Awalnya, tidak sengaja membaca note tentang di balik layar proyek penulisan Lenka. Seketika saya ngeces pada nasib baik 17 penulis Sarekat Kuping Hitam yang mendapat kesempatan dikibuli habis-habisan oleh dua jawara berbakat dari Semarang itu.
Termakan iklan, saya pun mulai sedikit memperhatikan Lenka. Akhirnya, secara mendadak, saya melakukan hal yang selama berpuluh tahun belakangan jarang sekali saya lakukan, yakni membeli buku.
Mulanya, iseng saja tanya-tanya via inbox karyawan tetap Banana, mas Sigit Pracoyo. Eh, responnya cepet dan akomodatif banget, sehingga dari pingin beli satu buku, akhirnya terpesan 4 buku, (sial betul).
Buku-buku tersebut secara menakjubkan sudah tiba di alamat saya esok harinya, dan (lagi-lagi sial) sehari itu langsung kelar semua.
Hebat sih ditinjau dari segi marketing, namun sungguh bertentangan dengan prinsip belanja konsumen irit seperti saya yang mengutamakan “beli dikit, habisnya lama”.
Untunglah terbitan Banana belum banyak, tidak terlalu mahal, dan... yang terpenting, diskonnya gede, sehingga mengurangi kemungkinan bangkrut sebelum gajian kalau-kalau tergiur lagi (atau tertipu?) untuk beli buku.
Rumah Kopi Singa Tertawa, kumpulan cerpen Yusi Avianto Pareanom, saya baca duluan. Selesai kurang dari dua jam. Mungkin karena sebagian sudah saya baca secara online, yang langsung sayagoogling setelah terpikat membaca posting cerpen berjudul “Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih”.
Lalu, Lenka saya baca, kemudian buku bagus yang hanya lima belas ribu rupiah sebelum diskon, Frank Sinatra Kena Salesma, lalu Mengajari Batu Bicara karya Annie Dillard.
Buku-buku yang berbeda, namun entah kenapa terasa ada sesuatu yang sama. Setelah itu, saya jadi tergiur ingin membaca Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga karena terkenang keindahan “Dear John Wayne” yang keduanya ditulis Sherman Alexie,
lalu mulai kepingin novel grafis Eendaagsche Exprestreinen, lalu Si Lorax, dst. dst.... *hadeehh... semoga Tuhan melindungi kantong saya dari tekor karena belanja buku...
Pertama saya “mengenal” mas Yusi adalah karena beliau penerjemah salah satu buku favorit saya sepanjang masa, Mimpi-Mimpi Einstein yang isi buku maupun terjemahan bahasa Indonesianya sangatpantas dipoedjiken*). Lalu saya mendengar kabar bahwa beliau menjadi pemilik kebun pisang di jalan kaca jendela, suatu komposisi nama yang puitis.
Buku pertama hasil kebun pisang yang saya punya adalah terjemahan The Catcher in the Rye, gara-gara dikomporin teman yang terpesona pada kisah anak kecil unik yang tidak bercita-cita menjadi astronot, guru, nelayan atau petani, namun ingin jadi penjaga di tepi jurang supaya anak-anak kecil yang sedang asyik bermain bisa dicegahnya agar tidak kecemplung.
Cita-cita yang menurut saya agak sulit kesampaian, karena akan sukar sekali mencari lokasi di tepi jurang, yang mestinya curam, di mana anak-anak kecil bisa begitu asyik bermain sampai tahu-tahu bisa tanpa sengaja kecemplung ke jurang yang tanpa penjaga.
Lalu buku Ekspedisi Kapal Borobudur yang saya tulis resensinya untuk edisi khusus majalah angkatan laut. Mestinya akan mantap sekali, karena majalah tersebut akan diserahkan secara simbolis pada Panglima Angkatan Laut RI pada upacara kenegaraan 5 Oktober 2011, dan selanjutnya akan dikoleksi di rumah, barak, atau kapal para prajurit angkatan laut di seluruh Indonesia.
Sayangnya, karena saya lupa mencantumkan data diri di akhir naskah, sang layouter berinisiatif menulis nama Yusi Avianto Pareanom, yang adalah penulis buku, sebagai penulis resensi. Jadinya, selain nama keren saya batal tercantum, hal merugikan lainnya adalah ketika pihak redaksi menelepon saya untuk menanyakan nomor rekening mas Yusi sebagai tersangka penulis resensi, *hiks.
Termakan iklan, saya pun mulai sedikit memperhatikan Lenka. Akhirnya, secara mendadak, saya melakukan hal yang selama berpuluh tahun belakangan jarang sekali saya lakukan, yakni membeli buku.
Mulanya, iseng saja tanya-tanya via inbox karyawan tetap Banana, mas Sigit Pracoyo. Eh, responnya cepet dan akomodatif banget, sehingga dari pingin beli satu buku, akhirnya terpesan 4 buku, (sial betul).
Buku-buku tersebut secara menakjubkan sudah tiba di alamat saya esok harinya, dan (lagi-lagi sial) sehari itu langsung kelar semua.
Hebat sih ditinjau dari segi marketing, namun sungguh bertentangan dengan prinsip belanja konsumen irit seperti saya yang mengutamakan “beli dikit, habisnya lama”.
Untunglah terbitan Banana belum banyak, tidak terlalu mahal, dan... yang terpenting, diskonnya gede, sehingga mengurangi kemungkinan bangkrut sebelum gajian kalau-kalau tergiur lagi (atau tertipu?) untuk beli buku.
Rumah Kopi Singa Tertawa, kumpulan cerpen Yusi Avianto Pareanom, saya baca duluan. Selesai kurang dari dua jam. Mungkin karena sebagian sudah saya baca secara online, yang langsung sayagoogling setelah terpikat membaca posting cerpen berjudul “Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih”.
Lalu, Lenka saya baca, kemudian buku bagus yang hanya lima belas ribu rupiah sebelum diskon, Frank Sinatra Kena Salesma, lalu Mengajari Batu Bicara karya Annie Dillard.
Buku-buku yang berbeda, namun entah kenapa terasa ada sesuatu yang sama. Setelah itu, saya jadi tergiur ingin membaca Adu Jotos Lone Ranger dan Tonto di Surga karena terkenang keindahan “Dear John Wayne” yang keduanya ditulis Sherman Alexie,
lalu mulai kepingin novel grafis Eendaagsche Exprestreinen, lalu Si Lorax, dst. dst.... *hadeehh... semoga Tuhan melindungi kantong saya dari tekor karena belanja buku...
Pertama saya “mengenal” mas Yusi adalah karena beliau penerjemah salah satu buku favorit saya sepanjang masa, Mimpi-Mimpi Einstein yang isi buku maupun terjemahan bahasa Indonesianya sangatpantas dipoedjiken*). Lalu saya mendengar kabar bahwa beliau menjadi pemilik kebun pisang di jalan kaca jendela, suatu komposisi nama yang puitis.
Buku pertama hasil kebun pisang yang saya punya adalah terjemahan The Catcher in the Rye, gara-gara dikomporin teman yang terpesona pada kisah anak kecil unik yang tidak bercita-cita menjadi astronot, guru, nelayan atau petani, namun ingin jadi penjaga di tepi jurang supaya anak-anak kecil yang sedang asyik bermain bisa dicegahnya agar tidak kecemplung.
Cita-cita yang menurut saya agak sulit kesampaian, karena akan sukar sekali mencari lokasi di tepi jurang, yang mestinya curam, di mana anak-anak kecil bisa begitu asyik bermain sampai tahu-tahu bisa tanpa sengaja kecemplung ke jurang yang tanpa penjaga.
Lalu buku Ekspedisi Kapal Borobudur yang saya tulis resensinya untuk edisi khusus majalah angkatan laut. Mestinya akan mantap sekali, karena majalah tersebut akan diserahkan secara simbolis pada Panglima Angkatan Laut RI pada upacara kenegaraan 5 Oktober 2011, dan selanjutnya akan dikoleksi di rumah, barak, atau kapal para prajurit angkatan laut di seluruh Indonesia.
Sayangnya, karena saya lupa mencantumkan data diri di akhir naskah, sang layouter berinisiatif menulis nama Yusi Avianto Pareanom, yang adalah penulis buku, sebagai penulis resensi. Jadinya, selain nama keren saya batal tercantum, hal merugikan lainnya adalah ketika pihak redaksi menelepon saya untuk menanyakan nomor rekening mas Yusi sebagai tersangka penulis resensi, *hiks.
Cerpen-cerpen dalam Rumah Kopi Singa Tertawa rata-rata aduhai (pinjam istilah mas Yusi) dan sebagian memikat. Petikan novel Raden Mandasiya, cukup bisa jadi teaser yang betul-betul menggoda untuk baca novel lengkapnya. Ada satu yang membosankan, saya lupa judul dan isi ceritanya, tapi selebihnya saya suka. Diksi semarangannya, asik.
“Durna Sambat” adalah cerpen yang paling berkesan buat saya, meski menurut mas Yusi, sebagian besar kawan yang tidak mengenal kisah wayang, menganggap itu cerpen paling tidak asik. Bagi saya, bukan soal basis cerita wayangnya, tetapi saya hampir selalu menyukai penulisan ulang cerita yang sudah punya “pakem” dengan perspektif berbeda.
Bukan hanya cerita wayang, sebagian cerita rakyat, legenda, cerita religi, epik/saga, dan cerita tipikal lainnya yang biasanya bersumber dari tradisi lisan, seringkali memerlukan perspektif berbeda.
Saya sendiri pernah merasa kurang sreg dengan pesan dalam cerita kancil, ketika sosok penipu itu diangkat sebagai tokoh protagonis. Memang selalu ada unsur politis dalam tradisi cerita yang berkembang. Mungkin yang dimaksudkan dalam kisah kancil adalah simbol mulia bahwa sesuatu yang kecil dan lemah bisa mengalahkan yang besar dan kuat, dengan kecerdikan akal. Tapi berbohong tetaplah berbohong, biarpun dilakukan oleh pahlawan maupun penjahat.
Saya terkesan oleh kuliah umum Pak Sapardi Djoko Damono di Salihara tentang sastra Indonesia pra-kemerdekaan. Menurut beliau, karena faktor politis pemerintah kolonial, dalam novel Siti Nurbaya, contohnya, Datuk Maringgih yang sesungguhnya patriot, tetua adat dan agama yang bisa menggerakkan pemuka agama di surau-surau untuk berjuang, ditokohkan sebagai orang brengsek, sedangkan Samsul Bahri, pemuda ingusan nan cengeng, yang gampang mau bunuh diri hanya karena putus cinta, ditokohkan sebagai pahlawan. Unsur politis memang kadang bisa merekayasa sesuatu yang janggal jadi tampak baik-baik saja.
Saya tidak tahu apa latar politis kisah wayang. Tapi sejak mula saya merasa tidak cocok dengan plot dan penokohan yang menurut saya terlalu hitam putih dan kadang kurang adil. Dalam cerpen “Durna Sambat” dikatakan bahwa ketika Pandawa membunuh salah seorang Kurawa, selalu dinyatakan sebagai strategi perang yang cemerlang, betapapun licik dan picisan cara memenangkannya. Sedangkan ketika Kurawa membunuh salah seorang di kubu Pandawa, meskipun dalam perang-tanding yang fair, selalu diceritakan sebagai kelicikan dan kekejaman tiada tara. Tipikal yang hampir selalu terjadi dalam lakon inti maupun berbagai bentuk kembangan cerita wayang yang standar.
Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata adalah karya pertama yang saya sangat kagumi karena perspektif berbeda dalam menceritakan lakon Ramayana. Bagi saya, karya Sindhunata itu membuat kisah besar Ramayana jadi masuk akal.
Saya menyukai wayang. Saat masih SD, cukup rajin mendengarkan dan hafal jadwal siaran wayang semalam suntuk di radio, tahu jalan cerita beberapa lakon, juga nama kerajaan, silsilah dan kisah tiap-tiap tokoh sebagaimana yang tercantum dalam diktat dan buku Rangkuman Pengetahuan Umum.
Saya pun betah begadang semalam suntuk menonton pertunjukan wayang. Doyan mendengarkan kalimat-kalimat wayang, tembang, dan gamelan. Namun saya kurang suka plot dan penokohannya.
Saya hampir tidak pernah menyukai tokoh-tokoh yang dianggap hero, meski juga tak lantas menjadi simpati pada tokoh yang anti-hero. Satu-satunya yang saya suka mungkin hanya tokoh Karna, tokoh abu-abu yang sering dikisahkan secara apik oleh penulis-penulis favorit saya.
Tentang Durna, baru saya temukan di cerpen mas Yusi ini. Mungkin sudah ada pada karya lain, tetapi karena saya tidak banyak baca buku, bagi saya ini yang pertama.
Kebetulan, hampir bersamaan, saya juga sedang membaca naskah lakon wayang yang standar, dan garis besar kisah Durna, dalam perspektif standar tentunya, sama dengan yang dikisahkan mas Yusi dengan perspektif baru. Rasanya saya mulai berencana memasukkan tokoh Durna sebagai satu lagi tokoh yang saya suka dalam cerita wayang.
Membaca cerpen-cerpen itu, saya merasa, kadang sesuatu yang keji, bisa terlihat indah. Sesuatu yang getir, bisa jadi lucu. Saya suka.
Adapun Lenka, sejak mula saya sudah berniat datang ke acara diskusi buku itu, bahkan sudah memesan bukunya sebelum acara diskusi. Sayangnya, pada hari dan jam itu saya mesti ke acara yang sama-sama menarik, pertemuan terakhir lokakarya baca sastra di TIM. Diskusi sudah selesai ketika saya tiba di Salihara. Saya hanya sempat membaca makalah Mbak Ayu Utami dan Pak Manneke Budiman.
Sebetulnya, secara pribadi, biasanya saya kurang bisa menikmati cerita-cerita yang bikin murung, seram, keruh, setelah membacanya. Otak saya ini manja benar. Tidak mau diajak susah dan suka lemot sangat kalau mesti memahami yang rumit-rumit. Maunya yang serba elok dan terang benderang. Mungkin cerita dengan tokoh-tokoh sederhana tetapi apik, bening seperti mata air pegunungan yang belum dijamah perusahaan akua. Jenis bacaan yang kemayu dan kurang menantang.
Dalam Lenka, saran editor agar membebaskan diri bereksperimen sebebasnya dalam bercerita, sepertinya ditafsirkan sebagai “keharusan” menulis sesuatu yang tidak biasa. Dalam hal ini, berupa kebebasan menampilkan kekerasan atau memunculkan sisi tersembunyi yang biasanya dianggap tabu.
Tokoh-tokohnya terasa tidak biasa, meski sesungguhnya yang seperti itulah yang biasa ditemui, tetapi tidak dituliskan. Hampir semuanya cenderung sakit mental atau punya sisi abnormal.
Meski definisi "biasa" maupun "normal" itu multi-tafsir, definisi tokoh biasa dan normal dalam versi saya adalah benar-benar tokoh baik dan lempang seperti dalam cerita anak atau buku diktat pelajaran akhlak di sekolah.
Membaca kisah yang hampir semua pelaku cerita berakhir tragis, ironi yang miris, dan nyaris tidak ada yang sungguh-sungguh bahagia bahkan sejak mula, bagi saya akan menggelisahkan.
Meski hal itu sebagian sudah nampak dan bisa diperkirakan dari kutipan ceritanya, namun saya tetap tertarik baca.
Dan yang tidak biasa, ternyata saya merasa nyaman membaca Lenka.
Saya menikmatinya sebagai membaca sebuah proses atau laboratorium penulisan yang seru untuk menyatukan 17 kepala yang berada dalam semangat bereksperimen bebas. Saya menduga betapa pasukan Kuping Hitam ini bersemangat, asyik-masyuk bersenang-senang dalam proses mencipta.
Lenka menjadi sebuah tulisan yang kaya, karena masing-masing penulis berkontribusi pada detail dengan kelebihan dan keahlian masing-masing.
Kita tahu, tidak banyak orang atau penulis yang multibakat, menguasai beragam bidang berbeda sekaligus. Dalam Lenka, ada yang ahli menceritakan permainan catur, pandai menggambarkan interior dan suasana sebuah tempat hang out berbudaya yang keren, menceritakan detail masokisme, menjelaskan teori-teori filsafat, detail elemen dan proses musik, karakter kehidupan metropolis, dsb.
Ragam tema seperti itu akan tidak mudah ditulis oleh satu penulis sendirian.Namun jauh lebih tidak mudah bagi 17 karakter untuk saling menyesuaikan diri demi membangun satu cerita yang utuh dan menyatu. Juga memerlukan editor yang cukup cakap atau bahkan cukup sinting untuk bersedia merangkum dan menyelaraskannya. Suatu kerja keras dan luar biasa. Salut!
Oleh: Wikan Satriati,
penulis adalah pekerja penerbitan dan satu dua kali pernah menulis resensi
*) meminjam istilah khas Pak Bondan Winarno
Tentang Durna, baru saya temukan di cerpen mas Yusi ini. Mungkin sudah ada pada karya lain, tetapi karena saya tidak banyak baca buku, bagi saya ini yang pertama.
Kebetulan, hampir bersamaan, saya juga sedang membaca naskah lakon wayang yang standar, dan garis besar kisah Durna, dalam perspektif standar tentunya, sama dengan yang dikisahkan mas Yusi dengan perspektif baru. Rasanya saya mulai berencana memasukkan tokoh Durna sebagai satu lagi tokoh yang saya suka dalam cerita wayang.
Membaca cerpen-cerpen itu, saya merasa, kadang sesuatu yang keji, bisa terlihat indah. Sesuatu yang getir, bisa jadi lucu. Saya suka.
Adapun Lenka, sejak mula saya sudah berniat datang ke acara diskusi buku itu, bahkan sudah memesan bukunya sebelum acara diskusi. Sayangnya, pada hari dan jam itu saya mesti ke acara yang sama-sama menarik, pertemuan terakhir lokakarya baca sastra di TIM. Diskusi sudah selesai ketika saya tiba di Salihara. Saya hanya sempat membaca makalah Mbak Ayu Utami dan Pak Manneke Budiman.
Sebetulnya, secara pribadi, biasanya saya kurang bisa menikmati cerita-cerita yang bikin murung, seram, keruh, setelah membacanya. Otak saya ini manja benar. Tidak mau diajak susah dan suka lemot sangat kalau mesti memahami yang rumit-rumit. Maunya yang serba elok dan terang benderang. Mungkin cerita dengan tokoh-tokoh sederhana tetapi apik, bening seperti mata air pegunungan yang belum dijamah perusahaan akua. Jenis bacaan yang kemayu dan kurang menantang.
Dalam Lenka, saran editor agar membebaskan diri bereksperimen sebebasnya dalam bercerita, sepertinya ditafsirkan sebagai “keharusan” menulis sesuatu yang tidak biasa. Dalam hal ini, berupa kebebasan menampilkan kekerasan atau memunculkan sisi tersembunyi yang biasanya dianggap tabu.
Tokoh-tokohnya terasa tidak biasa, meski sesungguhnya yang seperti itulah yang biasa ditemui, tetapi tidak dituliskan. Hampir semuanya cenderung sakit mental atau punya sisi abnormal.
Meski definisi "biasa" maupun "normal" itu multi-tafsir, definisi tokoh biasa dan normal dalam versi saya adalah benar-benar tokoh baik dan lempang seperti dalam cerita anak atau buku diktat pelajaran akhlak di sekolah.
Membaca kisah yang hampir semua pelaku cerita berakhir tragis, ironi yang miris, dan nyaris tidak ada yang sungguh-sungguh bahagia bahkan sejak mula, bagi saya akan menggelisahkan.
Meski hal itu sebagian sudah nampak dan bisa diperkirakan dari kutipan ceritanya, namun saya tetap tertarik baca.
Dan yang tidak biasa, ternyata saya merasa nyaman membaca Lenka.
Saya menikmatinya sebagai membaca sebuah proses atau laboratorium penulisan yang seru untuk menyatukan 17 kepala yang berada dalam semangat bereksperimen bebas. Saya menduga betapa pasukan Kuping Hitam ini bersemangat, asyik-masyuk bersenang-senang dalam proses mencipta.
Lenka menjadi sebuah tulisan yang kaya, karena masing-masing penulis berkontribusi pada detail dengan kelebihan dan keahlian masing-masing.
Kita tahu, tidak banyak orang atau penulis yang multibakat, menguasai beragam bidang berbeda sekaligus. Dalam Lenka, ada yang ahli menceritakan permainan catur, pandai menggambarkan interior dan suasana sebuah tempat hang out berbudaya yang keren, menceritakan detail masokisme, menjelaskan teori-teori filsafat, detail elemen dan proses musik, karakter kehidupan metropolis, dsb.
Ragam tema seperti itu akan tidak mudah ditulis oleh satu penulis sendirian.Namun jauh lebih tidak mudah bagi 17 karakter untuk saling menyesuaikan diri demi membangun satu cerita yang utuh dan menyatu. Juga memerlukan editor yang cukup cakap atau bahkan cukup sinting untuk bersedia merangkum dan menyelaraskannya. Suatu kerja keras dan luar biasa. Salut!
Oleh: Wikan Satriati,
penulis adalah pekerja penerbitan dan satu dua kali pernah menulis resensi
*) meminjam istilah khas Pak Bondan Winarno
0 comments: