Tehran, 12 Januari 2012, seorang ilmuwan nuklir Iran bernama Mustofa Ahmadi Roshan terbunuh ketika bom yang dipasangkan di mobilnya meledak. Usianya 32 tahun, merupakan wakil direktur fasilitas pengayaan nuklir di Natanz. Tidak ada satu pun yang mengaku bertanggung jawab, kecuali Israel yang menyatakan kepuasannya. Dinas intelijen barat mencurigai Mossad terlibat. Ini adalah pembunuhan yang ke empat kalinya yang menimpa ilmuwan Iran sejak 2 tahun terakhir. Sangat kentara sekali, dari ke empat aksi itu, adany perencanaan yang cermat dan kesamaan-kesamaan yang mencolok. Tentu saja, Iran menyalahkan Israel dan Amerika. Setelah itu, pemerintah Iran segera memperketat penjagaan terhadap ilmuwan-ilmuwannya yang lain. Tapi yang lebih penting dari serangan yang meresahkan itu adalah, apa yang bisa kita pelajari tentang program nuklir Iran saat ini?
Satu hal yang menarik perhatianku saat membaca tentang Mustofa Ahmadi Roshan adalah bahwa ia salah seorang petinggi di program pengayaan nuklir Iran, namun ia lulusan Sharif Technical University di Tehran, alih-alih lulusan luar negeri sebagaimana anggota senior lainnnya. Hal itu menunjukkan bahwa Iran sekarang mampu memproduksi sendiri ilmuwan dan insinyurnya tanpa harus belajar di tempat lain. Bahkan sehari setelah peristiwa terbunuhnya Roshan, 300 pelajar di Sharif dan 1000 pelajar di tempat laindi Iran dilaporkan mengganti jurusan mereka ke tehnik fisika nuklir. Aku tidak kaget ketika ada dukungan luas dari masyarakat Iran terhadap program nuklir pemerintah mereka, bahkan dari pihak oposisi. Nuklir menjadi semacam sumber kebanggaan.
Hal ke-2 yang menarik perhatianku adalah satu hari setelah peristiwa itu, Iran menyatakan bahwa mereka baru saja menghasilkan sendiri elemen bahan bakar pertama untuk Tehran Research Reactor (RTT), reaktor kecil yang dibangun oleh Shah pada tahun 1960 sebagai bagian dari program Atom untuk perdamaian, dan menuai kritik pada tahun 1967. Bersama beberapa reaktor lainnya, TRR pada mulanya digerakkan oleh uranium kelas-senjata. Uranium jenis ini berisi 90% serpih isotop U-235. Uranium hasil tambang yang kurang dari 1% keseluruhan berisi isotop non-fisil U-238. Untuk mencapai tingkat lebih tinggi dari uranium dibutuhkan pemisahan U-235 dari U-238, biasanya dengan separator sentrifugal. Pada saat itu alasan penggunaan uranium kelas senjata dimungkinkan karena adanya sisa-sisa pasokan dari program bom Amerika dan tidak ada yang berpikir bahwa menjualnya ke negara-negara berkembang untuk riset reaktor sipil dapat menjadi sebuah ancaman. Banyak sekali uranium-uranium itu yang sampai sekarang belum ditemukan.
Pada 1987, TRR – sekarang di bawah control Republik Islam Ayatullah Khomeini, mulai kehabisan bahan bakar. Agar proyek tetap berlanjut, pemerintah Iran memutuskan untuk menggunakan uranium 20%. Hingga sekarang, uranium kelas rendah dapat diproduksi di hamper semua negara, namun tidak ada satu pun yang berniat untuk mengembangkannya ke kelas-senjata. Iran membelinya dari perusahaan Aregentina – Argentinan Company Investigaciones Aplicades) sebanyak kurang lebih 5,5 juta dolar US. Dan sekarang Iran perlu isi ulang bahan bakarnya. Tetapi, kita tahu, sudah ada perjanjian antara negara-negara seperti Amerika dan Rusia tentang penyediaan bahan bakar baru bagi Iran untuk menggantikan yang lama, berharap agar Iran bersedia menghentikan pengayaan uraniumnya. Kemudian Iran menyatakan bahwa hal itu tidak jadi masalah sebab mereka memiliki kapasitas cukup untuk memproduksi sendiri. Jika ini benar, maka itu menjadi sebuah pencapaian besar dalam bidang teknologi. Namun klaim tersebut hamper mustahil dibuktikan. Tapi siapa tahu?
Sementara banyak sekali misteri tentang kemampuan Iran dalam pengayaan uranium, beberapa tentang program tersebut patut dicermati. Salah satu yang agak bertentangan: cara yang dipilih Iran kelihatannya menjadi yang pertama dalam hal pengayaan uranium hingga mencapai batas 4% - level yang dibutuhkan untuk menjalankan reactor nuklir sipil. Kemudian mereka memproses uranium 4% tersebut hingga mencapai 20%. 20 % adalah batas pokok. Di bawah itu masih termasuk dalam uranium tingkat rendah, tidak digunakan untuk senjata. Sedangkan di atasnya adalah uranium tingkat inggi yang digunakan untuk membuat bom. Perancan senjata selalu menginginkan pengayaan setinggi mungkin hingga 90% bila perlu, tapi itu dibutuhkan keterampilan yang memadai. Sedangkan di Iran, kebanyakan mereka hanya mampu membuat perangkat yang jauh lebih rendah.
Di sinilah paradoksnya. Dibutuhkan lebih sedikit aktifitas sentrifugal untuk mengaya 1kg uranium hexafluoride dari 20 ke 90% dibanding dari 4% ke 20, dan membutuhkan lebih sedikit aktifitas sentrifugal 4% ke 20 dibanding 1% ke 4%. Itu pun jika Iran mampu menghasilkan uranium 20% dan memiliki stok uranium 20% yang cukup – sebagaimana yang mereka kliam – mereka mestinya mampu memproduksi senjata dengan cukup cepat.
Sejauh ini IAEA telah mampu memonitor aktifitas pengayaan, tetapi Iran cenderung membangun tempat-tempat reactor secara rahasia, dan, mungkin saja mereka memiliki lebih dari satu tempat operasi pengayaan. Satu hal yang bias dipastikan, mereka memiliki rencana untuk dapat menggunakannya sebagai senjata nuklir. Mereka membeli paket yang sama dari AQ. Khan, sebagaimana Libya lakukan, serta alat peledak dari Cina.
Dan, apa yang terjadi sekarang? Tampaknya peringatan dari Amerika terhadap Iran mendapat satu aksi tanggapan. Menutup selat Hormuz, sebagaimana yang Iran ancamkan, akan menjadi salah satu aksi itu. Tapi sistuasi nuklir jauh lebih subtil. Ada pernyataan yang intinya tidak mengijinkan Iran membuat senjata nuklir, tapi di mana garis merahnya? Jika para penyelidik senjata diberitahu untuk meninggalkan Iran, sudah dipastikan itulah salah satunya. Tapi bagaimana tentang kepemilikan uranium kelas bukan senjata? Apakah kita akan mengetahuinya hanya setelah ada uji coba? Nampaknya tidak ada satu pun opso yang benar-benar membantu. Juga pesimis, bahwa sangsi akan membawa hasil. Ada kebanggan besar yang dipertaruhkan. Mungkin perubahan politik dapat membangkitkan pertimbangan dalam diri pemerintah Iran untuk lebih mengedepankan dialog, walaupun negosiasi, seperti yang kita tahu, tidak pernah berjalan mulus sebelumnya. Singkatnya, tidak ada yang tahu apa yang mesti dilakukan.
0 comments: