Jalur minyak Indo-ASEAN adalah garis imajiner yang menggambarkan alur minyak dan gas alam. Garis ini bermula di Australia, menyeberang ke Timor Leste, masuk ke wilayah Indonesia dari Papua, Jawa, Kalimantan, perairan Natuna, lalu berbelok ke utara menuju Laut Cina Selatan dan berujung di Da Nang, Vietnam. Jalur ini akan memainkan peran vital dalam pemenuhan energi dunia. Itu sebabnya, penulis menamakannya “Jalur Minyak Indo-ASEAN", terinspirasi oleh Jalur Sutera yang menghubungkan perdagangan dan politik Asia, Eropa, dan Afrika sejak dua abad sebelum Masehi.
Kehadiran Presiden Barack Obama di Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Bali, November lalu, jadi momen bersejarah karena mengabarkan rencana peningkatan level eksistensi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyatakan keterlibatan mereka di kawasan itu merupakan satu tugas diplomasi yang jadi prioritas di dasawarsa mendatang. Dalam rangkaian kunjungan yang sama, Obama singgah di Australia dan bersepakat dengan Perdana Menteri Julia Gillard untuk menempatkan 2.500 marinir Amerika di Darwin, Australia Utara.
Di antara sekian pendorong peningkatan atensi itu adalah ketahanan energi. Amerika khawatir lonjakan kebutuhan energi Cina akan menggiring Negeri Tirai Bambu mencari tambahan pasokan dari mancanegara dan berujung pada peningkatan pengaruh politik, ekonomi, dan militer Tiongkok secara global. Pada Agustus 2010, International Energy Agency Paris melaporkan bahwa Cina telah menggeser Amerika sebagai pengguna energi nomor satu, dengan selisih konsumsi sekitar 4 persen.
Ketika Hu Jintao mengambil alih kursi kepresidenan Republik Rakyat Cina pada 2002, dia mengeluarkan doktrin bahwa pasokan minyak dan gas vital penting bagi ketahanan ekonomi dan nasional. Dia juga mengirim angkatan lautnya ke Laut Cina Selatan dan menimbulkan keresahan di negara-negara ASEAN. Desember lalu, secara mengejutkan, Presiden Hu memerintahkan Angkatan Laut agar mempercepat transformasi dan mempersiapkan diri jika dibutuhkan untuk perang. Pernyataan ini ia sampaikan sebulan setelah kesempatan penempatan marinir Amerika di Darwin. Wajar jika Amerika, juga Cina, memandang penting Asia Tenggara. Di sana terbentang Jalur Minyak Indo-ASEAN, rantai sumur minyak dan gas yang mungkin jadi pemasok energi mereka di masa datang.
Sumber energi masa depan
Dalam dasawarsa terakhir, konstelasi sebaran cadangan minyak dunia telah bergeser. Organisasi negara eksportir minyak, OPEC, menyatakan negara pemilik cadangan minyak terbesar bukan lagi Arab Saudi, melainkan Venezuela, sebesar 296,5 miliar barel. Namun kebijakan nasionalisasi minyak yang dicetuskan Presiden Hugo Chavez jadi batu ganjalan bagi perusahaan minyak Amerika dan sekutunya untuk masuk negara itu. Akibatnya, Amerika perlu melirik kawasan lain yang lebih akomodatif. Setelah “sukses” di Libya, alternatif yang relatif damai adalah Jalur Indo-ASEAN, sekaligus membatasi ruang gerak pesaing utama, Cina.
Bentangan Jalur Minyak Indo-ASEAN dimulai dari Australia. Tidak disangka sebelumnya bahwa Australia akan menemukan lapangan gas raksasa Gorgon di lepas pantai Australia Barat dengan cadangan gas mencapai 40 triliun kaki kubik. Operator dan pemilik saham terbesar Lapangan Gorgon adalah perusahaan minyak Amerika, yaitu Chevron, sebesar 47 persen, dan ExxonMobil 25 persen. Pemilik lainnya adalah Shell dari Belanda 25 persen, dan sisanya perusahaan Jepang. Rencana produksinya mencapai 15 juta ton gas alam cair atau LNG per tahun yang sebagian besar akan diekspor ke Jepang melalui gerbang Indo-ASEAN. Selain Lapangan Gorgon, ExxonMobil asal Amerika juga jadi operator di lapangan besar lain, yaitu Scarborough dengan cadangan sebesar 8 sampai 10 triliun kaki kubik.
Di Timor Leste, lumbung minyak utama adalah Bayu Undan dengan cadangan minyak 400 juta barel, dengan operator yang juga dari Amerika, ConocoPhillips. Disusul Lapangan Greater Sunrise dengan cadangan minyak 300 juta barel. Di Papua, ada Lapangan Tangguh dengan cadangan gas 12 triliun kaki kubik, bertetangga dengan lapangan Masela di Laut Arafuru dengan cadangan gas sekitar 6 triliun kaki kubik. Bergeser ke barat, terbentang Lapangan Banyu Urip di Cepu, Jawa Tengah, yang diperkirakan mengandung cadangan minyak lebih dari 450 juta barrel. Mobil-Cepu bersama Ampolex, keduanya anak perusahaan ExxonMobil, menguasai 45 persen saham.
Lumbung migas berikutnya adalah Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang menyumbang 30 persen produksi gas Indonesia. Potensinya yaitu 12 triliun kaki kubik dan sahamnya dimiliki Total Indonesie dari Prancis dan Inpex dari Jepang. Dengan potensi demikian besar, tidak heran sederet perusahaan seperti Chevron dari Amerika mengincar pengelolaan blok ini saat kontrak berakhir pada 2017, bersaing dengan dua perusahaan sebelumnya. Juli 2011, Perdana Menteri Prancis Francois Fillon menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Kuat dugaan, salah satu agenda adalah mempertahankan eksistensi Total di Blok Mahakam, dan mematangkan kehadiran Total di Blok East Natuna.
East Natuna di Laut Natuna disebut sebagai ladang gas terbesar di Asia Timur dengan cadangan sekitar 222 triliun kaki kubik. Dari jumlah itu, sekitar 46 triliun kaki kubik dinyatakan komersial. Pemerintah menunjuk Pertamina menjadi operator, namun karena membutuhkan investasi sampai 30 miliar dolar Amerika Serikat, mereka butuh partner. Pertamina diharapkan akan menguasai 40 persen saham, sisanya dibagi dengan ExxonMobil, Total Indonesie, dan Petronas dari Malaysia.
Di wilayah Indocina, menurut laporan yang terbit Agustus lalu, ExxonMobil menemukan lapangan gas besar dilepas pantai Da Nang, Vietnam. Raksasa minyak dari Amerika Serikat itu menerima konsesi di Blok 117, 118 dan 119 dari Vietnam yang bersikukuh wilayah tersebut berada di Zona Ekonomi Eksklusif mereka. Cina menolak kesepakatan itu dan mengklaim lapangan gas ada di wilayah mereka. Tidak lama kemudian mereka meluncurkan uji coba kapal induk baru di Laut Cina Selatan dan menggelar latihan militer tidak jauh dari kawasan sengketa.
Jalur Minyak Indo-ASEAN bermuara di Laut Cina Selatan. Letaknya strategis bagi jalur perdagangan lintas negara karena setiap tahun digunakan sebagai jalur niaga--sebagian besar minyak dan gas cair dari dan ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika--dengan nilai 5 triliun dolar Amerika Serikat. Bagi Cina, jalur ini sangat vital karena 80 persen impor minyak dan gas datang via perairan ini.
Beberapa kepulauan di Laut Cina Selatan, seperti Paracel dan Spratly, diperkirakan mengandung sumber daya minyak dan gas dalam jumlah masif. Menurut hitungan ahli geologi Cina yang dikutip oleh The US Energy Information Agency, EIA, perairan itu berpotensi mengandung cadangan minyak sebesar 213 miliar barrel, atau 80 persen cadangan minyak Arab Saudi.
Apabila volume seluruh potensi minyak dan gas yang berada di Jalur Indo-ASEAN digabungkan, kawasan ini akan jadi lumbung energi yang patut diperhitungkan Amerika dan sekutunya. Tidak mengherankan apabila mereka buru-buru meningkatkan pengaruh politik dan kekuatan militer di Asia-Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara. Dari pangkalan militer di Australia dan Singapura, mereka bisa mengawal eksplorasi dan eksploitasi tambang di jalur tersebut.
Indonesia pantang terlena
Persaingan pengaruh Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina membuat Asia Tenggara rawan konflik. Hampir dua dasawarsa Indonesia memendam bibit-bibit sengketa bilateral dengan Negeri Tirai Bambu. Beberapa kali negara raksasa itu menyinggung isu perbatasan di kawasan Natuna yang kaya gas. Mereka mengklaim kepulauan itu sebagai wilayahnya berdasarkan peta teritorial Cina yang diresmikan pada 1995. Selama ini, jalinan diplomasi kedua negara mampu mendinginkan isu tersebut. Natuna tetap di pangkuan Ibu Pertiwi dan jadi tumpuan energi kita. Namun isu ini bisa kembali jadi bola panas seiring meningkatnya aktivitas militer Cina dan Amerika. Kesalahpahaman kecil bisa menimbulkan kemarahan Cina dan membuka luka lama akan perebutan teritori.
Mulai 2012, Indonesia harus pandai-pandai menari dan berdendang di antara dua tambur yang bertalu bersahutan, namun tidak seirama. Sembari berharap agar tabuhan itu bukan berasal dari genderang perang.
Kehadiran Presiden Barack Obama di Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur di Bali, November lalu, jadi momen bersejarah karena mengabarkan rencana peningkatan level eksistensi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton menyatakan keterlibatan mereka di kawasan itu merupakan satu tugas diplomasi yang jadi prioritas di dasawarsa mendatang. Dalam rangkaian kunjungan yang sama, Obama singgah di Australia dan bersepakat dengan Perdana Menteri Julia Gillard untuk menempatkan 2.500 marinir Amerika di Darwin, Australia Utara.
Di antara sekian pendorong peningkatan atensi itu adalah ketahanan energi. Amerika khawatir lonjakan kebutuhan energi Cina akan menggiring Negeri Tirai Bambu mencari tambahan pasokan dari mancanegara dan berujung pada peningkatan pengaruh politik, ekonomi, dan militer Tiongkok secara global. Pada Agustus 2010, International Energy Agency Paris melaporkan bahwa Cina telah menggeser Amerika sebagai pengguna energi nomor satu, dengan selisih konsumsi sekitar 4 persen.
Ketika Hu Jintao mengambil alih kursi kepresidenan Republik Rakyat Cina pada 2002, dia mengeluarkan doktrin bahwa pasokan minyak dan gas vital penting bagi ketahanan ekonomi dan nasional. Dia juga mengirim angkatan lautnya ke Laut Cina Selatan dan menimbulkan keresahan di negara-negara ASEAN. Desember lalu, secara mengejutkan, Presiden Hu memerintahkan Angkatan Laut agar mempercepat transformasi dan mempersiapkan diri jika dibutuhkan untuk perang. Pernyataan ini ia sampaikan sebulan setelah kesempatan penempatan marinir Amerika di Darwin. Wajar jika Amerika, juga Cina, memandang penting Asia Tenggara. Di sana terbentang Jalur Minyak Indo-ASEAN, rantai sumur minyak dan gas yang mungkin jadi pemasok energi mereka di masa datang.
Sumber energi masa depan
Dalam dasawarsa terakhir, konstelasi sebaran cadangan minyak dunia telah bergeser. Organisasi negara eksportir minyak, OPEC, menyatakan negara pemilik cadangan minyak terbesar bukan lagi Arab Saudi, melainkan Venezuela, sebesar 296,5 miliar barel. Namun kebijakan nasionalisasi minyak yang dicetuskan Presiden Hugo Chavez jadi batu ganjalan bagi perusahaan minyak Amerika dan sekutunya untuk masuk negara itu. Akibatnya, Amerika perlu melirik kawasan lain yang lebih akomodatif. Setelah “sukses” di Libya, alternatif yang relatif damai adalah Jalur Indo-ASEAN, sekaligus membatasi ruang gerak pesaing utama, Cina.
Bentangan Jalur Minyak Indo-ASEAN dimulai dari Australia. Tidak disangka sebelumnya bahwa Australia akan menemukan lapangan gas raksasa Gorgon di lepas pantai Australia Barat dengan cadangan gas mencapai 40 triliun kaki kubik. Operator dan pemilik saham terbesar Lapangan Gorgon adalah perusahaan minyak Amerika, yaitu Chevron, sebesar 47 persen, dan ExxonMobil 25 persen. Pemilik lainnya adalah Shell dari Belanda 25 persen, dan sisanya perusahaan Jepang. Rencana produksinya mencapai 15 juta ton gas alam cair atau LNG per tahun yang sebagian besar akan diekspor ke Jepang melalui gerbang Indo-ASEAN. Selain Lapangan Gorgon, ExxonMobil asal Amerika juga jadi operator di lapangan besar lain, yaitu Scarborough dengan cadangan sebesar 8 sampai 10 triliun kaki kubik.
Di Timor Leste, lumbung minyak utama adalah Bayu Undan dengan cadangan minyak 400 juta barel, dengan operator yang juga dari Amerika, ConocoPhillips. Disusul Lapangan Greater Sunrise dengan cadangan minyak 300 juta barel. Di Papua, ada Lapangan Tangguh dengan cadangan gas 12 triliun kaki kubik, bertetangga dengan lapangan Masela di Laut Arafuru dengan cadangan gas sekitar 6 triliun kaki kubik. Bergeser ke barat, terbentang Lapangan Banyu Urip di Cepu, Jawa Tengah, yang diperkirakan mengandung cadangan minyak lebih dari 450 juta barrel. Mobil-Cepu bersama Ampolex, keduanya anak perusahaan ExxonMobil, menguasai 45 persen saham.
Lumbung migas berikutnya adalah Blok Mahakam di Kalimantan Timur yang menyumbang 30 persen produksi gas Indonesia. Potensinya yaitu 12 triliun kaki kubik dan sahamnya dimiliki Total Indonesie dari Prancis dan Inpex dari Jepang. Dengan potensi demikian besar, tidak heran sederet perusahaan seperti Chevron dari Amerika mengincar pengelolaan blok ini saat kontrak berakhir pada 2017, bersaing dengan dua perusahaan sebelumnya. Juli 2011, Perdana Menteri Prancis Francois Fillon menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Kuat dugaan, salah satu agenda adalah mempertahankan eksistensi Total di Blok Mahakam, dan mematangkan kehadiran Total di Blok East Natuna.
East Natuna di Laut Natuna disebut sebagai ladang gas terbesar di Asia Timur dengan cadangan sekitar 222 triliun kaki kubik. Dari jumlah itu, sekitar 46 triliun kaki kubik dinyatakan komersial. Pemerintah menunjuk Pertamina menjadi operator, namun karena membutuhkan investasi sampai 30 miliar dolar Amerika Serikat, mereka butuh partner. Pertamina diharapkan akan menguasai 40 persen saham, sisanya dibagi dengan ExxonMobil, Total Indonesie, dan Petronas dari Malaysia.
Di wilayah Indocina, menurut laporan yang terbit Agustus lalu, ExxonMobil menemukan lapangan gas besar dilepas pantai Da Nang, Vietnam. Raksasa minyak dari Amerika Serikat itu menerima konsesi di Blok 117, 118 dan 119 dari Vietnam yang bersikukuh wilayah tersebut berada di Zona Ekonomi Eksklusif mereka. Cina menolak kesepakatan itu dan mengklaim lapangan gas ada di wilayah mereka. Tidak lama kemudian mereka meluncurkan uji coba kapal induk baru di Laut Cina Selatan dan menggelar latihan militer tidak jauh dari kawasan sengketa.
Jalur Minyak Indo-ASEAN bermuara di Laut Cina Selatan. Letaknya strategis bagi jalur perdagangan lintas negara karena setiap tahun digunakan sebagai jalur niaga--sebagian besar minyak dan gas cair dari dan ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika--dengan nilai 5 triliun dolar Amerika Serikat. Bagi Cina, jalur ini sangat vital karena 80 persen impor minyak dan gas datang via perairan ini.
Beberapa kepulauan di Laut Cina Selatan, seperti Paracel dan Spratly, diperkirakan mengandung sumber daya minyak dan gas dalam jumlah masif. Menurut hitungan ahli geologi Cina yang dikutip oleh The US Energy Information Agency, EIA, perairan itu berpotensi mengandung cadangan minyak sebesar 213 miliar barrel, atau 80 persen cadangan minyak Arab Saudi.
Apabila volume seluruh potensi minyak dan gas yang berada di Jalur Indo-ASEAN digabungkan, kawasan ini akan jadi lumbung energi yang patut diperhitungkan Amerika dan sekutunya. Tidak mengherankan apabila mereka buru-buru meningkatkan pengaruh politik dan kekuatan militer di Asia-Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara. Dari pangkalan militer di Australia dan Singapura, mereka bisa mengawal eksplorasi dan eksploitasi tambang di jalur tersebut.
Indonesia pantang terlena
Persaingan pengaruh Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina membuat Asia Tenggara rawan konflik. Hampir dua dasawarsa Indonesia memendam bibit-bibit sengketa bilateral dengan Negeri Tirai Bambu. Beberapa kali negara raksasa itu menyinggung isu perbatasan di kawasan Natuna yang kaya gas. Mereka mengklaim kepulauan itu sebagai wilayahnya berdasarkan peta teritorial Cina yang diresmikan pada 1995. Selama ini, jalinan diplomasi kedua negara mampu mendinginkan isu tersebut. Natuna tetap di pangkuan Ibu Pertiwi dan jadi tumpuan energi kita. Namun isu ini bisa kembali jadi bola panas seiring meningkatnya aktivitas militer Cina dan Amerika. Kesalahpahaman kecil bisa menimbulkan kemarahan Cina dan membuka luka lama akan perebutan teritori.
Mulai 2012, Indonesia harus pandai-pandai menari dan berdendang di antara dua tambur yang bertalu bersahutan, namun tidak seirama. Sembari berharap agar tabuhan itu bukan berasal dari genderang perang.
0 comments: