Anak Langit Di Depan Tank

By | Sunday, June 05, 2011 Leave a Comment
"The struggle of people against power is the struggle of memory against forgetting - Milan Kundera

Hari ini, Sabtu 4 Juni 2011, lebih dari 100.000 orang berkumpul di Victoria Park untuk memperingati 22 tahun peristiwa Tiananmen. Di bawah gemerlap cahaya gedung pencakar langit, mereka  menyalakan lilin dan meletakkan karangan bunga sebagai penghormatan untuk para korban. Acara peringatan itu sudah menjadi tradisi tahunan, dan Hongkong hanyalah salah satu kota bagian dari Cina di mana peristiwa yang terjadi pada musim panas itu selalu menjadi perbincangan dan kenangan tersendiri di masyarakat. 

Acara peringatan itu mengingatkan aku pada sebuah novel yang pernah kubaca beberapa tahun lalu, Sons of Heaven (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ‘Anak Anak Langit’; Serambi 2005).

Di mata dunia, peristiwa Tiananmen adalah adegan di mana seorang berdiri persis di depan moncong tank. Adegan yang akan selalu diingat sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah aksi massa yang terjadi pada 1989 di Cina, sekaligus menjadi gambaran apa yang terjadi pada saat itu; manusia lemah tak bersenjata yang sedang mencoba melawan kekuatan baja.

Dalam novel tersebut, Terrence Cheng, si penulis,  menceritakan detik demi detik apa yang terjadi saat itu, dan lewat sudut pandang orang pertama (Aku), penulis merasuk sangat dalam ke kejiwaan laki-laki tersebut saat berdiri berhadap-hadapan dengan moncong tank.

“Tank-tank itu melambat lajunya dan merayap ke depan. Aku merasa dingin walau aku berkeringat. Tank terdepan berhenti tidak lebih dari 15 kaki dariku. Tank itu mencoba bermanuver di dekatku. Aku bergerak bersamanya. Dapat kudengar putaran roda dan penggulungnya yang berderit dan menggilas. Tank itu mencoba membelok ke arah lain dan aku melompat ke arahnya….
Semuanya berhenti. Aku menatap metal hijau itu dan menunggu. Orang-orang masih saja berteriak-teriak menyuruhku menyingkir…

’Kembali! Balik! Berhentilah membunuh rakyatku!’ Aku melangkah maju, lalu memanjat sisi tank, dan meraih pintu atasnya. Aku menggedornya dan berteriak hingga seraut wajah seorang serdadu muncul. Dia mengenakan helm putih dan kacamata debu dari plastik. Ada jerawat merah pada dagunya. Aku dapat melihat matanya dari kacamata debunya yang bening. Dia menatapku seolah kami saling kenal.

’Pergi dari sini!’ kata seorang dari bawah serdadu itu di dalam tank…”

Mungkin inilah kenapa penulis memilih menggunakan sudut pandang orang pertama: ia bisa lebih leluasa menceritakan isi hati dan pikiran si ‘Aku’, dan dari situ pula pembaca mendapati sesuatu yang, mungkin, berlawanan dari selama ini orang pikir tentang adegan manusia melawan kendaraan baja tersebut.

Aku mencoba menukil kembali paragraf dari novel tersebut saat peristiwa itu terjadi.

“Aku merasakan getaran bumi. Aku mulai melambaikan kedua lenganku. Orang-orang berteriak. Aku memikirkan Wong, kakek nenekku, dan semua yang telah mereka alami dan lakukan bagiku; aku ingat Elsie, Xiao An, janji-janji yang kubuat kepada semua orang dan telah kuingkari, janji ayah Xiao An padaku yang juga telah diingkari; kehidupan yang kujalani dan kutinggalkan,  dan aku membenci diriku sendiri karena semua itu merupakan kesalahanku. Aku merasakan getaran ini, kemarahan yang mendidih, kemurkaan yang hebat. Aku berdiri di sana dan tidak berbuat apa-apa, menunggu. Aku ingin mereka membunuhku seperti mereka membunuh Wong dan banyak lagi yang lainnya, tanpa alasan dan tanpa perasaan.

Aku berpikir bahwa aku mungkin saja ditembak dari belakang atau dari samping. Aku tetap mengikuti arah moncong kanon tank itu. Kuyakinkan diriku, ini bukan cara mati yang memalukan. Aku berkacak pinggang, menekan kedua lenganku di sisi tubuh. Aku menggeser kakiku untuk tetap berdiri di pusat sasaran tembak mereka.”

Apa yang sedang terjadi pada diri laki-laki itu saat berhadapan dengan tank, setelah membaca karya Terrence Cheng tersebut tidaklah se-heroik seperti yang disangka sebelumnya. Dalam novel tersebut, laki-laki itu bernama Xiao Di, generasi muda Cina lulusan universitas di Amerika, yang ketika pulang kampung justru berhadapan dengan masa depan yang suram. Ia dimusuhi oleh calon mertua yang kaya dan berpengaruh karena ketahuan pacaran dengan wanita lain ketika kuliah, mengakibatkan ia kesusahan mendapat kerja. Serta, ia merasa bersalah dan menganggap dirinya adalah penyebab semua kemalangan yang dialami keluarganya. Xiao Di, berdiri menantang kendaraan lapis baja, bukan karena dorongan politik semata, tetapi (faktor ini yang kelihatannya paling banyak mempengaruhi) oleh perasaan pribadi; putus asa terhadap kemiskinan dan ke-tidakpastian masa depannya.

Di dalam fiski memang bukan tempat yang tepat untuk menanyakan tentang fakta. Meskipun ini adalah novel sejarah, tetapi, saya kira, fiksi tetaplah fiksi, tidak bisa dibenarkan menggugat penulis tentang sesuai atau tidaknya dengan fakta. Penulis fiksi berhak untuk menentukan jalurnya sendiri. Apakah itu yang sebenarnya terjadi pada 'laki-laki tank' itu, yang fotonya menjadi gambar paling terkenal di abad 20? Pertanyaan itu tidak tepat diutarakan.

Bisa jadi, aku, yang telah lebih dulu terpesona oleh adegan itu lewat video, terlalu berlebihan dalam mengharapkan adanya  jiwa kepahlawanan yang benar-benar murni di diri laki-laki itu. Mungkin juga  itu adalah salah satu kepiawaian Terrence Cheng  – seandainya apa yang terjadi di lapangan berlawanan dengan yang tertulis di novel itu – untuk tetap memanusiakan si tokoh, yang bagaimana pun juga pasti memiliki rasa takut menghadapi senjata dan kematian, seandainya ia tidak memiliki alasan pribadi lainnya yang cukup kuat hingga ia bisa berbuat senekat itu.

Tapi, apapun itu, peristiwa ‘Xiao Di berdiri di antara deretan tank’ telah menjadi semacam simbol dari sebuah peristiwa demokrasi, yang, menurut istilah Goenawan Mohamad, adalah sebuah strategi. Perjuangan politik, tulisnya dalam Catatan Pinggir berjudul Ahimsa, bukanlah drama moralitas tentang yang ”luhur” dan yang ”berdosa”. Tetapi sebuah strategi. Dan tiap strategi bisa keliru. Jika ada yang tak keliru, itu adalah keberanian untuk berkata ”tidak” kepada yang lalim tapi punya bedil. Di dalamnya ada keberanian untuk gugur dan gagal.

Seperti yang telah kita ketahui, aksi protes di lapangan Tiananmen itu berakhir gagal. Kekuasaan tetap berdiri kukuh.

Pada tahun 1989, lebih dari seratus ribu pelajar berdemonstrasi di lapangan Tiananmen yang menghadap istana kuno dinasti Ming dan Qing.  sebuah patung ”Dewi Demokrasi” setinggi 10 meter didirikan, tepat berhadap-hadapan dengan gambar besar Mao Zedong.  Demonstrasi berjalan selama berhari-hari, hingga akhirnya bentrokan pun tak terelakkan. Aparat menyerbu, dan menembaki. Ratusan orang tewas.  Sejak itu, setiap tanggal 4 Juni, masyarakat berkumpul untuk mengenang peristiwa berdarah tersebut. “Aku datang tiap tahun untuk mengenang para pelajar yang rela mengorbankan nyawa mereka demi negara,” ucap Dominic Chan, salah seorang peserta peringatan Sebagaimana yang dilansir Time. ”Pada intinya, kita ingin China tahu bahwa kita tidak akan melupakannya.”


Newer Post Older Post Home

0 comments: