Literasi Sains, Sebuah Isu Kritis

By | Sunday, December 04, 2011 Leave a Comment
Apa yang menjadikan bangsa-bangsa Barat lebih unggul ketimbang bangsa-bangsa Timur? Pasar bebas, kata Kishore Mahbubani, dan sesudah itu penguasaan sains serta teknologi. Itulah yang dituturkan penulis buku Dapatkah Orang Asia Berpikir? Dia juga baru-baru ini meluncurkan buku Asia Hemisfer Baru Dunia. Dalam buku ini, dia menyebutkan ada beberapa elemen lain di luar dua hal yang telah mengguncang dunia itu, tapi pasar bebas serta sains dan teknologi menjadi warisan yang tampaknya mulai direbut oleh dua kekuatan yang tengah menanjak: Cina dan India.

 Kekuatan sumber daya insani Cina terus meningkat--jumlah doktornya naik berkali lipat dalam beberapa tahun saja. Produknya menembus berbagai pasar dunia. Cap "diproduksi di Cina" sudah tertera pada produk bermerek Jepang. India sangat dikenal dengan Bangalore-nya--semacam Lembah Silikon. Nama-nama India bertengger di jajaran profesor di universitas terkemuka Eropa dan Amerika Serikat. Sebuah pergerakan kejayaan sains dan teknologi dari Eropa dan Amerika menuju Asia disebut-sebut tengah berlangsung.

Di luar ikhtiar yang tampak jamak, mendongkrak jumlah ilmuwan yang pintar di banyak bidang, Cina menerapkan strategi yang tak kalah penting: menjadikan "literasi (melek) sains" (science literacy, scientific literacy) sebagai program negara. Cina telah memulainya lima tahun silam dengan mencanangkan Rencana 15 Tahun untuk meningkatkan jumlah penduduk yang melek sains.

Setidaknya ada dua tujuan utama yang hendak dicapai dengan program itu. Pertama, mendongkrak kekuatan Cina dalam sains ataupun peran yang dimainkan sains dalam pembangunan di Cina. Kedua, memberi warga Cina keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan pemahaman mengenai sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. 

Targetnya jelas. Pada 2010, pemahaman penduduknya terhadap sains diharapkan sudah setara dengan yang dicapai oleh bangsa-bangsa industri pada 1980-an. Dan pada 2020, negara ini menginginkan tingkat literasi sains penduduk mereka naik hingga menyamai Barat pada 2006. Rencana jangka panjang ini dalam pertimbangan pemerintah Cina akan mampu mentransformasikan Cina menjadi bangsa yang kuat, kaya akan sumber daya manusia. Empat kelompok kunci yang ditargetkan adalah anak-anak, pekerja kota, pejabat pemerintahan, dan pegawai sipil.

Bagaimana negara industri yang dikejar Cina? Pada 1988, di Inggris dilangsungkan survei untuk mengukur pengetahuan dan sikap ilmiah di kalangan orang awam. Di samping isu, yang terkait dengan proses-proses saintifik, ada pertanyaan seperti, "Apakah matahari mengelilingi bumi" atau "Bumi yang mengelilingi Matahari"? Hasil survei yang dipublikasikan di majalah sains Nature sungguh mengejutkan pemerintah Inggris. Meski kebanyakan mereka mengatakan sangat berminat pada sains, ternyata lebih dari 30 persen responden meyakini bahwa matahari mengelilingi bumi.

Tiga tahun sebelum di Inggris, di Amerika diadakan survei sejenis dengan responden orang dewasa. Survei ini hendak mengetahui bagaimana pemahaman publik tentang istilah-istilah ilmiah yang sudah jamak, seperti molekul dan radiasi. Hasilnya, hanya 5 persen responden yang dapat dianggap sebagai melek secara saintifik. Angka ini turun 2 persen dibanding survei serupa yang dilakukan pada 1979. Padahal, pada 1975-1985, ilmuwan Amerika memenangi lebih dari separuh Hadiah Nobel untuk kategori sains.

Data itu mengkonfirmasi dugaan para ilmuwan Inggris waktu itu bahwa kebanyakan orang memiliki pengetahuan yang sangat sedikit mengenai sains--sebuah defisit pengetahuan.

Kesenjangan yang tajam antara pengetahuan yang dimiliki ilmuwan dan yang dipunyai publik menjadi isu yang menarik perhatian pengambil kebijakan publik. Di Inggris, pemahaman publik mengenai sains menjadi isu pemerintahan yang kritis. 
Sebuah White Paper, berjudul Releasing Our Potential, dikeluarkan lima tahun setelah survei di Inggris. Tujuannya untuk mencapai perubahan kultural: komunikasi, interaksi, serta pemahaman yang lebih baik antara komunitas saintifik, industri, dan departemen pemerintahan. Salah satu caranya: memperbaiki keterampilan ilmuwan dalam berkomunikasi dengan publik. Tahun berikutnya, 1994, aktivitas "sains, rekayasa, dan teknologi" yang disponsori pemerintah berlangsung setiap minggu, dan sains pun perlahan menjadi perhatian publik. Perdebatan antar-ilmuwan mengenai isu tertentu bisa menjadi sejenis talk show yang menarik bayaran bagi peminatnya dan dipadati pengunjung.

Di Amerika, kalangan yang prihatin berusaha memacu ketertinggalan anak-anak muda Amerika dalam sains dan matematika. Bagaimana menjadikan sains dan matematika tidak berhenti sebagai mata pelajaran yang wajib dikuasai, tapi menjadi bagian dari hidup keseharian yang menyenangkan. Dan Cina kini tengah berusaha keras mendongkrak tingkat literasi sains warganya agar mampu mengimbangi pertumbuhan cepat jumlah doktor mereka.

Mengapa Inggris dan Amerika berusaha keras memacu kembali tingkat "literasi sains" masyarakatnya? Mengapa pemerintah Cina bekerja keras mengatasi ketertinggalannya? 

Ada keyakinan, seperti disebutkan dalam Royal Society Report yang terbit pada 1985 tentang "The Public Understanding of Science", bahwa pemahaman publik tentang sains memiliki kaitan erat dengan kesejahteraan bangsa. Ekonomi yang kuat hampir sepenuhnya bergantung pada industri yang berbasis sains dan teknologi. Sains dan teknologi, karena itu, menjadi pertimbangan utama dalam pembuatan kebijakan publik. Seberapa bagus kebijakan publik ini dibuat bergantung pada seberapa bagus pemahaman pembuat kebijakan publik memahami sains dan teknologi.

Tapi sebuah kebijakan publik tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Di sebuah negeri demokrasi, suara publik semestinya didengarkan. Menjadi krusial bahwa warga individu, seperti halnya pengambil keputusan, mengakui dan memahami aspek-aspek saintifik dari isu-isu publik. Di tengah pertarungan kelompok-kelompok kepentingan dalam isu-isu kontroversial, seperti kekuatan nuklir dan hujan asam, bahkan di Indonesia soal tembakau dan rokok, warga perlu mengetahui latar belakangnya dengan tepat dan menyuarakan pendapatnya.

Indonesia dalam posisi yang kritis dalam isu literasi sains. Ketika penguasaan sains dan teknologi menjadi faktor dominan dalam kompetisi antarbangsa, literasi baca tidaklah memadai untuk membuat kita cukup mampu ikut berbicara. Untuk mencapai tingkat literasi sains, sehingga orang menyadari, berminat, dan terlibat dalam membentuk opini mengenai isu-isu sains, kita mesti melewati tahapan pemahaman lebih dulu tentang kontennya, prosesnya, serta faktor sosial yang mengkonstruksi sains dan teknologi.

Memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai sains dan teknologi membuka kemungkinan bersikap lebih tepat dalam menanggapi isu-isu kontroversial dan menekan kemungkinan terombang-ambing oleh kebisingan suara berbagai kelompok kepentingan (ingat kasus "pasal tembakau" beberapa waktu lalu). Betapapun, isu-isu sains dan teknologi sulit dilepaskan dari kepentingan serta permainan politik dan ekonomi. Bagi publik non-ilmuwan, memahami sains dan teknologi dengan lebih baik membuka kemungkinan partisipasi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan dan menghindari untuk menjadi korban benturan kepentingan.


Oleh: Dian R. Basuki,
PENGAMAT MASALAH SAINS


Sumber: Koran Tempo




Newer Post Older Post Home

0 comments: