Oleh: Manneke Budiman. Dibacakan pada diskusi novel Lenka di Salihara 8 Oktober 2011, yang merupakan bagian dari rangkaian acara biennale sastra Salihara 2011

Kematian Lenka memang menjadi titik tolak sekaligus pengikat cerita. Kematian menjadi awal novel dan faktor utama pendorong alur cerita untuk terus bergulir, sebelum tiba di titik akhir berupa kematian yang lain, yakni kematian wartawan Jabar Kamus, yang ditugasi meliput misteri kematian Lenka. Novel ini menyentak karena ia memperoleh energinya yang sadis dan brutal—yang membuatnya demikian hidup sampai-sampai menjadi sangat menakutkan—dari kematian.
Alurnya bukan alur linear yang bergerak ke depan mengikuti suatu pola progresif tertentu, melainkan melompat-lompat, mengangkangi ruang yang meliputi masa puluhan tahun dan, dengan demikian, menaklukkan dimensi ruang tersebut. Waktu terkesan hadir secara dominan, tapi sesungguhnya ia hanya menjadi kendaraan hasrat serta kegilaan para tokoh novel: suatu gairah akan kematian. Alur tidak bergerak secara progresif melainkan sirkular. Dari debu kembali ke debu, dari kematian sebagai pangkal menuju ke kematian sebagai ujung.
Di dalam setiap bingkai waktu yang tercabik-cabik itulah, ironisnya, setiap pengarang penyumbang novel ini, memperoleh ruang bebas untuk mendemonstrasikan elan kepengarangan mereka. Mereka melakukan eksplorasi dan eksperimentasi dengan bentuk-bentuk yang liar, serta mewujudkan kegilaan kreatif masing-masing dalam mengolah imajinasi. Hasilnya adalah sebuah cerita yang tidak utuh, tidak patuh pada kungkungan linear, dan penuh kegaduhan.
Ini membawa kita kembali ke judul yang melemparkan pertanyaan: apakah Lenka adalah sebuah karnaval dan perayaan yang semarak dari suara-suara kreatif yang bersinkronisasi membangun sebuah orkes kematian, ataukah ia hanya sebuah persimpangan yang sarat dengan lalu-lintas keberisikan semata bagi ego-ego membubung setiap penyumbang? Dengan kata lain, apakah novel ini menjadi wadah perjumpaan visi-visi individual, ataukah ia menjadi arena kompetisi visi-visi itu?
Bagaimana penokohan digarap, dan apa dampaknya bagi keseluruhan cerita, inilah yang bagi saya menjadi parameter untuk membantu kita menjawab pertanyaan di atas. Dalam kerangka bangunan novel konvensional, mutu sebuah karya diukur dari derajat keberhasilannya dalam menciptakan tokoh-tokoh yang utuh, koheren, konsisten. Maka lahirlah kategori-kategori seperti tokoh bulat, tokoh datar, dan sebagainya. Kompleksitas dan kedalaman penokohan, dengan demikian, dilihat dari segi kemasuk-akalannya atau dari plausibilitasnya. Lalu, bagaimana dengan penokohan dalam Lenka?
Karena banyaknya tangan yang turut bekerja membentuk para tokohnya, maka kita disuguhi dengan tokoh-tokoh yang penuh kontradiksi, minus konsistensi, dan tak jarang motif-motifnya tak terpahami dengan memadai. Kita menyaksikan Lenka yang percaya diri dan waras, tapi di bagian lain tampil Lenka yang kehilangan jalan, ringkih, dan kecil hati. Atau tokoh Helong yang ambisius, dingin dan sadis, tapi di lain waktu muncul sebagai seseorang yang sentimental dan penuh empati. Hal serupa terjadi pula pada tokoh-tokoh lain seperti Pandan Salas, Luisa, danTiung.
Bagaimana kita sebaiknya menyikapi hal ini?Tentu saja, jawaban sederhana bisa diberikan dengan memakai dalih bahwa, karena tokoh-tokoh ini hidup dalam lingkungan keluarga dan sosial yang disfungsional, maka kita tak boleh berharap melihat tokoh-tokoh yang utuh, karena mereka adalah produk dari disfungsi tersebut. Dari sudut pandang berbeda, kita bisa mengatakan bahwa inilah yang khas ditawarkan oleh sebuah karya yang dihasilkan oleh banyak otak dan tangan: ada diskoneksi, tapi ada juga kesinambungan. Terlepas dari bingkai disfungsi yang membungkus kisah, sejatinya sosok tokoh yang utuh dan komplit adalah tokoh yang dipenuhi oleh kontradiksi dan inkonsistensi, karena demikianlah kenyataan manusia. Dan Lenka menjadi tokoh yang tragis, seperti halnya Helong, karena mereka tak mampu menerima fakta bahwa mereka, dan kehidupan mereka, didirikan di atas kontradiksi-kontradiksi. Lenka mati sembari mengira ia bisa mengatasi kontradiksi-kontradiksi itu lewat kematian yang dikehendaki dan dirancangnya sendiri; Helong mati, terlambat mengerti bahwa hidupnya tak sepenuhnya dalam kendali dirinya sendiri.
Di tangan pengarang tunggal, inkonsistensi tokoh bisa jadi merupakan cerminan kegagalan pengarang untuk membangun konflik, yang bisa memberi peluang kepada tokoh untuk berkembang. Biasanya, ini berbuntut pada kegagalan penokohan untuk menjalankan fungsinya dalam mendukung narasi. Dalam karya keroyokan ini, apa yang berpotensi menjadi kelemahan justru menjadi unsur utama sukses narasi. Tokoh-tokohnya menjadi multidimensional, kompleks, dan tetap memiliki misteri sampai akhir cerita, sebuah gambaran manusia yang sesungguhnya, yang tak pernah bening tidak hanya bagi orang lain tetapi juga bahkan bagi dirinya sendiri.
Hingar-bingar akibat banyaknya suara dan tangan dalam Lenka, menyebabkan alur menjadi rumit, konflik mengemuka dalam berbagai wajah, dan tokoh-tokoh hadir sebagai sosok-sosok yang tak dapat direkonstruksi secara sederhana. Inilah signifikansi karya ini dalam produksi fiksi di Indonesia pada masa kini.
0 comments: