Kolonel Kolonel Pemberontak

By | Thursday, September 09, 2010 Leave a Comment
Kegelisahan yang dialami petinggi TNI karena kasus ‘kelancangan' Kolonel AU Adjie Suradji saya kira menarik untuk diperhatikan. Pasalnya, ketika seorang TNI apalagi berpangkat kolonel berani mengungkapkan kritik kepada atasannya secara terang-terangan mengindikasikan mungkin saja tengah terjadi adanya kegelisahan yang sama dalam tubuh para prajurit pada umumnya. Cuma kebetulan yang berani melakukan itu hanya satu orang. Tetapi satu orang itu tidak bisa dianggap sepele, dia memiliki pangkat yang dalam catatan sejarah paling banyak memberi warna pada pemerintahan suatu Negara.


Di Mesir kita mengenal Gamal Abdul Nasser dan Anwar Sadat yang ketika berjuang di bawah komite rahasia Dewan Revolusi mereka berpangkat Kolonel. Selain itu ada Kolonel Moammar Khadafi, pemimpin besar revolusi pendiri Republik Libya setelah menggulingkan pemerintahan monarki Raja Idris, seorang kolonel yang mengguncang dunia lewat pidato-pidatonya yang konon pernah membuat seorang penerjemahnya kelenger karena panjangnya pidato beliau.

Begitu berkharismanya seorang berpangkat kolonel hingga Gabriel Garcia Marquez menulis kisah mengagumkan, One Hundred Years of Solitude, tentang seorang pemuda revolusioner bernama Aureliano Buendia yang mengangkat dirinya menjadi Kolonel ketika terjun dalam kancah perang.

Ia memimpin 31 pemberontakan bersenjata dan semua kalah. Lolos dari 14 kali percobaan pembunuhan, 73 kali penyergapan dan satu kali regu tembak. Lolos dari satu dosis strychinine dalam kopinya yang sanggup membunuh satu ekor kuda, menolak penghargaan yang dihadiahkan Presiden Republik kepadanya, orang yang paling ditakuti pemerintah tetapi tidak membiarkan dirinya dipotret, menolak pensiun seumur hidup setelah perang usai dan sampai hari tuanya ia hidup dengan membuat ikan-ikan emas kecil di bengkelnya di Macondo.

Saya rasa terlalu panjang menceritakan ‘ulah' para kolonel dalam pemerintahan di tiap-tiap Negara di dunia. Di Indonesia sendiri kita mengenal deretan para ‘Kolonel Pembangkang' yang berhasil menggoreskan namanya pada catatan sejarah.
* * *

"Sabtu malam 30 November 1957. Aku sedang berjalan keluar, meninggalkan malam dana Perguruan Cikini, tempat kedua anakku, Guntur dan Mega, bersekolah," kenang Presiden Soekarno.

Sekitar pukul 20.55, ketika sedang menuju ke mobilnya, tiba tiba terdengar ledakan yang semula dikira bunyi petasan, namun kemudian disusul adanya ledakan-ledakan lain. Anak-anak berteriak sambil lari ketakutan memasuki gedung sekolah. Tamu-tamu berguling ke bawah kendaraan atau tercebur ke selokan. Puluhan orang terkena ledakan, ratusan terbanting ke tanah. Sebuah serangan pengecut yang berusaha membunuh Soekarno, Presiden Republik Indonesia.Percobaan pembunuhan dengan melempar granat itu kemudian disebut Peristiwa Cikini. Aksi percobaan pembunuhan pertama kepada Bung Karno.

Sekitar satu tahun sebelumnya, pada Desember 1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan di Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Sulawesi untuk menentang pemerintah Pusat,.

Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan "Dewan Banteng" di Sumatera Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Pada 22 Desember 1956 berikutnya di Medan, Sumatera Utara dengan terbentuknya "Dewan Gajah", dipimpin Kolonel Maludin Simbolon, yang menyatakan bahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara dari hubungan dengan pemerintah pusat. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado diumumkan "Piagam Perjuangan Semester (PERMESTA)" oleh tokoh-tokoh seperti Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi, Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.

Merekalah, ‘para pembangkang itu', terutama Kolonel Zulkifli Lubis kemudian pada hari Senin, 2 Desember 1957 siang oleh Mayor Dachyar -Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja (KMKBDR) dituduh sebagai dalang pada Peristiwa Cikini.

Situasi semakin memburuk Akibat Peristiwa Cikini tersebut. Dituduh terlibat, pada awal Januari 1958, mereka berkumpul di Sungai Dareh, Sumatera Barat, menuntut pembentukan kabinet yang berwibawa untuk menyelesaikan kemelut hubungan antara pusat dan daerah. Ketika tuntutan itu dibiarkan, keluar ultimatum 10 Februari 1958, yang isinya menyatakan untuk segera membentuk Kabinet Hatta-Sultan Yogya.

Ultimatum ditolak, maka lima hari kemudian, Letkol Achmad Husein memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Pada hari berikutnya bergabunglah Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) ke dalam PRRI sehingga gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta.

3 tahun lebih konfrontasi bersenjata tersebut berlangsung hingga pada 29 Mei 1961 Achmad Husein bersama pasukannya melaporkan diri secara resmi kepada Brigadir Jeneral GPH Djatikusumo, Deputi Wilayah Sumatera Barat. Dan pada 4 April 1961 penandatanganan naskah penyelesaian Permesta dilangsungkan.

Sekitar 4 tahun kemudian,tepatnya 1965, pecah gerakan besar lainnya yang dari situ kemudian muncul satu nama, yaitu Letkol Untung Syamsuri. Ia tampil di atas pentas sebagai tokoh utama sekaligus pusat peristiwa pada drama 30 September atau yang dikenal dengan Gerakan 30 S/PKI.

Namanya bertengger dalam jajaran tokoh kontroversial negeri ini. Berkat ‘pendidikan sejarah' lewat layar televisi yang diciptakan Orde Baru, oleh masyarakat sosoknya dikonotasi dengan kekejaman dan penculikan, seragam Cakrabirawa dan rapat-rapat penting.

6 jenderal beserta 3 perwira lainnya terbunuh pada peristiwa tanggal 1 Oktober 1965 dini hari tersebut, dan Letkol Untung dituduh mendalanginya. Beberapa bulan kemudian ia ditangkap di daerah Brebes Jawa Tengah. Tidak lama setelah itu ia dihukum mati.

Dan pada Senin 6 September 2010, seorang kolonel penerbang, Adjie Suradji menulis di kolom opini Harian Nasional Kompas yang mengkritik pemimpinnya sendiri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kritikan yang diungkapkan oleh seorang perwira TNI tidak bisa disamakan begitu saja dengan kritikan dari warga sipil biasa. Setidaknya jangan sampai di mata masyarakat timbul kesan bahwa di dalam tubuh TNI tengah terjadi suatu persoalan. Dan dampak paling serius dari keberanian berceloteh Kolonel Suradji tersebut adalah timbulnya keberanian dari para perwira lain untuk melakukan hal serupa. Bukankah munculnya tiap gerakan hanya persoalan waktu; menunggu siapa yang berani maju lebih dulu ke depan dan itu berarti ia siap menjadi korban.

Ketika Ibas Yudhoyono mengomentari tentang perselisihan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia dengan mengatakan: "Dari segi finansial Indonesia belum mampu untuk berperang dan persenjataan yang dimiliki TNI kita juga tidak mendukung," maka bisa jadi itu benar. Tetapi untuk menggulingkan pemimpinnya sendiri, suatu institusi militer sangat mampu untuk melakukannya.
Newer Post Older Post Home

0 comments: