Menabur Angin, (Tidak) Menuai Badai

By | Monday, May 09, 2011 1 comment
osama bin laden
Seperti halnya orang-orang, aku pun mengikuti berita-berita tentang Osama. Lewat internet aku mempelajari pidato Obama, menyaksikan foto-foto luapan kegembiraan warga Amerika, dan di beberapa tempat aku membaca komentar-komentar mereka

Selama 3 hari berturut-turut media massa serentak menjadikannya berita utama. Perhatian masyarakat digiring menuju pada satu titik. Menilik antusiasme itu,  Amerika sepertinya sukses meyakinkan warga dunia bahwa Osama bukan hanya milik kepentingan Amerika saja, tetapi juga dunia, seperti yang pernah diucapkan George W. Bush dalam pidatonya 20 September 2001 silam, "This is not, however, just America's fight. And what is at stake is not just America's freedom.  This is the world's fight.  This is civilization's fight.  This is the fight of all who believe in progress and pluralism, tolerance and freedom. “ 
Aku ingat 20 tahunan lalu, waktu aku masih SD. Setiap pukul setengah enam pagi, seorang laki-laki biasa datang ke rumahku. Memakai kaos putih, sarung yang diikat sabuk lebar warna hijau, dan menenteng radio yang disetel keras-keras selama perjalanan. Usianya sekitar 70-an. Tubuhnya tinggi dan gemuk, tapi nampak cukup sehat dan kuat jika dibandingkan dengan usianya.  Seorang keturunan Arab asli (lahir di Arab, pada waktu masih anak-anak dibawa ayahnya hijrah ke Indonesia). Sampai sekarang aku masih ingat jelas cara jalannya yang agak bungkuk, suaranya yang besar seolah keluar dari dada, janggutnya yang lebat dan putih, serta aroma minyak wangi yang menguar dari tubuhnya. Ia akan bercerita banyak hal dengan bapakku pada saat-saat itu. Tentang keadaan keluarga, isu-isu yang beredar di kampung, juga tentang berita-berita dari stasiun BBC London siaran khusus bahasa Indonesia. Salah satu yang paling kuingat adalah tentang perang Teluk.

Pada tahun 1990, Amerika menyerang Irak dengan alasan negara itu telah menyaplok Kuwait. Perang Amerika-Irak tersebut kemudian memopulerkan nama Saddam Hussein di kampung kami. Pada waktu itu televisi sangat jarang dan radio menjadi andalan hiburan dan informasi. Dari mulai musik, sandiwara bahkan olahraga. Sekarang ini ketika aku menuturkan pada anak muda yang 5 atau 10 tahun lebih muda dariku bahwa orang-orang dulu mengikuti pertandingan sepakbola lewat radio, mereka kebanyakan tidak percaya. Aku pun kalau secara tidak sengaja mendengarkannya, mungkin tidak akan pernah tahu juga. Ketika itu aku habis kecupakan di sungai dan lewat di samping rumah yang di dalamnya sedang menyetel pertandingan sepakbola di  radio.

Orang-orang mengenal nama Saddam Hussein awalnya lebih banyak dari mulut ke mulut, daripada mendengarkan langsung lewat radio atau Dunia Dalam Berita TVRI. Disamping mereka memang tidak berminat terhadap berita, juga karena berita dunia memang sangat jarang disiarkan. Lain halnya dengan bapakku dan laki-laki Arab itu, yang memang sudah dari sebelumnya hobi mendengarkan berita. Beberapa tahun kemudian tanpa sengaja aku mendapati bapak sedang duduk di samping radio yang disetel keras menyiarkan stasiun BBC. Padahal tv sudah merakyat, parabola dengan aneka macam stasiun sudah bisa dinikmati. Ketika aku tanya alasannya, ia hanya menjawab kangen. Dulu BBC adalah stasiun radio kepercayaannya, karena, katanya, itu adalah satu-satunya stasiun yang tidak kena sensor pemerintah.

Aku bayangkan orang-orang di kampungku waktu itu berubah menjadi penikmat berita. Duduk di samping radio seolah berharap akan ada ‘siaran langsung’ jalannya perang. Di belahan bumi sana sedang ada perang, dan orang Islam sedang digempur, begitu mungkin yang ada di pikiran mereka saat itu.  Saddam Hussein muncul sebagai simbol pahlawan Islam dan pihak yang tertindas di mata para warga.

Dan bukan hanya para orangtua, anak-anak pun kemudian ketularan. Aku beserta teman-teman SD sering bermain perang-perangan di atas meja sekolah, menggunakan mainan dari plastik atau pesawat-pesawatan kertas. Menembakkan rudal-rudal Patriot dan Scud imajiner (kebetulan sekali  waktu itu ada permen merk Scud). Memposisikan Saddam sebagai protagonis dan Bush sebagai penjahat.

Anak-anak seusia kami pun mulai belajar mengenal fanatisme.

Ketika peristiwa 11 September terjadi, Amerika mengklaim Al qaeda berada di balik pemboman tersebut. Media yang telah menyebar begitu banyak seolah berlomba menampilkan sosok Osama bin Laden sebagai pimpinan Al qaeda. Umat Islam yang merasa sedang dirundung kekalahan di dunia kembali  dihibur dengan kemunculan seorang pahlawan. Sontak ia menempati kedudukan seperti Saddam Hussein pada perang teluk lalu. Banyak  sekali kemudian yang menafsirkan kemunculan sosok Osama, sebagian jelas terlalu mendramatisir.

Tetapi rupanya pemboman bukan hanya terjadi di Amerika saja. Tetapi juga di Indonesia. Media kembali menggempur masyarakat dengan sekilas berita yang muncul tiap jamnya, berita pagi, siang, sore, malam, acara-acara dialog, teks berita berjalan di bagian bawah layar tv yang muncul di semua acara. Orang, secara sengaja atau tidak, berminat atau tidak, akan mendengarkan hal yang sama, terus menerus dan berulang-ulang. Pemboman di Bali atau Jakarta terasa seperti di desa tetangga. Masyarakat pun dengan mudah ikut merasakan kesakitan yang dialami korban. 

Pemboman di Indonesia masih terkait dengan kelompok Osama, begitu yang diberitakan. Akhirnya masyarakat berpikir ulang tentang Al qaeda. Sebagian kemudian menganggap mereka salah jalur.

Seandainya keadaan masih seperti 20 Tahun lalu, mungkin ceritanya akan lain. Media boleh saja mengklaim sebagai pemilik opini, melemparkannya ke tengah masyarakat dengan pemberitaan secara massif. Tetapi berita yang terlalu dibesar-besarkan juga justru kadang menjadi bumerang. Bisa saja orang terbawa arus oleh cara seperti itu. Tapi ada hal lain, menurutku, yang juga tak kalah penting dalam pembentukan opini. Dalam kasus Osama adalah masalah fanatisme agama, serta reputasi Amerika itu sendiri yang sangat buruk terutama di Timur Tengah. Kita sudah bisa melihat contohnya. Seorang petinggi partai terang-terangan menunjukkan simpatinya lewat puisi (biarpun tolol). Tapi tetap bisa dilihat, kalau orang berpendidikan macam itu saja justru malah terang-terangan melawan arus, bagaimana dengan golongan masyarakat bawah yang tidak terdengar suaranya? Bagaimana pula dengan kelompok bawah tanah, atau yang disebut-sebut sebagai kaum radikal? Mereka bisa semakin bersemangat melakukan aksi 'cari perhatian'.

Dengan berita yang dibesar-besarkan seperti itu, Amerika seperti sedang menabur angin. Tetapi badainya bisa saja muncul di negara mana saja.

Aku salah satu orang yang lega ketika gambar besar Osama yang terpampang di halaman depan media massa selama tiga hari itu telah tidak ada lagi. Aku berharap, berita-berita tentangnya akan segera surut dan terlupakan. Tetapi,  ya tuhan, ternyata episode masih berlanjut dan nampaknya lebih panjang dari yang kita duga.



Newer Post Older Post Home

1 comment:

  1. Today is ethical poorly, isn't it?

    ReplyDelete