Detik Detik Akhir James Bond (2)

By | Thursday, May 19, 2011 Leave a Comment

Ketika Presiden Kennedy dibangunkan oleh pelayan pribadinya, George Thomas di hotel Texas pagi itu pukul 07.30, di tempat lain, tepatnya di Irving, Lee Harvey Oswald sedang berada dalam garasi rumah Nyonya Paine, rumah yang selama ini ia tinggali bersama istrinya, Marina Oswald, dan dua anaknya, Junie dan Rachel. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan membawa kantong kertas warna coklat dan memasukkannya ke dalam mobil. Oswald kembali memasuki rumah, berbicara sejenak dengan istrinya, dan bergegas menuju mobil. Setelah Oswald melesat bersama mobilnya, Marina berjalan menuju kamar dan membuka laci meja rias. Dilihatnya Junie dan Rachel masih terlelap. Beberapa saat lalu Oswald mengatakan padanya, bahwa ia meninggalkan uang di dalam laci dan supaya dibuka setelah ia berangkat kerja.

Uang senilai $170 di dalam dompet Marina dapati di dalam laci. Bukan hanya itu saja, Oswald juga ternyata menaruh cincin kawin di dalam cangkir. Sejak semalam Marina memang merasakan sesuatu yang berbeda pada suaminya itu, tetapi jelas tidak menyangka bahwa hari ini suaminya sedang berdekatan dengan malapetaka.

Menjelang pukul 8.00 Lee Harvey Oswald telah berada di tempat kerjanya, yaitu Gedung Penyimpanan Buku Sekolah Texas, di Dallas. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, ia bekerja seperti biasa di lantai satu; memeriksa, menata dan mendaftar keluar masuk buku di dalam gedung. Ketika pukul 11.30 siang, ia lebih banyak menghabiskan waktu di lantai empat gedung tersebut, memandang keluar lewat jendela. Seluruh masyarakat tahu, Presiden Kennedy dijadwalkan lewat di depan Gedung Penyimpanan Buku Sekolah Texas pukul 12 siang lewat.

* * *


Joseph Patrick Kennedy, mengenakan kaos putih tipis dan celana hitam, duduk lemah di atas kursi roda di belakang meja makan. Istrinya, Rose, serta seorang wanita istri dari kemenakannya, Rita Dallas menemaninya siang itu. Wajah Joseph terlihat begitu renta, tidak ada pancaran semangat seperti yang pernah dulu ia miliki, keriput di kulitnya menjadikan ia seolah memakai topeng karet yang kendur. Matanya sayu, tertutup oleh kaca mata dan rambutnya yang telah memutih terlihat begitu tipis. Ia diam, bukan karena tidak ada yang harus diucapkan tetapi karena memang sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk berbicara.

Joseph Patrick atau Joe Kennedy Sr, ayah dari presiden Amerika John Fitzgerald Kennedy, seorang petualang bisnis yang ambisius, politikus yang sangat disegani, bekas duta besar Amerika untuk Inggris, laki-laki yang pernah masuk dalam jajaran 12 orang terkaya di Amerika, dalang dari setiap gerak serta pemikiran anak-anaknya, kini sudah tidak lagi memiliki daya apa-apa. Stroke telah merenggut seluruh kekuatan dalam tubuhnya, selama hampir tiga tahun terakhir.

Berawal dari telefon yang datang pada satu hari, dari putranya, Robert Kennedy di kantor kejaksaan agung. Mengatakan bahwa ia telah mendapat beberapa surat yang isinya menyatakan Presiden Kennedy pada waktu lalu telah menerima sumbangan dari Giancana untuk kampanye pemilihan lewat ayahnya, dan Giancana merasa tidak senang karena tidak mendapatkan imbalan seperti yang dijanjikan.

Karena perasaan menyesal serta kekhawatiran yang mendalam terhadap nasib anaknya di gedung putih, tekanan darah di tubuh Joe meningkat drastis hingga menyebabkan dirinya pingsan. Ia terkena serangan jantung. Peristiwa tersebut terjadi di bulan Desember 1961, atau satu tahun lewat sedikit semenjak John F. Kennedy diangkat menjadi presiden America. Tidak lama kemudian stroke menyerangnya. Sebagian tubuh sebelah kanannya lumpuh, dan lambat laun kemampuan berbicaranya melemah.

Joseph P. Kennedy terjebak dan dihancurkan oleh kekuatannya sendiri. Orang yang dulu pernah dijadikannya sekutu untuk membantu kampanye putranya ternyata kemudian menjadi salah satu target utama yang akan dihancurkan oleh John F. Kennedy sendiri ketika sudah menjabat sebagai presiden, bahu membahu bersama adiknya, Robert Kennedy yang saat itu menjabat sebagai jaksa agung. Hal tersebut terjadi karena ketidak tahuan mereka akan siapa yang berperan besar dalam kemenangan yang mereka raih, juga karena sang ayah, Joe Kennedy, sewaktu berjuang untuk mereka, berusaha menutupi keterlibatan orang-orang semacam Giancana.

Sam Giancana adalah salah satu penjahat yang sangat berpengaruh di Chicago. Pada waktu melakukan usaha-usaha untuk meloloskan putranya menjadi presiden, Joe Kenedy mendapatkan bantuan, bukan hanya materi tetapi juga manipulasi-manipulasi suara dari para penjahat terorganisir Amerika semacam Sam Giancana, lewat tangan Frank Sinatra. Dan sebagai imbalannya, ia memberikan janji matang kepada Sinatra bahwa anak-anaknya tidak akan mempersulit para penjahat. Setelah John F. Kennedy terpilih, munculah pernyataan dari para penjahat,”Sinatra lah yang telah meloloskan John Kennedy ke Gedung Putih.”

Joe Kennedy tahu, dalam dunia mafia, hukuman bagi pengkhianat hanya satu, yaitu hukuman mati. Dan saat ini, yang disebut pengkhianat oleh para penjahat itu adalah anaknya sendiri, John dan Robert Kennedy.

“Saya ingin dikenang sebagai orang yang menghancurkan mafia…”

“Apabila tidak kita hancurkan penjahat-penjahat yang terorganisasir dalam skala nasional, mereka lah yang menghancurkan kita.”

–Robert F. Kennedy

Sementara di sudut-sudut remang New Orleans, Las Vegas, Chicago, Texas, New York, para gembong mafia berteriak:

“Jangan khawatir tentang anak sundal Bobby (Robert Kennedy) itu. Dia akan dibereskan. Akan kita singkirkan kerikil yang masuk ke dalam sepatu kita”

-Carlos Marcello, gembong mafia Costra Nostra Lousiana.

“Anda lihat apa yang diperbuat oleh Kennedy. Menghadapi Kennedy kita harus memakai belati seperti menghadapi orang-orang lain. Kita tikam dan kita bunuh anak sundal itu. Saya bicara sungguh sungguh, tidak main-main. Memang benar begitu. Saya berani bersumpah. Sudah tiba saatnya. Tapi coba anda dengar, asal saya diberi waktu satu minggu saja maka akan saya bunuh dia. Biar di gedung putih sekalipun. Seorang harus berani menyingkirkan anak sundal itu.”

-Angelo Bruno, ketua keluarga Bruno dari Philadelphia.


“Sampai kapan persetubuhan merupakan pelanggaran hukum federal? Apabila memang demikian halnya maka saya ingin agar Presiden Kennedy diseret ke depan meja hijau, sebab saya yakin ia berbuat cabul dengan pelacur-pelacur yang disediakan Frank Sinatra. Saya ingin membunuh Kennedy. Saya dengan senang hati akan menjalani hukuman penjara seumur hidup, percayalah!”

-anggota Costra Nostra.

“Presiden Kennedy harus dihabisi nyawanya. Mereka (para penjahat terorganisir) harus membunuh seluruh keluarganya, juga ayah ibunya.”

-Peter Magaddino, anggota keluarga Costra Nostra Buffalo.

“…catatlah kata-kata saya, Kennedy berada dalam bahaya dan dia akan mendapat ganjaran setimpal. Kennedy tidak akan hidup sampai pemilihan presiden yang akan datang. Ia akan dibunuh.”

-Santo Trafficante Jr.

* * *

Siang ini, sementara di Dallas iring-iringan mobil Presiden Kennedy bersama istrinya sedang melewati tikungan dekat Gedung Penyimpanan Buku Sekolah Texas, Di Hyannis Port Joseph Patrick Kennedy sedang didorong menggunakan kursi roda oleh Rita Dallas menuju kamar untuk istirahat. Satu kebiasaan yang dilakukannya sehabis santap siang.

Hyannis Port, rumah yang telah ditinggali oleh Joseph Patrick Kennedy semenjak 40 tahun terakhir, tempat di mana ia menanamkan kepada anak-anaknya kegigihan dan semangat untuk selalu menang, tempat ia merancang seluruh strategi kampanye bagi putranya, tempat ia menancapkan nama Kennedy sebagai keluarga papan atas Amerika, sebentar lagi akan menjadi tempat diadakannya perayaan hari bersyukur (thanks giving) yang jatuh pada tanggal 23 November -satu hari setelah kampanye Presiden Kennedy di Texas.

Suasana hari bersyukur selalu indah. Persiapan telah dilakukan jauh-jauh hari sebelum tanggal 22 November. Seluruh anak cucu Kennedy akan berkumpul. Presiden Kennedy sendiri rencananya akan datang bersama istri dan dua anaknya, John Jr dan Caroline, dengan pesawat Angkatan Udara No.1 di Pangkalan Udara Otis, kemudian dilanjutkan menggunakan helikopter dan mendarat di lapangan depan rumah.

Namun pada hari itu, pukul setengah dua siang lewat, seorang pelayan pribadi Joe Kennedy, Dora, tiba-tiba berlari ke gang di dekat tangga dan menjerit sekuatnya,”Presiden tertembak! Presiden tertembak!”

Rita Dallas, yang saat itu sedang berada di lantai atas, menjulurkan badannya dengan berpegangan pada besi pegangan tangga. “Jangan ribut. Apa katamu?” ucapnya sambil menaruh jemari di bibirnya.

Rose kemudian keluar dari kamar dan berkata,”Ada apa kalian berdua? Kalian jangan ribut-ribut. Saya belum pernah mendengar kalian seribut ini. Nah, kalian diamlah. Apa kalian ingin mengganggu Tuan Kennedy?”

Dora mulai menangis lagi, sambil berpegangan pada Frank Saunder, sopir pribadi Kennedy. Beberapa saat kemudian Ann Gargan, suami dari Rita Dallas keluar kamar dan dengan lemas bersandar di dinding.

“Ada apa?” tanya Rose.”Katakan ada apa?”

Dengan ragu, Ann menjawab, “Bibi Rose, Jack (panggilan untuk John F. Kennedy) ditembak orang.”
Rose terpukau sejenak, lalu menekankan jemarinya ke kening dan berkata dengan suara mantap,”Jangan kuatir, ia akan selamat. Lihat saja.”

Rose kembali ke dalam kamar dan duduk di atas tempat tidur.

Sementara di Virginia, Robert Kennedy sedang makan siang bersama Robert M. Morgenthau, penuntut umum untuk distrik selatan New York. Beberapa saat kemudian telefon berdering. Ternyata dari J. Edgar Hoover, pimpinan FBI yang memberitahukan bahwa Presiden Kennedy tertembak. Telefon ditutup, Robert berpaling ke Ethel, istrinya dan berkata dengan tenang,”Ia mengalami kehidupan yang paling baik.”

Ketika peristiwa penembakan itu berlangsung, senator Ted Kennedy, putra sulung Joseph P. Kennedy, sedang menandatangani beberapa surat di atas mimbar. Seorang pengantar surat, Richard Reidel, menyampaikan berita tersebut.

“Hal yang sangat mengerikan telah terjadi. Mengerikan, sungguh mengerikan!” ucapnya.

“Apa maksudmu?” jawab Ted.

“Kakak anda, Presiden telah ditembak.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Dalam berita teleks. Baru saja masuk.”

Setelah itu lima pesawat telefon di rumah di Hyannis Port yang masing-masing memiliki nomor sendiri-sendiri tak henti-hentinya berdering. Pukul 04.15 sore, telefon dari pesawat terbang kepresidenan masuk. Presiden dan Ibu Negara yang baru mengucapkan bela sungkawa, dan Rose menjawabnya dengan sangat tenang. Tak lama kemudian muncul Teddy, Eunice, dan Joe Gargan. Mereka masing-masing memakai sweater tebal, dan keluar menuju pantai untuk berjalan-jalan, menikmati semilir angin dingin bulan november dan pemandangan sore yang menakjubkan. Dalam kebisuan tiba-tiba Rose berkata pada keponakannya, Joe Gargan.

“Joey, engkau harus lebih banyak membaca buku.”

“Ya, Bi Rose.” jawab Joe.

“Bacalah Marlborough, Fox dan Burke seperti Jack.” sahutnya.










Newer Post Older Post Home

0 comments: