Setelah sekian lama diselimuti keresahan, akhirnya kuberanikan diri untuk menulis semua ini. Aku menyebutkan keberanian karena tulisan ini bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk diri pribadi, dan tidak lucu rasanya kalau di saat seperti ini aku masih saja menuliskan kebohongan.Aku mesti bersikap jujur. Namun seperti yang semua tahu, kejujuran, meski ditujukan pada diri sendiri sekalipun, bukanlah perkara mudah. Disinilah keberanian itu berperan.
Akhirnya aku anggap surat ini hanyalah semacam pengakuan dosa. walaupun aku yakin tuhan sudah tahu semuanya, tetapi mengakui sendiri kesalahan adalah sesuatu yang berbeda. Semoga dengan melakukan ini, gundah yang selalu memberati hatiku sepanjang hari, sedikit dapat berkurang.
Pertama ijinkan aku bercerita tentang penyebab keresahanku itu
Apa yang selama ini mereka sangkakan kepadaku dan teman-teman anggota dewan lainnya, tidaklah semuanya benar. Segala keistimewaan memang langsung kudapatkan sejak pertama aku duduk di kursi itu. Tapi kuanggap itu suatu kewajaran mengingat posisi kami. Dan aku kurang setuju ketika semua itu diperbandingkan dengan keadaan ekonomi masyarakat. Posisi kami dengan mereka jelas berbeda. Kami memiliki tugas-tugas penting yang berhubungan langsung dengan kestabilan Negara.
Cobalah sekali-sekali tengok para pengusaha itu. Kenapa kemewahan mereka tidak kena protes. Oh, aku tahu, karena kemewahan yang kami dapat datang dari masyarakat, dan kami berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya.
Baiklah kalau begitu, aku akan katakan bahwa jangan kira selama ini kami tidak berjuang.
Semua tahu, negara Indonesia sedang diliputi oleh permasalahan, dan permasalahan itu begitu kompleks, datang silih berganti seperti tidak ada ujungnya. Semua itu bukan perkara gampang, segampang menggeser pantat, tetapi dibutuhkan dedikasi serta perjuangan yang keras dan tidak sebentar.
Dua hal itulah yang sangat sulit. Selain satu hal lagi, dan kini dengan jujur kuungkapkan, dikarenakan oleh daya imajinasi kami yang sangat terbatas dalam mencari solusi. Aku sebagai manusia biasa selalu mengalami kebingungan, apa yang mesti dilakukan.
Semua mestinya faham, bagaimana pendidikan di negeri ini dalam mencetak anak-anak didiknya. Bahkan aku yang termasuk sarjana pun masih tidak tahu apa yang mesti dilakukan, apa lagi teman-teman kami yang duduk di kursi dewan yang, ini memang fakta, memakai ijazah palsu.
Kondisi seperti itu juga lah yang menyebabkan banyaknya kasus penting tidak terselesaikan. Baiklah, aku akui sebagian karena kesalahan dari kami. Tetapi ketika kalian anggap kami tidak melakukan kerja apa-apa, kalian salah. Demi Tuhan beserta para Rasul aku bersumpah, aku dan teman-teman telah berusaha semaksimal mungkin. Namun, perlu kutegaskan sekali lagi, masalah yang terjadi tidak mudah, ia saling membelit satu sama lain, hingga sepertinya mustahil untuk kami menguraikan satu persatu yang ujungnya, semua tahu, akan menuju pada orang-orang penting negeri ini. Apa lah daya kami?
Kami tidaklah seperkasa yang kalian pikirkan. Undang-undang memang menempatkan kami sebagai orang-orang yang memiliki kekuasaan tinggi, tetapi apa artinya undang-undang, hanyalah mitos usang yang tercatat di atas kertas mati. Kenyataanlah yang berkuasa sesungguhnya.
Percayalah, kami berjuang untuk negeri ini. Tapi perjuangan mesti memiliki tujuan. Kami pernah menggembor-gemborkan di depan publik tujuan dan niat kami menjadi anggota dewan, yang intinya adalah membela kepentingan masyarakat. Aku masih ingat itu. Jangan disangka aku lupa. Tapi cobalah mereka yang berada di posisi kami, mereka akan tahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam gedung wakil rakyat.
Tulisan ini bukan sedang meminta permakluman, tetapi sekadar mengungkapkan kenyataan.
Andai mereka tahu, aku sering mengalami pertentangan batin yang hebat ketika menghadapi amplop-amplop misterius yang biasa beredar di gedung tempatku bekerja, yang datang secara tiba-tiba dan entah dari mana. Pertentangan batin itu kerap membuatku hampir gila. Tapi untunglah muncul pula hal-hal yang sedikit melegakan hatiku, yaitu ketika mengetahui darimana asal amplop-amplop tersebut.
Masyarakat anggap kami yang mengada-adakannya. Itu tidaklah benar. Amplop-amplop itu datang dengan sendirinya. Itu hanyalah -menurut istilah jawa- duit temon, yang artinya kurang lebih sama dengan rezeki yang didapat tanpa disangka-sangka. Semua tahu, dengan sistem birokrasi yang seperti ini, kesempatan untuk mendapatkan hal-hal seperti itu sangatlah mudah. Tapi sekali lagi itu disebabkan oleh birokrasi.
Kadang kuberpikir haruskah aku mengambil jalan yang berbeda dengan teman-teman? Namun terlintas juga pikiran bagaimana nanti reaksi teman-teman di sana. Mereka akan memandangku dengan sinis, menganggapku sok suci, sok bersih, sok pahlawan, cari muka dsb. Kalian mestinya tahu bagaimana rasanya dikucilkan. Betapa menyakitkannya berada pada posisi itu, seperti sakitnya hidup miskin.
Bacalah kalimat terakhir itu. Kemiskinan adalah menyakitkan. Karena aku tahu itu, maka tidak pernah sekali pun kami menginginkan kekayaan dengan mengambil jatah orang lain. Tapi ketika jatah itu datang sendirinya di depan mata, bagaimana kami bisa menolaknya? Haruskah kami menampik rezeki? seandainya aku mengambil sikap menolak, apakah negara akan berubah seketika? Tidak. Persoalan sudah terlanjur akut, tidak begitu saja selesai dengan hanya mengandalkan sikap idealisme seperti itu. Lagi pula, apalah artinya seorang ‘aku’, dibanding dengan ratusan teman-teman yang lain. Apakah dengan aku bersikap seperti itu keadaan akan berubah? Apakah tidak mungkin teman-teman yang lain akan mengeroyok atau berusaha untuk menyingkirkanku?
Jadi akhirnya aku mendapatkan kebulatan tekad menerima amplop itu, karena yang dibutuhkan negeri ini adalah perjuangan panjang, keras dan kolektif. Mencoba sendirian mengubah keadaan adalah konyol dan sia-sia. Penghargaan tidak di dapat, materi pun tidak dan koneksi pun lenyap. Hidup seperti apa yang akan kujalani nantinya. Menjadi orang miskin tetapi jujur? Dengan mengharapkan pujian dari masyarakat tentang kehebatanku memegang pendirian? Terlalu naĂŻf berpikiran seperti itu. Kenyataannya, orang kaya tetap memiliki kehormatan lebih tinggi di mata siapa pun.
Sampai di sini semoga dapat dimengerti apa yang sebenarnya terjadi. Percayalah, di lubuk hatiku yang terdalam ada rasa keprihatinan ketika melihat kondisi masyarakat negeri ini, tetapi sekali lagi, apa yang mesti diperbuat? Jujur, aku seperti terjebak dalam pasir hisap. Maafkan aku Tuhan.
Akhirnya aku anggap surat ini hanyalah semacam pengakuan dosa. walaupun aku yakin tuhan sudah tahu semuanya, tetapi mengakui sendiri kesalahan adalah sesuatu yang berbeda. Semoga dengan melakukan ini, gundah yang selalu memberati hatiku sepanjang hari, sedikit dapat berkurang.
Pertama ijinkan aku bercerita tentang penyebab keresahanku itu
Apa yang selama ini mereka sangkakan kepadaku dan teman-teman anggota dewan lainnya, tidaklah semuanya benar. Segala keistimewaan memang langsung kudapatkan sejak pertama aku duduk di kursi itu. Tapi kuanggap itu suatu kewajaran mengingat posisi kami. Dan aku kurang setuju ketika semua itu diperbandingkan dengan keadaan ekonomi masyarakat. Posisi kami dengan mereka jelas berbeda. Kami memiliki tugas-tugas penting yang berhubungan langsung dengan kestabilan Negara.
Cobalah sekali-sekali tengok para pengusaha itu. Kenapa kemewahan mereka tidak kena protes. Oh, aku tahu, karena kemewahan yang kami dapat datang dari masyarakat, dan kami berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya.
Baiklah kalau begitu, aku akan katakan bahwa jangan kira selama ini kami tidak berjuang.
Semua tahu, negara Indonesia sedang diliputi oleh permasalahan, dan permasalahan itu begitu kompleks, datang silih berganti seperti tidak ada ujungnya. Semua itu bukan perkara gampang, segampang menggeser pantat, tetapi dibutuhkan dedikasi serta perjuangan yang keras dan tidak sebentar.
Dua hal itulah yang sangat sulit. Selain satu hal lagi, dan kini dengan jujur kuungkapkan, dikarenakan oleh daya imajinasi kami yang sangat terbatas dalam mencari solusi. Aku sebagai manusia biasa selalu mengalami kebingungan, apa yang mesti dilakukan.
Semua mestinya faham, bagaimana pendidikan di negeri ini dalam mencetak anak-anak didiknya. Bahkan aku yang termasuk sarjana pun masih tidak tahu apa yang mesti dilakukan, apa lagi teman-teman kami yang duduk di kursi dewan yang, ini memang fakta, memakai ijazah palsu.
Kondisi seperti itu juga lah yang menyebabkan banyaknya kasus penting tidak terselesaikan. Baiklah, aku akui sebagian karena kesalahan dari kami. Tetapi ketika kalian anggap kami tidak melakukan kerja apa-apa, kalian salah. Demi Tuhan beserta para Rasul aku bersumpah, aku dan teman-teman telah berusaha semaksimal mungkin. Namun, perlu kutegaskan sekali lagi, masalah yang terjadi tidak mudah, ia saling membelit satu sama lain, hingga sepertinya mustahil untuk kami menguraikan satu persatu yang ujungnya, semua tahu, akan menuju pada orang-orang penting negeri ini. Apa lah daya kami?
Kami tidaklah seperkasa yang kalian pikirkan. Undang-undang memang menempatkan kami sebagai orang-orang yang memiliki kekuasaan tinggi, tetapi apa artinya undang-undang, hanyalah mitos usang yang tercatat di atas kertas mati. Kenyataanlah yang berkuasa sesungguhnya.
Percayalah, kami berjuang untuk negeri ini. Tapi perjuangan mesti memiliki tujuan. Kami pernah menggembor-gemborkan di depan publik tujuan dan niat kami menjadi anggota dewan, yang intinya adalah membela kepentingan masyarakat. Aku masih ingat itu. Jangan disangka aku lupa. Tapi cobalah mereka yang berada di posisi kami, mereka akan tahu apa sebenarnya yang terjadi di dalam gedung wakil rakyat.
Tulisan ini bukan sedang meminta permakluman, tetapi sekadar mengungkapkan kenyataan.
Andai mereka tahu, aku sering mengalami pertentangan batin yang hebat ketika menghadapi amplop-amplop misterius yang biasa beredar di gedung tempatku bekerja, yang datang secara tiba-tiba dan entah dari mana. Pertentangan batin itu kerap membuatku hampir gila. Tapi untunglah muncul pula hal-hal yang sedikit melegakan hatiku, yaitu ketika mengetahui darimana asal amplop-amplop tersebut.
Masyarakat anggap kami yang mengada-adakannya. Itu tidaklah benar. Amplop-amplop itu datang dengan sendirinya. Itu hanyalah -menurut istilah jawa- duit temon, yang artinya kurang lebih sama dengan rezeki yang didapat tanpa disangka-sangka. Semua tahu, dengan sistem birokrasi yang seperti ini, kesempatan untuk mendapatkan hal-hal seperti itu sangatlah mudah. Tapi sekali lagi itu disebabkan oleh birokrasi.
Kadang kuberpikir haruskah aku mengambil jalan yang berbeda dengan teman-teman? Namun terlintas juga pikiran bagaimana nanti reaksi teman-teman di sana. Mereka akan memandangku dengan sinis, menganggapku sok suci, sok bersih, sok pahlawan, cari muka dsb. Kalian mestinya tahu bagaimana rasanya dikucilkan. Betapa menyakitkannya berada pada posisi itu, seperti sakitnya hidup miskin.
Bacalah kalimat terakhir itu. Kemiskinan adalah menyakitkan. Karena aku tahu itu, maka tidak pernah sekali pun kami menginginkan kekayaan dengan mengambil jatah orang lain. Tapi ketika jatah itu datang sendirinya di depan mata, bagaimana kami bisa menolaknya? Haruskah kami menampik rezeki? seandainya aku mengambil sikap menolak, apakah negara akan berubah seketika? Tidak. Persoalan sudah terlanjur akut, tidak begitu saja selesai dengan hanya mengandalkan sikap idealisme seperti itu. Lagi pula, apalah artinya seorang ‘aku’, dibanding dengan ratusan teman-teman yang lain. Apakah dengan aku bersikap seperti itu keadaan akan berubah? Apakah tidak mungkin teman-teman yang lain akan mengeroyok atau berusaha untuk menyingkirkanku?
Jadi akhirnya aku mendapatkan kebulatan tekad menerima amplop itu, karena yang dibutuhkan negeri ini adalah perjuangan panjang, keras dan kolektif. Mencoba sendirian mengubah keadaan adalah konyol dan sia-sia. Penghargaan tidak di dapat, materi pun tidak dan koneksi pun lenyap. Hidup seperti apa yang akan kujalani nantinya. Menjadi orang miskin tetapi jujur? Dengan mengharapkan pujian dari masyarakat tentang kehebatanku memegang pendirian? Terlalu naĂŻf berpikiran seperti itu. Kenyataannya, orang kaya tetap memiliki kehormatan lebih tinggi di mata siapa pun.
Sampai di sini semoga dapat dimengerti apa yang sebenarnya terjadi. Percayalah, di lubuk hatiku yang terdalam ada rasa keprihatinan ketika melihat kondisi masyarakat negeri ini, tetapi sekali lagi, apa yang mesti diperbuat? Jujur, aku seperti terjebak dalam pasir hisap. Maafkan aku Tuhan.
Teman,... aku tau kau tidak akan mencapai posisimu sekarang jika kau berpihak pada nuranimu dari awal. Aku tidak tau bagaimana kau bisa mencapai posisimu sekarang, tapi sudikah kau menceritakannya padaku? :-)
ReplyDeleteAku pernah menghadapi pertentangan batin sepertimu, dan aku memilih berpihak pada nuraniku. Aku miskin, tapi aku puas. Aku berusaha, terus berusaha, berdoa, meski hampir gila.
Here I am now,... nothing 4 every one, but more 4 I am. :-)
inikah sebuah gejolak jiwa seorang anggota dewan?
ReplyDeleteMaaf Tuan, dua paragraf terakhir Tuan sangat dan sangat dan sangat kontradiktif sekali. Awalnya saat saya membaca, saya harap sebuah idealisme akan saya temukan dalam tulisan ini. Tapi? saya kecewa. Seorang anggota dewan takut dikucilkan oleh teman anggota dewan lainnya dan terpaksa :
"aku mendapatkan kebulatan tekad menerima amplop itu, karena yang dibutuhkan negeri ini adalah perjuangan panjang, keras dan kolektif. Mencoba sendirian mengubah keadaan adalah konyol dan sia-sia"
Tahukah Tuan bahwa terlalu banyak orang yang ingin merubah dunia, namun sangat sedikit sekali orang yang mau merubah dirinya sendiri?
dan pada kalimat terakhir, Tuan meminta maaf kepada Tuhan. kenapa? Karena Tuan tahu kalau Tuhan itu adalah Maha Pemaaf!! Tapi tahukah Tuan bahwa bersalah kepada rakyat Tuan lebih besar dosanya karena belum tentu rakyat tersebut memberikan maaf?!!!
:evil: :evil: :evil:
Kalau begitu saya meminta maaf kepada Anda..hahhaha
ReplyDeletetetapi bukankah semua bisa melihat
ReplyDeleteandai proses yang bertentangan dengan nurani dan menyiksa kemudian berbalik menjadi kenikmatan dan dinikmati dan dipertontonkan dengan olah kata dan selalu kami adalah penontonya
ingat kami adalah penonton yang setia
yang memilih pemain
memandang dewan yang terhormat dengan segala penghormatan dalam balutan kostum berbeda tapi tampang sama.....
sekali-kali kami tidak menghujat, tidak menyalahkan
angota dewan yang terhormatlah yang akan merasa bersalah, anggota dewan yang terhormat yang akan merasa dihujat, mereka yang menuduh dan mereka sendiri yang menghujat.........
bagi kami bisa makan sehari-hari itu sudah cukup
harga tinggi yang penting terbeli