Laki Laki yang Seperti Bunga

By | Saturday, June 04, 2011 Leave a Comment
Baghdad, 30 Maret 2003. Diatas lempengan beton yang dingin, seorang pengurus masjid tengah membersihkan tubuh Arkan Daif, 14 tahun untuk yang ke terakhir kalinya.

Dengan kapas yang dicelupkan di air, dia menggerakkan tangannya di sekujur jasad kuning langsat Daif, yang telah meninggal 3 jam lalu namun masih menyinarkan kehidupan. Dia mengeringkan luka pecahan peluru di atas kulit lembut lengan kanan dan pergelangan kaki Daif dengan ketenangan yang terlatih. Kemudian ia menggosok kerak darah di muka Daif, yang ditinggalkan oleh rongga robek di bagian belakang tengkorak Daif.

Orang-orang di masjid Imam Ali berdiri dengan muram menunggu penguburan anak muda  itu, yang, menurut istilah ayahnya, seperti bunga. Haider Kathim, pengurus masjid, bertanya:”Apa dosa anak-anak ini? Apa yang telah mereka lakukan?”

Dalam ritual pemakaman itu, orang-orang dan keluarga mereka mencoba, dengan putus asa, untuk menghindari begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang menyelimuti kehidupan penuh ketakutan dan ketidakpastian di sini. Selain beberapa tetangga, keluarga dan pengunjung, tidak ada saksi; pemakaman berlangsung tanpa sepengetahuan pemerintah yang sedang dengan penuh semangat mengantar wartawan menuju tragedi perang di tempat lain.  Daif dan dua sepupunya dikuburkan dalam kesunyian lingkungan muslim Syiah yang kumuh dan miskin di dekat perbatasan kota.

Anak-anak tewas pada pukul 11 hari ini, ketika, seorang kerabat bercerita,”langit meledak.” Daif sedang menggali parit di depan rumah, yang bisa dijadikan tempat perlindungan selama masa pengeboman yang berlangsung siang malam. Dia bekerja bersama Sabah Hassan, 16 tahun, dan Jalal Talib, 14 tahun. Pecahan peluru putih-panas menewaskan ketiganya. Tujuh pemuda lainnya luka-luka.

Ledakan tidak meninggalkan lubang, dan penduduk sekitar lingkungan Rahmaniya berusaha untuk menentukan sumber ledakan. Mereka mengatakan dengan tegas bahwa mereka melihat pesawat terbang. Sebagian berpikiran, senjata anti-pesawat Irak telah menghancurkan sebuah rudal di udara. Sedang yang lain lagi beranggapan, peluru dari senjata anti-pesawat itu telah jatuh kembali ke tanah dan menimpa rumah-rumah mereka.

Siapapun yang menyebabkan ledakan, penduduk menyalahkan Amerika Serikat, berkeyakinan seandainya tidak ada perang, mereka akan aman. “Siapa lagi yang dapat dibertanggung-jawabkan selain Amerika?” kata Mohsin Hattab, laki-laki 32 tahun paman dari Daif.

“Peperangan ini adalah iblis. Tidak adil,” kata Imam Hussein, seorang sopir dan paman dari Hassan. “Mereka tidak berhak untuk memerangi kita. Saat ini, seharusnya kita sedang duduk di dalam rumah, dengan nyaman dan aman.”

Ketika ia bicara, ratapan para pelayat yang tercurah dari dalam rumah menenggelamkan kata-katanya.  Dia meringis, menoleh ke samping, dan melanjutkan. “Tuhan akan menyelamatkan kita,” ucapnya lembut.

Di masjid, beberapa jam setelah ledakan, Kadhim dan pengurus masjid lainnya menyiapkan jasad Daif untuk dikuburkan – sebelum matahari terbenam, sesuai kebiasaan Islam.

Bermandikan warna-warna lembut ubin biru kehijauan, ruangan menjadi hening, ketika pengurus masjid selesai membersihkan jenasah. Mereka membungkus kepalanya, tatapannya yang mati,  dengan plastik merah dan kuning. Menjulurkan mayat di dalam lembaran plastik, mengikatnya dengan empat lembar kain kasa putih – satu di sekitar lutut dan satu lagi di dada.

Kadhim bekerja dengan lembut. Gerak tubuhnya merupakan upaya untuk menghormati jenazah. Dia membalikan tubuh Daif ke samping dan membungkusnya ke dalam kain putih, ditutup rapat-rapat dengan empat potong lebih kain kasa. Dalam nafas mereka, orang-orang menggumamkan doa, memecah keheningan yang mencekik. Kemudian mereka bergerak menuju jenazah dan memasukkannya ke dalam peti kayu.

“Ini sangat sulit,” kata Kadhim ketika peti mati tertutup.

Pada hari Jumat, Imam Moussa Kadhim pergi ke masjid untuk membantu penguburan puluhan orang yang tewas ketika sebuah ledakan merobek pasar yang padat penduduk di daerah dekat  Shuala. Kenangan menghantuinya. Dia ingat potongan tangan dan kepala yang tiba di masjid Syiah. Dia ingat mayat-mayat itu, hingga seorang bayi, dengan lubang yang menganga.

“Sangat mengerikan dan buruk,” katanya. “Pertama kalinya saya melihat hal seperti itu.”

Di halaman terbuka, mereka mengatur peti mati di lantai batu masjid yang masih dalam pembangunan. Dalam dua baris, mereka berderet di belakang peti mati, meletakkan sepatu di balakang mereka. Bibir-bibir bergerak dalam doa-doa yang telah diucapkan selama ribuan kali. 

“Allahuakbar,” mereka mengulangi, telapak tangan menghadap ke atas memohon.

Di belakang, orang-orang membahas tentang perang. Dalam penindasan dan keterasingan yang menguasai Irak, rumor menjadi berita, dan perbincangan hari ini adalah serangan yang dilancarkan pada sebuah konvoi yang membawa tubuh seorang wanita berusia 80 tahun untuk dikuburkan di sebelah selatan kota Najaf, tempat di mana tentara Amerika sedang berhadapan dengan para pemberontak dan tentara Irak. 

Bagi muslim Syiah, Najaf adalah salah satu kota yang paling disucikan, tempat pemakaman Ali, menantu nabi Muhammad yang bagi Syiah dianggap sebagai pewarisnya yang sah. Tradisi menceritakan bahwa Ali yang sedang menjelang kematian meminta para pengikutnya untuk menempatkan tubuhnya di atas unta dan menguburkannya di manapun unta itu berlutut untuk pertama kalinya; Najaf adalah tempatnya. Jutaan peziarah berkunjung setiap tahunnya, dan kaum Syiah yang taat akan menghabiskan tabungan mereka demi keberkahan untuk dikuburkan di pemakaman luas yang mengelilingi kota itu.

Wanita dari Rahmaniya itu tidak pernah berhasil mencapainya. Penduduk mengatakan bahwa pasukan Amerika menyerang tiga mobil, salah satunya membawa perempuan itu.  Itu adalah aib, penduduk setuju. Mereka bersikeras bahwa orang-orang kafir tidak akan pernah memasuki kota dengan kekuatan senjata. Pengepungan Amerika terhadap kota itu adalah suatu tindakan penghinaan.

“Ini memalukan,” kata Hattab, salah satu paman Daif.

Hussein, yang juga kerabat dari Daif, mengutarakan hal yang sama dengan orang-orang. “Mereka tidak datang untuk membebaskan Irak.,” katanya,”mereka datang untuk menguasai.”

Dalam kata-katanya tergambar ketakutan yang menusuk jauh ke dalam jiwa orang-orang Irak. Banyak yang mengkhawatirkan bahwa invasi Amerika merupakan ancaman terhadap budaya dan tradisi. Mereka berpikir apakah pendudukan itu akan melenyapkan apa yang telah mereka junjung, memaksakan budaya asing pada sebuah masyarakat yang, sebagian besar, masih sangat konservatif dan terisolasi.

“Kami tidak menginginkan Amerika atau Inggris di sini. Makanan kami lebih baik daripada makanan mereka, air kami lebih jernih daripada air mereka,” ucapnya.

Diiringi para pelayat, mereka mengangkat peti jenazah Daif di atas kepala, meninggalkan masjid, melalui gerbang baja dan turun ke jalan yang sepi dan penuh sampah. Beberapa orang bertelanjang kaki dan lainnya memakai sandal. 

“Lailahailallah,” teriak seorang pria.” Lailahailallah,” jawab para pengusung jenazah. Letusan bom di cakrawala terdengar berulang-ulang. Para pengusung jenazah itu menyeberangi jalan, melewati beton dan rumah-rumah bata, bendera Syiah yang berwarna hitam, hijau, merah dan putih berkibar di atas kepala.

Ketika mendekati rumah Daif, yang pintunya dihiasi dengan nama Muhammad dan Ali, mereka disambut dengan ratapan para perempuan berkerudung hitam. Para perempuan itu berteriak, melambaikan tangan dan menggelengkan kepala. Tangisan-tangisan mereka menenggelamkan doa-doa, ketika peti jenazah memasuki ruangan. Keputusasaan menghambur dari rumah yang jendelanya hancur oleh ledakan hingga menewaskan Daif.

“Anakku! Anakku!” Ratap ibu Daif, Zainab Hussein. “Dimana kau sekarang? Aku ingin melihat wajahmu!”

Para pria di dalam keluarga Daif saling berpelukan, meratap tak terkendali di atas bahu. Lainnya menangis di balik telapak tangan. Dari dalam rumah juga terdengar suara para perempuan yang sedang memukuli dadanya dengan penuh kepedihan.

Di rumah-rumah sepanjang jalan, para tetangga dan kerabat berbicara tentang ketidak-adilan – tema umum dalam kehidupan kaum Syiah, pemilik orang-orang suci, dan beratus-ratus tahun kepercayaan yang diresapi dengan contoh-contoh tentang penderitaan dan kemartiran.

“Kami miskin. Kami tidak bisa pergi ke tempat lain. Apa salah para keluarga di sini? Di mana rasa kemanusiaan?” kata Abu Ahmed,  pria 53 tahun yang sedang duduk di dalam sebuah rumah dengan tiga lukisan Ali dan anaknya, Hussein. “Demi Allah, kami takut.”

Pembicaraan mereka penuh kemarahan dan kebingungan.

Jika Amerika berniat membebaskan, mengapa orang-orang yang tidak bersalah mesti mati? Jika mereka ingin menyerang pemerintah, mengapa bom jatuh pada warga sipil? Bagaimana mereka bisa memiliki teknologi yang tangguh dan membuat kesalahan tragis seperti itu?

“Jika mereka ingin membebaskan penduduk, mereka boleh menyerang pemerintah, tapi jangan membunuh warga sipil.”  Salah seorang kerabat Daif berkata. “Para warga sipil tak berdosa tidak ada urusannya dengan pemerintahan. Kami tinggal di rumah-rumah kami.”
Sebelum senja, peti jenazah Daif dibawa dari rumahnya. Diletakkan di bagian belakang truk pick-up putih menuju pemakaman. Ketika bergerak, dengan mengeluarkan awan debu, beberapa tetangga dan kerabat berteriak,”Tuhan bersamamu.” Pria-pria lainnya melambaikan tangannya, dengan sikap yang sangat biasa yang menunjukkan kekuatan iman mereka - bahwa mereka pada akhirnya akan kembali bertemu Daif.

Hattab, sang paman, memandang ke arah peti yang sedang diberangkatkan. Matanya merah dan mukanya terlihat letih.

“Dia telah kembali kepada tuhan,” ucapnya. ”Ini sudah menjadi ketentuanNya.”

Dari A Boy Who Was 'Like a Flower' - 'The Sky Exploded' and Arkan Daif. 14, Was Dead. Washington Post 31 Maret 2003.
Newer Post Older Post Home

0 comments: