Sabda

By | Sunday, May 15, 2011 Leave a Comment
Sabda
Saudaraku, tentu Anda paham betul apa yang dimaksud dengan "sabda". Sabda adalah rangkaian kata yang diucapkan secara lisan, yang di dalamnya mengandung sejumlah nilai sakral, jika dibandingkan dengan kalimat-kalimat dalam percakapan sehari-hari.

Nilai kesakralan dari sabda itu - biasanya - terletak dari siapa yang mengucapkan. Satu kalimat yang sama, jika diucapkan oleh seorang priyagung, tentu akan berbeda nilai sakralitasnya jika dibandingkan dengan jika diucapkan oleh orang biasa.

Tentu Anda ingat, kalimat:  I'll shall return... menjadi sangat sakral dan terkenal karena diucapkan oleh seorang Jenderal McArthur, pada saat yang tepat dan akhirnya memiliki nilai sejarah yang tinggi.

Atau juga kalimat yang diucapkan oleh astronot Apollo 13: Houston, we have a problem.... Menjadi begitu terkenal karena diucapkan pada saat detik-detik yang menegangkan, dan menjadi pocapan khas Amerika yang kini umum diucapkan ketika seseorang tertimpa masalah yang berat.

Lantas bagaimana dengan sabda? Sabda tak hanya semata karena kandungan isinya, tetapi lebih dari itu, sabda memiliki dimensi lain yang patut diperhitungkan. Di Jawa, ada satu konsep yang dikenal dengan sabda pandhita ratu, yang artinya adalah sabda orang besar (pemimpin) yang tidak boleh disepelekan.

Ditinjau dari pihak yang bersabda, pepatah itu menunjuk pada satu konsep "menyatunya kata dan perbuatan". Artinya, sesuatu yang disabdakan tidak boleh menyimpang dari apa yang dilakukan (datan kena wola-wali). Sementara dari perspektif pihak lain, bahwa sabda itu adalah sesuatu yang harus dipenuhi, tidak boleh dibantah, dan harus ditaati.

Seorang pemimpin harus bisa dipegang kata-katanya, tidak boleh mencla-mencle, dan harus sesuai antara kata dan perbuatan. Harus sesuai antara kalimat dengan kelakuan, harus kena digondheli tembunge. Singkatnya, seorang pendeta, ratu, atau pemimpin tidak boleh sekadar bermanis kata (lelamisan) hanya mengumbar janji tanpa isi, serta menerapkan prinsip "Psikologi untuk Anda" (bukan untuk saya !).

Dalam perspektif yang lain, sabda juga bisa dimaknai sebagai janji yang harus ditunaikan. Ketika seorang pemimpin bersabda, di dalamnya - sekaligus - mengandung sebuah janji yang harus ditunaikan. Jika tidak, maka derajatnya akan jatuh tak berbeda dengan manusia jamak. Padahal, selaku pemimpin, ia bukanlah manusia biasa, ia manusia luar biasa yang dituntut untuk "lebih" dibandingkan manusia biasa.

Bagaimana dengan janji para pemimpin negeri ini yang sudah terlalu kerap kita dengar, dan sekaligus juga terlalu sering mereka ingkari? Di sinilah letak salah satu kelemahan mendasar dari bangsa ini. Kita adalah bangsa yang demikian mudah lupa (lalen). Bangsa yang mudah terheran-heran (gumunan), dan juga bangsa yang mudah silau dengan gebyar (blerengan). Ketiganya menyatu menjadikan peristiwa-peristiwa besar segera tenggelam akibat munculnya peristiwa baru.

Lihatlah, betapa bangsa ini demikian mudah lupa dengan apa yang telah mengharu-biru rasa keadilan. Betapa mudah lalai dengan janji-janji para pemimpinnya yang tak kunjung ditunaikan. Betapa gampang lengah dengan serangkaian berita pengalih perhatian. Kita menjadi lupa, bahkan untuk sekadar menagih janji, sekaligus juga lupa bahwa kita memiliki pemimpin yang juga pelupa.

Tentang kekuasaan, tentang memperebutkan suara rakyat, adalah satu hal. Sedangkan janji-janji dan upaya pemenuhan ala kadarnya, adalah hal yang lain. Kausalitas keduanya sengaja disamarkan, dengan memanfaatkan sifat lupa, seraya memupuk perilaku julig (tricky) yang mementingkan diri sendiri, kelompok dan atau golongannya.

"Saya prihatin..." itulah sabda yang terlalu sering kita dengar dari pemimpin tertinggi di negeri ini. Sadarkan beliau, bahwa apa yang diucapkan itu adalah cermin dari kualitas kediriannya? Sadarkan beliau bahwa sabda itu adalah janji yang memerlukan langkah nyata, yang tidak sekadar berhenti dalam sebuah sikap keprihatinan?

Sampai di sini, saya jadi teringat satire yang dilontarkan almarhum Ki Wasitodiningrat, empu gamelan dari Yogyakarta yang menyindir dengan keras pemerintah kolonial Jepang, yang hingga kini tetap relevan ditujukan kepada rezim penguasa: Ela elo.... endi buktine, ela-elo....endi nyatane......***

Yogyakarta, 11 Mei 2011.

Sumber: Politikana
Newer Post Older Post Home

0 comments: