Suara

By | Tuesday, May 17, 2011 Leave a Comment
Pukul 04 lewat dini hari, suara itu datang lagi seperti biasanya. Suara yang keluar dari pengeras masjid di sebelah rumah. Suaranya tua, sederhana dan apa adanya. Di tengah-tengah sepinya suasana menjelang shubuh itu, suara seraknya bukannya mengganggu, tapi justru ikut larut dalam keheningannya, pelan dan tidak menggugah. Hanya mengingatkan seperti suara seorang ibu yang pelan-pelan membangunkan anaknya.

Dia laki-laki tua yang tinggal persis di samping rumahku. Di usia senjanya, kehidupan yang tergambar jelas dalam garis-garis keriput di wajahnya serasa telah mati. Hari ini, besok dan besok seterusnya sudah tidak ada bedanya lagi di matanya. Mimpi-mimpi yang yang selalu menghinggapi setiap ruang imajinasi manusia, sudah terkubur lenyap bersama masa lalunya, atau barangkali saja dia adalah salah satu tipe manusia yang tidak suka bermimpi. Kepentingannya hidup di dunia ini hanyalah bekerja menghidupi anak istri dan beribadah.

Dia adalah sosok manusia yang terlupakan oleh jaman. Bahkan sebagian yang lain menyebutnya sebagai contoh kegagalan suatu sistem yang mengakibatkan kemelaratan. Tapi bagi dirinya, dia tidak pernah merasa miskin. Semua yang didapatnya adalah rejeki yang sudah digariskan oleh Tuhan.

Ketika keadaan politik berkecamuk, krisis dunia yang menggemparkan atau kekhawatiran sebagian orang tentang globalisasi dan nasib bangsa, di raut wajahnya selalu memancarkan ketenangan. Dia menjalani hidup seperti biasa apa adanya, bekerja, bersosialisasi dan beribadah.

Bukannya dia tidak mencintai bangsa ini, bukannya dia acuh tak acuh terhadap nasib negara kedepan, hanya ia berpikir," Siapalah aku, aku tidak tahu menahu tentang politik, aku tidak ngerti tentang perekonomian. Biarlah mereka yang bertugas menjalankan tanggung jawabnya masing-masing."

Kecintaannya pada bangsa dan negara ini ia wujudkan bukan lewat dunia politik, tetapi lewat sebuah karya sederhana, melayani kebutuhan masyarakat yang datang berbelanja ke pasar.

Dia adalah salah satu diantara berjuta-juta masyarakat miskin ibu kota yang terlupakan, namun kadangkala menjadi rebutan, rebutan oleh kepentingan kekuasaan. Bukannya ia tidak menyadari hal itu, ia sadar sepenuhnya bahwa orang-orang seperti dirinya hanyalah sekedar menjadi objek bagi pemenuhan nafsu penggila jabatan. Tetapi ia diam."Biarlah, semua itu ada balasannya nanti." Katanya tenang.

Ketika sarjana-sarjana ekonomi mengeluhkan tentang kemerosotan perekonomian makro, tentang suku bunga, tentang krisis keuangan dsb, mereka lupa kalau orang-orang seperti si bapak itulah pondasi sebenarnya kekuatan ekonomi bangsa ini. Si bapak dan berjuta-juta masyarakat bawah di seluruh Indonesia itulah yang setiap harinya berjuang untuk negara mempertahankan gerak laju ekonomi.

Tetapi memang sudah menjadi hukumnya, pondasi selalu tidak nampak oleh mata.

Pagi ini kembali aku dengar suaranya dari pengeras masjid di sebelah rumah. Tidak ada kepentingan apapun si bapak itu melakukannya setiap pagi menjelang shubuh. Dia hanya menginginkan manusia untuk ingat kepada Tuhannya, itu saja.

Mungkin karena alasan orang-orang seperti si bapak tua itulah Tuhan masih mengasihani negeri ini, memepertahankannya dari kehancuran.

Sampai selesai saya tulis artikel ini, suara itu masih terdengar, tua dan sederhana.


Newer Post Older Post Home

0 comments: