Aku Adalah Seekor Anjing

By | Sunday, July 04, 2010 Leave a Comment
Sebagaimana yang bisa kalian katakan tanpa ragu, kawan-kawanku tersayang, gigi-gigiku panjang dan ujungnya runcing dan nyaris tidak muat di mulutku. Aku tahu hal ini memberiku  penampilan yang menyeramkan, tetapi menyenangkanku. Mengetahui ukuran gigiku, seorang tukang  jagal pernah berkata dengan berani, "Ya Tuhan, itu sama sekali bukan  anjing, itu adalah seekor celeng!"

Aku menggigit kakinya dengan amat keras hingga gigi-gigiku terhunjam sangat dalam menembus dagingnya yang gempal hingga ke tulangnya yang keras. Bagi seekor anjing, kalian tahu, tidak ada yang bisa lebih memuaskan selain membenamkan gigi ke tubuh musuh yang malang untuk memuaskan sebuah kemarahan naluriah. Saat kesempatan itu hadir, yakni ketika korbanku yang memang patut kugigit dengan bodoh dan tanpa sadar melewatiku, gigi-gigiku terasa sakit dan ngilu menantikannya, kepalaku berputar dengan kerinduan yang bahkan tanpa arti, lalu aku menggeram dan bulu-buluku meremang.

Aku adalah seekor anjing, dan karena kalian para manusia adalah binatang-binatang yang kurang rasional daripada aku, kalian katakan saja pada diri kalian, "Anjing-anjing tidak berbicara!" Namun, kalian sepertinya memercayai sebuah kisah dimana mayat-mayat bisa bicara dan tokoh-tokoh menggunakan rangkaian kata-kata yang tidak mungkin bisa mereka mengerti. Anjing-anjing bisa berbicara tetapi hanya pada mereka yang tahu bagaimana mendengarkannya.

Pada zaman dahulu kala, di sebuah negeri yang jauh, seorang ulama dari sebuah kota pedalaman tiba di salah satu masjid terbesar di ibu kota. Baiklah, sebut saja itu Masjid Bayazid. Selayaknya kita menyembunyikan namanya, jadi mari kita anggap saja ulama ini sebagai Husret Hoja. Tetapi mengapa aku harus menutup-nutupi hal lain lagi: laki-laki ini adalah seorang ulama bodoh. Ia mengarang-ngarang kemajuan intelektualnya dengan kekuatan lidahnya. Setiap Jum'at, ia begitu asyik dengan jamaahnya. Ia membuat mereka menangis, sehingga beberapa di antaranya akan meratap-ratap hingga pingsan atau kelelahan dan lemas.

Jangan salah sangka, tidak seperti ulama lainnya yang dianugerahi kemampuan berdakwah, ia sendiri tidak menangis. Sebaliknya, saat para jamaahnya menangis, ia semakin bersemangat menyampaikan ceramahnya tanpa berkedip sedetik pun, seolah-olah sedang menghukum mereka.

Baiklah, laki-laki ini memang sama sekali bukan anjing, tidak, ia adalah seorang manusia -yang harus bersikap buruk untuk menjadi manusia- dan di hadapan khalayak yang terpesona, ia kehilangan dirinya sendiri. Ketika ia menyaksikan kerumunan orang yang membeo padanya, itu sama sekali menyenangkannya dengan membuat mereka menangis. Saat ia paham bahwa ada lebih banyak roti yang bisa dibuat dalam garapan baru ini, ia terus maju dan berani berkata sebagai berikut:

"Satu-satunya alasan kenaikan harga-harga, mewabahnya penyakit dan kekalahan militer, ada pada kealpaan kita terhadap Isalam di masa nabi besar kita dan kita jadi terhanyut dalam kepalsuan. Apakah kisah kelahiran Nabi kita dibacakan untuk mengenang hari wafatnya pada zaman dahuulu? Apakah perayaan hari keempat puluh dilaksanakan? Ketika Nabi Muhammad masih hidup, apakah Alqur'an yang mulia dibacakan dengan sedemikian merdunya seperti sebuah lagu? Apakah para jamaah dipanggil dengan  suara kencang dan dengan riang gembira untuk menunjukkan betapa dekatnya seorang Arab dengan Arab lainnya? Apakah pernah ada azan dikumandangkan dengan malu-malu, dengan kelembutan seorang laki-laki yang menyerupai perempuan?

"Hari ini, orang-orang meratap-ratap di depan nisan kubur, memohon penebusan dosa. Mereka berdoa dengan keterlibatan mereka yang sudah mati atas nama diri mereka. Mereka menziarahi kuburan orang-orang suci dan memuja makam bagaikan orang tak beragama di depan bongkahan batu.

"Adakah anggota tarekat sufi yang menyebarkan keakinan mereka di zaman Muhammad? Ibnu Arabi, guru dari tarekat-tarekat ini, telah berdosa dengan bersumpah bahwa fir'aun yang kafir itu mati sebagai seorang mukmin. Orang-orang sufi ini, dan mereka yang menyanyikan Al Qur'an dengan iringan musik, atau membolehkan tarian dengan anak-anak remaja, dengan berkata bahwa 'Kita toh sembahyang juga, bukan?' semuanya adalah kafir. Pondok-pondok para sufi harus dihancurkan, fondasinya harus dibongkar dan tanah yang terkumpul harus dibuang ke laut. Hanya setelah itulah salat wajib bisa dilakukan lagi di sana.

"Oh jamaahku yang taat! Minum kopi adalah sebuah dosa besar! Nabi besar kita tidak minum kopi karena beliau tahu kopi akan menumpulkan kecerdasan, mengakibatkan bisul, hernia dan kemandulan. Beliau paham bahwa kopi tak lain adalah perangkap iblis. Kedai-kedai kopi adalah tempat para pencari kenikmatan yang kaya raya, duduk beradu lutut, melibatkan diri dalam perilaku-perilaku kasar.

"Para lelaki membiasakan diri mengunjungi tempat-tempat ini, terpikat oleh kopi dan kehilangan kendali mental mereka hingga ke titik dimana mereka mendengarkan dan memercayai apa yang dikatakan oleh anjing dan anjing buduk.

"Mereka yang mengutukku dan agama kita adalah anjing-anjing buduk yang sesungguhnya."

Dengan izin kalian, aku ingin menanggapi komentar terakhir yang dikeluarkan ulama agung ini. Tentu saja sudah menjadi rahasia umum bahwa para haji, ulama dan pendakwah memandang rendah terhadap anjing. Menurut pendapatku, seluruh persoalan ini berkaitan dengan Nabi Muhammad, semoga kedamaian dan rahmat Tuhan menyertai beliau, yang memilih merobek kain jubahnya yang sedang ditiduri seekor kucing daripada membangunkan binatang itu.

Dengan menunjukkankasih sayang pada seekor kucing yang tanpa sengaja tidak dilakukan pada kami para anjing, dan berdasarkan pertikaian abadi kami dengan hewan ini, yang oleh manusia paling tolol sekalipun dilihat sebagai perbuatan tak tahu terima kasih, orang-orang menyimpulkan bahwa nabi sendiri tidak menyukai anjing. Mereka percaya kami akan mengotori mereka yang telah wudu, dan akibat kekeliruan dan keyakinan yang semu ini kami dilarang masuk masjid selama berabad-abad dan kami 
didera pukulan-pukulan di halaman masjid oleh sapu gagang penjaga Masjid.


Izinkan aku mengingatkan kalian tentang "Al Kahfi", surah paling indah dalam Al Qur'an. Aku mengingatkan kalian bukan karena aku curiga ada banyak orang yang tidak pernah membaca Al Qur'an di antara kita, melainkan karena aku sekadar ingin mengembalikan ingatan kalian.

Surah ini menceritakan kisah tujuh pemuda yang lelah karena harus hidup diantara orang-orang yang tak beragama, dan akhirnya mereka mengungsi ke dalam gua, dimana mereka tertidur nyenyak dalam waktu lama, selama 309 tahun.

Dan izinkan aku mengingatkan kalian ayat ke 18 surah ini yang menyebutkan tentang seekor anjing yang beristirahat di mulut gua tempat ketujuh pemuda itu tertidur. Jelas sekali, siapa saja akan merasa bangga disebutkan dalam Al Qur'an. Sebagai seekor anjing, aku bangga pada surah ini.

Maka apakah alas an sesungguhnya atas rasa jijik terhadap anjing? Mengapa kalian begitu kukuh berpendapat bahwa anjing itu najis, dan kalian membersihkan serta menyucikan rumah kalian dari atas hingga bawah jika seekor anjing tak sengaja memasukinya? Mengapa kalian meyakini bahwa mereka yang tersentuh oleh kami akan batal wudunya? Jika jubah kalian bergesekan dengan bulu kami, mengapa kalian tetap harus mencucui kain itu tujuh kali seperti seorang perempuan kalap?

Aku adalah seekor anjing. Jika mereka berniat memperlakukan anjing sebagai musuh dan menjadikan kami kaum kafir, maka biarlah aku ingatkan mereka bahwa menjadi musuh bagi anjing dan menjadi kafir adalah sesuatu yang sama.

Ditulis kembali dari My Name is Red karya Orhan Pamuk
Newer Post Older Post Home

0 comments: