Down and Out in Paris and London

By | Sunday, May 22, 2011 1 comment

Aku tidak menyarankanmu untuk membaca buku ini. Bukan masalah layak atau tidak layak, bagus atau tidak bagus. Tapi aku khawatir, isi buku ini akan menghantui hari-harimu setelahnya, menciptakan mimpi-mimpi buruk dan membangkitkan kecemasan. Buku ini jauh lebih menyeramkan dari cerita horor yang pernah dibuat dan lebih menyayat dari cerita tragedi manapun. 

Dalam buku ini, tergambar dengan jelas satu bentuk kehidupan yang menjadi musuh nomor satu manusia modern: melarat. Seolah sedang mengorek borok di kaki seorang gelandangan dan menjelaskan satu-persatu bagian-bagiannya, penulis menyodorkan secara detail kepada pembaca, inilah kehidupan dari satu belahan dunia yang mungkin belum pernah kamu tahu atau rasakan, tapi bukan tidak mungkin kehidupan seperti itu bisa mencaplokmu, kapan saja dan di mana saja. Kau berhak cemas untuk itu.

Novel ini bukan sakadar memoar, tetapi sebuah kritik sosial. Memang itu tampaknya yang ingin dituju oleh penulis, bukan sekadar memaparkan realitas kemiskinan yang brutal dan membangkitkan kecemasan semata di benak pembaca (mengingat tidak ada kesan memelas dan sentimentil dari bahasa yang digunakan). Di beberapa bagian, penulis mencoba menjelaskan bagaimana mereka ada dan kenapa bisa seperti itu. Dengan harapan setidaknya ada perubahan pola pandang tentang sosok kaum kusam di mata pembaca.

Down and Out in Paris and London,  buku pertama George Orwell, ditulis setelah ia keluar dari kepolisian Burma untuk memutuskan menjadi penulis. Ada dua bagian dalam buku ini. Pertama seputar kehidupan yang dialami penulis sewaktu di Paris, dan yang ke dua ketika akhirnya penulis kembali ke London. Dengan metafora yang cemerlang, dan satir yang menyentuh, George Orwell mampu membuat pembaca tidak tahu apakah mesti tertawa atau menangis.

Di dalam buku yang lain, The Road to Wigan Pier, George Orwell mengungkapkan alasannya kenapa ia memutuskan untuk keluar dari polisi dan menjalani kehidupan ‘berbahaya’ seperti itu (faktanya George Orwell lahir dari kelas menengah):

“Aku menyadari kesalahan besar yang harus kuperbaiki. Mungkin terdengar berlebihan: Tapi jika kau melakukan sesuatu pekerjaan yang benar-benar tercela selama 5 tahun, bisa jadi kau mengalami hal yang sama … aku merasa bahwa aku harus melepaskan diri bukan hanya dari imperialisme tetapi juga dari segala bentuk kekuasaan manusia atas manusia. Aku ingin membenamkan diri, turun langsung ke tengah-tengah penindasan; menjadi salah satu dari mereka dan berada di sisinya melawan tiran. Dan, terutama karena aku harus berpikir segala sesuatunya dalam kesendirian. “

Kisah novel Down and Out in Paris and London dimulai dengan gambaran suasana di sebuah jalan di paris, rue du coq d'or (nama lain dari Rue Mouffetard).  Teriakan-teriakan tertahan penuh amarah terdengar saling bergantian di jalan. Nyonya Monce, pemilik salah satu rumah susun, berjalan ke trotoar mendatangi seorang penyewa di lantai tiga. “Perempuan Jalang!” teriak Nyonya Monce,”berapa kali aku bilang jangan menggebuk kutu di dinding. Kamu pikir rumah susun ini sudah dibeli, ha? Kenapa tidak kamu buang saja lewat jendela seperti orang lain? Dasar pelacur!” Dan perempuan di lantai tiga menjawab,”Persetan!”

Keributan itu, tulis orwell, bukan satu-satunya hal penting yang terjadi di sana. Namun tetap saja, jarang dijumpai pagi tanpa paling tidak satu adegan riuh rendah itu. Pertengkaran, tangisan merana para gelandangan, teriakan anak-anak yang berlarian mengejar buah jeruk yang terkupas, nyanyian keras dan bau bacin kotoran kuda di malam hari.

Penulis tinggal di rumah susun bernama des trois moineaux saat itu, sebuah bangunan lima lantai yang gelap, rapuh, dan semrawut. Terdiri dari 40 kamar yang dipisahkan oleh pembatas dari kayu. Kamar-kamarnya kecil dan kotor. Keadaan di rumah-rumah susun seperti itu akan biasa terlihat sepanjang cerita dalam novel ini berlangsung.  Para gelandangan, dengan jumlah ribuan, melakukan perjalanan (secara terpisah-pisah tentu saja) belasan mil setiap harinya dari satu rumah singgah ke rumah singgah yang lain untuk bertahan hidup menghindar dari kejaran polisi seperti  rombongan manusia purba. 

George Orwell mengungkapkan pendapatnya tentang fenomena tersebut. Kalau dilihat lebih dalam, tulisnya, gelandangan adalah makhluk yang unik dan patut untuk diperhatikan. Adalah unik melihat sekawanan, berjumlah puluhan ribu, berjalan kaki menelusuri Inggris seperti sekumpulan Wandering Jew. Tetapi, meskipun kasus ini jelas-jelas harus dipikirkan dengan seksama, kita tidak bisa memulainya kecuali dengan membebaskan diri dari beberapa prasangka. Prasangka-prasangka ini berakar dari pikiran bahwa setiap gelandangan, ipso facto, adalah seorang bandit.  Sejak kanak-kanak kita diajari bahwa gelandangan adalah bandit, dan konsekuensinya dalam otak kita menetap semacam gambaran atau bayangan tentang gelandangan – makhluk menjijikan dan agak berbahaya, yang lebih memilih mati ketimbang bekerja atau mandi, dan tidak menginginkan apapun kecuali mengemis, minum dan merampok kandang ayam.  Pikiran tentang monster gelandangan ini tidak lebih seperti pandangan sepihak terhadap Cina di tulisan majalah, tapi sulit untuk dilepaskan. Kata ‘gelandangan’ sendiri membangkitkan citra yang kuat. Dan kepercayaan atas ini mengaburkan pertanyaan – pertanyaan sejati tentang gelandangan.

Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang gelandangan, lanjut Orwell, mengapa gelandangan bisa ada? Ini pertanyaan penting, tapi hanya sedikit yang mengetahui penyebab gelandangan hidup di jalanan. Dan, kepercayaan tentang monster-gelandangan ini begitu kuat, alasan yang paling fantastis dimunculkan. Misalnya dikatakan bahwa gelandangan berusaha untuk menghindari pekerjaan, untuk mengemis dengan lebih  mudah, untuk mencari peluang melakukan kejahatan, bahkan – alasan yang paling tidak mungkin – karena mereka suka menjadi gelandangan. 

Orwell mengkritik sebuah tulisan di buku kriminologi yang menyebutkan bahwa hidup menggelandang adalah sebuah atavisme – pengulangan sejarah, kembali ke tahap kemanusiaan nomaden. Ia melakukan penyangkalan:  Tentu saja gelandangan bukanlah atavisme – orang juga bisa bilang bahwa pedagang yang berkeliling adalah atavisme. Mereka berpendapat seperti itu sementara penyebab kehidupan gelandangan yang paling jelas ada di depan muka mereka. Seorang gelandangan hidup menggelandang bukan karena dia menyukainya, tapi untuk alasan yang sama dengan kenapa mobil berjalan di sebelah kiri; karena ada norma yang memaksanya untuk melakukan itu. Orang yang jatuh miskin kalau tidak disantuni gereja hanya akan mendapat bantuan di tempat penampungan, dan karena setiap penampungan hanya mengijinkannya tinggal satu malam , dia akan secara otomatis hidup berkeliling. Dia hidup menggelandang karena pilihannya adalah menggelandang atau kelaparan. Tapi orang terlanjur percaya pada pikiran monster gelandangan, sehingga mereka lebih suka berpikir bahwa pasti ada motif yang kurang lebih jahat untuk hidup menggelandang. 

Novel ini seperti ensiklopedia makhluk-makhluk ‘aneh’ yang masing-masing membawa cerita-cerita anehnya sendiri. Serpihan dari kehidupan kaum melarat di kota Paris dan London, yang kemudian disusun kembali oleh George Orwell. 

Keluarga Rogier misalnya, pasangan kakek nenek tua, berpakaian compang-camping yang menjalankan bisnis tak lazim; menjual kartu pos di bulevar St. Michel yang disampul bersegel dengan tampilan foto-foto porno padahal isinya adalah foto-foto kastil di lembah sungai Loire. Ada Monsieur Jules, orang yang memakai kacamata tetapi tidak mengakuinya.  Laurent, pengumpul barang bekas yang kalau mau membuat tanda tangan harus menyalin dari contoh di selembar kertas yang tersimpan di sakunya. 

Ada lagi seorang gelandangan yang bangga dengan gaya hidupnya, bernama Bozo. Dia tidak pernah menganggap dirinya gelandangan, tapi seniman. Dia tidak memiliki rasa takut atau penyesalan, atau rasa malu atau mengasihani diri sendiri. Menjadi pengemis, katanya, bukanlah kesalahannya, ia menolak meratapi atau menganggapnya persoalan besar. Ia menolak sumbangan dari lembaga agama (pihak gereja setiap hari memberi bantuan makanan kepada para gelandangan ini), karena katanya ia tidak bisa menyanyikan lagu agama demi mendapatkan roti.  Dia tegar menghadapi keadaan bahkan menciptakan filosofi untuk dirinya sendiri.

Pekerjaan Bozo adalah membuat karikatur menggunakan kapur di atas papan, sering disebut screever. Ia menggambar kartun politik, dan mendapat bayaran dari orang yang tertarik, tetapi juga tidak jarang mendapat kesusahan dari aparat karena pekerjaannya itu. Contohnya satu hari ia menggambar ular sanca yang bertuliskan ‘Modal’ sedang menelan kelinci bertuliskan ‘Buruh’.  Seorang polisi datang dan melihatnya, lalu bilang,’hapus itu, dan lakukan dengan benar.’

Satu ketika di malam hari ia berhenti di tengah jembatan, dan berkata pada penulis,”Lihat, lihat Aldebaran itu!” katanya seraya menunjuk ke atas. “Lihat warnanya, seperti jeruk merah yang indah.”

Kemudian ketika ditanya apakah ia tahu banyak tentang bintang, ia menjawab:”Tidak terlalu banyak. Aku tahu sedikit. Aku menerima dua buah surat dari astronomi kerajaan yang berterimakasih atas tulisanku tentang meteor. Setiap malam aku pergi keluar untuk mengamati meteor-meteor. Bintang-bintang adalah pertunjukan gratis; tidak perlu ongkos apapun untuk menggunakan matamu.

“Well, kamu harus tertarik akan sesuatu, kan? Bukan berarti karena tinggal di jalanan lantas tidak bisa berpikir lebih dari sekadar teh dan dua potong roti.”

Ketika ditanya bukankah sangat sulit untuk tertarik  atas sesuatu – hal-hal semacam bintang – dengan hidup seperti itu? Ia menjawab,”Screeving maksudmu? Tidak juga. Pekerjaan ini tidak membuatmu berubah menjadi kelinci jelek – tidak, kalau kamu benar-benar mengarahkan pikiranmu."

 “Tapi kabanyakan orang begitu.”

“Tentu saja. Lihat saja Paddy – pengemis sisa teh orang, hanya cocok menjadi pengemis sisa-sia. Begitulah kebanyakan orang. Aku menganggap mereka rendah. Tapi kamu tidak harus menjadi seperti mereka. Kalau kamu berpendidikan, tidak masalah kalau kamu hidup di jalanan seumur hidupmu.”

“…Kamu masih bisa terus membaca buku  dan mengolah ide-idemu. Kamu hanya harus mengatakan pada dirimu sendiri,’Aku orang bebas di sini’".

Meskipun turunnya Goerge Orwell ke 'lapangan', seperti yang tertulis di atas, dilandasi niat melepaskan diri dari segala bentuk kekuasaan imperialisme, Down and Out in Paris and London bukanlah cerita politik. Ini rekaman yang terang tentang kehidupan kaum pinggiran dari seorang yang sedang ‘belajar nulis’, seperti yang dikemukakannya beberapa tahun setelah novel Down and Out in Paris and London terbit, "Aku mengundurkan diri (sebagai polisi imperial) dengan harapan mampu mencari nafkah lewat menulis. Aku ingin melakukan sebaik mungkin sebagaimana anak muda yang memulai karir dalam bidang kepenulisan.  Hanya itu, tidak lebih."

Orwell menulisnya bukan dari imajinasi (meskipun bukan berarti setiap kata dalam novel itu nyata).  Dengan seting tahun 1920-an, apakah cerita ini ini telah ketinggalan jaman? Saya kira tidak. Terutama pembaca di Indonesia, kehidupan seperti itu saat itu bisa jadi tidak jauh berbeda dengan kehidupan di  Jakarta sekarang. Coba kamu naik KRL ekonomi jurusan Bekasi – Kota. Dan lihatlah kehidupan di sana: di pinggir rel kereta atau di dalam KRL itu sendiri. Kau tidak akan bisa mengangsurkan kaki tanpa menyentuh orang-orang ‘aneh’ seperti yang digambarkan dalam novel tersebut.



Newer Post Older Post Home

1 comment:

  1. Bagus sekali ya buku ini... saya setuju. Bahkan di jaman sekarang rasanya di negara maju pun masih banyak juga gelandangan dan pengemis seperti yang digambarkan di buku ini.

    Juga sangat relevan dengan yang ada di Indonesia, bahkan mungkin lebih parah. Semoga akan ada Orwell-Orwell dari Indonesia yang bisa menulis sebaik beliau.

    ReplyDelete