiknya (dengan nilai sebesar 50 juta dolar setahun) kepada tiga perusahaan besar: K.B.R. (bekas anak perusahaan Halliburton), DynCorp International dan Fluor. Ketiga perusahaan tersebut kemudian menjual kontrak mereka pada ratusan subkontraktor di seluruh dunia, banyak dari mereka berasal dari negara-negara Timur Tengah terdaftar dalam perusahan pelaku perdagangan manusia. Selanjutnya, firma-firma itu mengadakan ribuan agen tenaga kerja dunia ke tiga – operasi perekrutan kecil-kecilan seperti Meridian Service.

Sebuah cerita ttg perekrutan yang menggunakan sebuah iklan yang menggoda: ‘Salad Men’ untuk Timur Tengah muncul di sebuah surat kabar. Atau sebuah iklan pencarian kerja online diposting yang mengikrarkan “lowongan untuk koki/chef/master chef untuk satu orang terbaik…peluang kerja di Timur Tengah.”

Berangkat dari keadaan putus asa para pelamar, sedikit sekali yang mengajukan pertanyaan dan banyak subkontraktor yang menyelinapkan para pekerja ke markas-markas Amerika tanpa izin dan jaminan keamanan, memotong gaji pokok dan peraturan-peraturan bagi kesejahteraan pekerja. “Tidak ada satu pun yang bermain jujur di sini,” tutur seorang manajer asing yang telah berpengalaman selama 6 tauhn di Irak. Ia mengenalkanku pada tiga pekerja muda asal Nepal dan Banglades di dekat food court Popeye dan Cinnabon. Pekerja-pekerja itu harus membayar kpd penyelundup antara 300 hingga 400 dolar untuk membawa mereka ke markas militer menggunakan surat izin palsu. Di samping harus membayar para perekrut tenaga kerja di negara asal mereka rata-rata sebesar 3000 dolar. Jumlah yang sangat luar biasa. Bahkan gen tenaga kerja tertentu menarik bayaran 2 hingga 4 ribu dolar tiap pelamarnya, keuntungan kecil di negara-negara tempat subkontraktor merekrut. Untuk mendapatkan uang, para pekerja biasanya menggadaikan harta-harta warisannya, menjual cincin kawin, atau tanah atau ternak, dan meminjam dengan bunga sangat tinggi. Aturan militer Amerika telah melarang pengambilan upah segitu banyaknya. Tapi dalam ratusan wawancara dengan T.C.N., sangat jarang aku temui pekerja yang membayar di bawah seribu dolar dan aku tidak pernah mendengar kasus yang mana seseorang dikenakan sanksi atas pembebanan upah tersebut.

Hal itu sama jarangnya dengan bertemu dengan pekerja yang menerima gaji seperti yang dijanjikan. Seorang pekerja Taco Bell berusia 25 tahun di markas utama militer Amerika Serikat mengatakan bahwa ia harus membayar ages perekrut tenaga kerja sebesar 4 ribu dolar. “Kamu akan kembali modal dengan cepat di Irak,” katanya meyakinkan. Ketika sampai di Baghdad pada bulan Mei 2009, ia ditempatkan di gerbong peti kemas di belakang kedutaan Amerika di ‘daerah hijau’, tempat, tempat ia tidur di atas kasur kumal bersama 25 imigran lainnya asal Nepal, India dan Banglades.

Banyak yang mendengar bahwa mereka mengumpulkan hanya 75 hingga 2 ratus dolar tiap bulannya sebagai koki dan pelayan tentara Amerika – jumlah yang jauh lebih kecil dari yang dijanjikan.

Kemudian ia membayar 300 dolar kepada agen yang lainnya lagi untuk mengantarnya dengan taksi menuju pangkalan militer di utara Irak. Disana seorang penyelundup asal India membebani biaya tambahan sebesar 300 dolar untuk membantu mendapatkan pekerjaan dengan gaji 500 dolar sebulan sebagai pembuat burrito. “Aku aman sekarang,” ucapnya, seraya menangis, dari balik jendela pengiriman makanan. “Berlalu sudah. Tentara adalah ayah dan ibuku.”

Bagi yang pernah mendengar tentang pelayanan ekonomi di negara-negara Teluk, ini adalah perpanjangan dari sistem yang telah berpuluh-puluh tahun melayani Kuwait, Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara Emirat Arab menggunakan tenaga kerja murah. Hanya saja para pekerja ini mesti berhadapan dengan tembakan mortir, serangan roket, berurusan dengan alat-alat peledak dan resiko-resiko perang lainnya – dan bahwa sekalipun mereka bekerja lewat perantara, sejatinya mereka bekerja untuk pemerintah Amerika Serikat.

1  2  3  Selanjutnya
Newer Post Older Post Home