Pengaruh Politik Dalam Sastra Indonesia

By | Monday, May 02, 2011 Leave a Comment
"Jurnal dilahirkan untuk merayakan keterbukaan bersastra di dunia maya sekaligus mengambil jarak dan membangun ruang intim," kata Jamal D. Rahman, Pemimpin Redaksi Jurnal Sajak, dalam pernyataan pers.

Jurnal sajak adalah salah satu media baru sastra yang akan diluncurkan besok, Selasa, 3 Mei 2011, di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, bersama satu lagi media satra yang bertajuk Jurnal Kritik.

jika perpuisian di Internet adalah sebuah mal, lanjut Jamal, Jurnal Sajak merupakan kedai kopi.  Begitu banyak bakat, begitu banyak antusiasme, begitu banyak kegairahan dalam menulis puisi sebagaimana terlihat di dunia maya dalam berbagai bentuknya. Namun, begitu sedikit ruang intim untuk saling menandai dan berapresiasi. "Maka, jika perpuisian di Internet menjadi penting karena ia tidak terbatas, Jurnal Sajak menjadi penting justru karena ia terbatas," ucapnya seperti dilansir di Tempo edisi 2 Mei 2011.

Seiring dengan merakyatnya internet, banyak sekali kemudian muncul penulis-penulis baru. Mereka cukup berbakat tetapi kurang mendapatkan apresiasi. Dari situlah kemudian muncul istilah sastra maya dan sastra Koran.

Sastra maya adalah tulisan-tulisan yang dipublikasikan oleh perseorang lewat internet, sedangkan sastra Koran adalah tulisan-tulisan yang dipublikasikan di media cetak setelah melewati  seleksi editor.

Perdebatan seru masih terngiang beberapa waktu lalu. Sebagian penulis ‘tua’ berpendapat bahwa tulisan-tulisan yang berkembang di internet belumlah kredible karena tidak melewati penyaringan editor. Hudan Hidayat, yang disebut-sebut sebagai pelopor nama sastra maya, kemudian menanggapi, bahwa sastra maya adalah pendobrak dari tradisi masyarakat selama ini yang menganggap seorang diakui menjadi penulis ketika telah menembus media cetak.  “Dalam hal mereka yang ingin mencapai tingkat setinggi tingginya dalam seni kata kata, maka sangat mungkin maya inilah tempatnya. karena sifat anti kontrolnya, anti editornya, karena sifat ketakterbatasannya.”  ucapnya..
sastra dan politik
Dalam tulisannya, Hudan Hidayat menjelaskan lebih lanjut, "saya tahu ada juga semacam anggapan yang berkembang di kalangan sastrawan dunia maya facebook, bahwa menulis di sastra maya seolah semacam ajang latihan, untuk mematangkan diri, sebelum terjun berlaga di dunia sastra 'nyata' (media cetak). Saya bisa membenarkan orang yang menjadikan maya untuk latihan menulis di koran, tapi saya membenarkan juga orang yang ingin menjadikan maya ini sebagai ajang gila gilaan, bahkan kegilaan sampai kepada puncaknya, apa itu, entahlah apa tapi kegilaan dengan imajinasi yang bahkan belum pernah lahir di ranah kebudayaan senegeri negeri pun, silahkan tampil. Tak ada batasan karena batasan itu tak demokratis. Tapi bahwa batasan yang kita langgar akan menimbulkan penolakan orang lain, nah itu pun juga harus kita letakkan pada bingkai kenyataan yang hidup tanpa diikat oleh definisi itu sendiri."

Maka kehadiran Jurnal Sajak yang mengusung niat membangun ruang intim antara satra maya dan sastra koran, saya kira perlu disambut gembira.

Edisi perdana Jurnal Sajak mengangkat tema "Puisi Perempuan, Perempuan Puisi" yang memuat tulisan Dorothea Rosa Herliany, Djoko Pinurbo, dan Ian Campbell. Jurnal ini juga memuat puisi karya Evi Idawati, Fitri Yani, Fina Sato, Oka Rusmini, Pranita Dewi, Pradewi Tri Chatami, dan sejumlah terjemahan karya para penyair perempuan Pemenang Nobel Sastra.

Banyak orang beranggapan bahwa setelah ditinggalkan oleh HB. Jassin, tahun 2000 lalu, sastra Indonesia sudah tidak lagi memiliki kritikus sastra yang benar-benar kritis. Tugas kritikus sastra, menurut Taufiq Ismail, adalah menelaah, mengulas, membedah, dan menilai sebuah karya sastra. Bagi Putu Wijaya, krisis kritikus sastra terjadi karena di Indonesia tidak ada kritikus sastra yang cukup berwibawa yang mampu mengulas buku sastra sekaligus bisa menjelaskan arah perkembangan sastra Indonesia. Dulu ada HB Jassin, sesudah dia meninggal, peran kritikus jadi sangat minim.

Hans Bague Jassin (HB Jassin) adalah kritikus yang gigih memperjuangkan sajak-sajak Chairil untuk dimuat di majalah sastra Horison, meski ditolak oleh Sutan Takdir Alisjahbana, sastrawan angkatan Pujangga Baru. Setelah dimuat, Jassin kerap mengulas puisi penyair yang wafat di usia 26 tahun itu. Ulasan Jassin mampu membuka mata orang terhadap kehebatan sajak-sajak Chairil.

Sapardi Djoko Damono (Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Jakarta, sekaligus kritikus sastra dari kalangan akademik) juga berpendapat,  keberadaan para ahli sastra saat ini justru tenggelam di antara para ahli di bidang lain, seperti kritikus seni rupa yang jumlahnya semakin banyak seiring bergairahnya pameran seni rupa. Salah satu penyebabnya adalah honor menulis kritik lukisan, lebih besar dibandingkan dengan honor mengulas sastra. 

Ia menambahkan, perguruan tinggi yang menyelenggarakan jurusan sastra Indonesia sebenarnya banyak melahirkan kritikus muda melalui tulisan ilmiah yang membedah buku sastra. Sayangnya, lulus, mereka enggan bergelut di bidangnya karena profesi itu dianggap tidak menjanjikan. Hal itu sangat ironis, karena tugas menumbuhkembangkan minat masyarakat terhadap karya sastra, salah satunya berada di tangan para ahli sastra. Tapi ini bukan salah mereka, karena sah-sah saja mereka menekuni profesi di luar ilmunya itu.

Mencoba untuk menjawab persoalan itu, kemudian The Intercultural Institute, sebuah lembaga nirlaba untuk kebudayaan dan kesusastraan, bekerja sama dengan Komodo Books menerbitkan dua media sekaligus, Jurnal Sajak dan Jurnal Kritik, yang akan diluncurkan besok.

"Dengan Jurnal Kritik, kita berharap para sarjana setidaknya memiliki sebuah ruang yang cukup leluasa untuk mengekspresikan pemikiran dan tanggapan mereka atas teks-teks sastra, khususnya sastra Indonesia," ujar Agus R. Sarjono, Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik.

Semoga saja kemunculan Jurnal tersebut benar-benar mampu menjalankan niatnya: mengisi kekosongan kritik, kajian, serta ulasan sastra, serta membuka kesempatan lebih lebar bagi kemajuan penulis-penulis baru.
Sehingga masyarakat Indonesia bisa mendapatkan hiburan ataupun pelajaran dari cerita yang berkualitas. Karena sudah terlalu banyak cerita yang buruk dan tidak menarik di sekitar kita. Kisah sinetron dan kisah para elit politik yang tidak karuan. 


Newer Post Older Post Home

0 comments: